Permintaan maaf yang dilakukan Arya Wedakarna atas pernyataannya yang diduga menistakan agama Islam tidak menghapus unsur pidana yang dilakukan anggota DPD RI dari Bali itu.
“Permohonan maaf yang diutarakan Anggota DPD RI dapil Bali, Arya Wedakarna, pada 2/1/2024, perihal dugaan penistaan ajaran agama Islam tentang pemakaian hijab bagi muslimah, tidaklah menghapus unsur tindak pidananya begitu saja,” kata pakar hukum Juju Purwantoro kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (4/1/2024).
Juju mengatakan, Arya sudah beberapa kali melakukan pelecehan agama. “Apalagi Arya sebagai pejabat negara (anggota DPD RI) sudah beberapa kali melakukan perbuatan pidana serupa, berupa kasus pelecehan agama,” jelasnya.
Sebagai negera hukum, kata Juju aparat penegak hukum harus menerapkan “prinsip similia similibus”, (kasus yang serupa harus diproses dengan kaidah hukum yang sama). “Upaya tersebut penting, untuk memberikan efek jera (deterrent effect), sehingga perbuatan serupa tidak akan terulang lagi,” paparnya.
Lagi-lagi Arya berulah dengan ungkapannya, di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada tgl 29/12/2023 , menimbulkan polemik dan berdampak secara subtansi hukum (legal substancial) dan aspek keagamaan (religious aspects).
Menurut Juju, unsur penodaan, penistaan agama bukanlah “delik aduan”, jadi penyidik harus segera bertindak memanggil dan memeriksa Aria. Sebagai anggota legislatif (DPD RI), tindakan penistaan agama tidak terkait hak munitas ( kekebalan). Tentang hak WN memeluk agamanya masing-masing, konstitusi pasal 29 UUD 1945 (ayat 2) ; “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sesuai pasal 156a KUHP, Arya berpotensi dipenjara selama 5 tahun, ungkapannya sudah memenuhi unsur perbuatan pidana yaitu : “pelecehan, merendahkan terhadap suatu ajaran agama yg dianut di Indonesia, serta dinyatakan dihadapan dan/atau ditujukan kepada publik”.
“Sebagai WNI, juga dilindungi HAM dalam memeluk agamanya, sesuai UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”,” pungkasnya.