OPZ Harus Memahami Perkembangan Teknologi Masa Depan

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) saat ini, tidak bisa tidak, harus melakukan sikap yang sesuai dan terukur terhadap berbagai perubahan yang dipicu oleh kehadiran teknologi digital yang makin cepat dan canggih. OPZ juga harus mulai meningkatkan kemampuannya untuk bisa memprediksi perubahan perilaku konsumen yang melek teknologi. Saat yang sama, OPZ harus pula memahami arah perkembangan teknologi yang akan datang. Bila semua hal ini mampu terjawab, maka sejatinya OPZ tersebut akan dengan mudah melenggang meninggalkan situasi disrupsi.

Di tengah-tengah situasi disrupsi, sayangnya, ada sejumlah OPZ yang merasa tak berdaya; sebagian lagi memilih untuk tidak menghadapinya. Yang lebih kasihan, ternyata energi mereka akhirnya disalurkan untuk “bertanding” di dalam. Mereka memulai pertengkaran-pertengkaran, bahkan tak jarang menyulut pertarungan internal akibat kebingungan yang tak jelas mereka definisikan. Apalagi di dunia OPZ, ada gap yang terjadi antara para pengerak organisasi yang ada di OPZ dengan para pengambil kebijakan di yayasan-yayasan yang menaungi. Situasi ini muncul bisa jadi akibat tidak aware-nya para pengambil kebijakan di puncak organisasi yang menaungi OPZ dengan para aktivis yang secara harian berada di dunia zakat yang sebenarnya.

Kekakuan cara berpikir, kerumitan pengambilan keputusan, serta tekanan-tekanan eksternal organisasi yang tak teratasi, menyebabkan gap tersebut kian melebar. Di dunia zakat, harus diakui bahwa tak semua amil zakat itu para “petarung”, yang berjuang di gerakan zakat demi idealisme dan mimpi-mimpi indah tentang masa depan.

Tak sedikit di dunia zakat ini isinya adalah para pekerja dengan identitas amil yang lebih takut pada atasan dan kebijakan organisasi daripada menjaga idealisme layaknya seorang amil pejuang. Dalam situasi ini, anak-anak muda potensial yang mestinya menjadi “petarung” di sejumlah OPZ dan mampu membawa organisasinya melewati era disrupsi, bisa jadi malah terlempar dari arus utama gerakan zakat. Yang kemudian lahir dari OPZ bukan sebentuk inovasi dari perubahan demi perubahan, melainkan justru pembuktian demi pembuktian belaka: siapa yang paling berkuasa dan punya pengaruh paling besar di dalam organisasi.

Karena itu, era disrupsi bukan hanya akan menguji ketangguhan dan kekuatan organisasi pengelola zakat, namun juga ujian soliditas OPZ. Sejauh mana OPZ bisa disebut memiliki kemampuan bertahan yang baik, hal ini harus dibuktikan setelah mereka diuji bertubi-tubi dengan sejumlah perubahan.

Benar bahwa amil sejati juga tetap manusia, yang mempunyai keterbatasan di tengah situasi yang terus berubah. Yang diperlukan di sini adalah janganlah sampai jati diri dan idealisme untuk secara tulus menjadi bagian dari gerakan zakat luntur digerus perubahan dan tekanan. Mereka harus dikuatkan agar langkahnya kokoh mewakili generasi amil yang siap menyongsong masa depan: amil-amil “petarung”. Dengan begitu, tak salah bila dikatakan bahwa amil itu mujahid dengan sebaik-baik profesi sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah dalam riwayat Thabrani dengan derajat hasan, “Amil yang bekerja lalu dia mengambil dan memberi dengan benar adalah seperti mujahid di jalan Allah sampai dia pulang kepada keluarganya.”