Sejarawan Bantah Sukarno Mau Pindahkan Ibu Kota Negara

Presiden Indonesia Sukarno tidak pernah mau memindahkan ibu kota negara Jakarta ke wilayah lain termasuk Kalimantan Timur.

“Halo Bung, kapan Sukarno mau memindahkan ibu kota. Sebab tidak ada sumber primer pun yang saya dapat bahwa ia ingin pindahkan ibu kota,” kata Sejarawan JJ Rizal di akun X, Jumat (15/12/2023).

Pernyataan JJ Rizal diutarakan ke Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak yang mengutarakan Prabowo melanjutkan presiden-presiden sebelumnya termasuk Sukarno yang ingin memindahkan ibu kota negara.

JJ Rizal mengatakan, Prabowo tidak masalah mendukung IKN tetapi jangan memanipulasi sejarah dengan menyebut Sukarno ingin memindahkan ibu kota negara. “Kampanye boleh dukung IKN tapi jangan merusak sejarah dong,” jelasnya.

Dalam buku berjudul Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangka Raya, disebutkan bahwa Bung Karno ingin membangun ibu kota Indonesia di Palangka Raya.

Bung Karno ingin Ibu Kota Indonesia atau kini disebut Ibu Kota Negara adalah hasil pemikiran dan konsep dari bangsa Indonesia itu sendiri, bukan hasil peninggalan para penjajah.

Pada 17 Juli 1957, Bung Karno menancapkan suatu tonggak pembngunan palangka Raya dan menyatakan bahwa Palangka Raya harus menjadi modal dan model bagi pembangunan banyak kota di Indonesia. Bung Karno memiliki impian untuk memadukan konsep transportasi sungai dan keindahan kota. Seperti diketahui, Palangka Raya dibelah oleh Sungai Kahayan.

Bung Karno juga berpesan supaya tidak ada pendirian bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan karena tepi sungai tersebut diperuntukan untuk pembangunan taman-taman.

Kemudian, Bung Karno menceritakan ide dan konsepnya tersebut kepada beberapa insinyur asal Uni Soviet dan akhirnya terjadi pembangunan jalan raya di lahan gambut Palangka Raya.

Sayangnya, perekonomian Indonesia yang terpuruk saat memasuki 1960-an tidak mampu diprediksi dengan baik oleh Bung Karno dan akhirnya pembangunan Palangka Raya menjadi terhambat.

Selanjutnya, di tahun 1965 terjadi prahara politik di Jakarta dan berakibat pada lengsernya Bung Karno.

Soeharto yang naik menggantikan Bung Karno tidak ingin melanjutkan pembangunan Palangka Raya dan akhirnya Ibu Kota Negara tetap berada di Jakarta.