Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Resmi semalam, Minggu (22/10), Prabowo Subianto dalam konperensi pers menyampaikan secara resmi siapa yang terpilih menjadi bakal calon wakil presiden (Bacawapres) dari Koalisi Indonesia Maju, yang akan mendampinginya. Semua ketua umum plus sekjen partai koalisi hadir, tanpa dihadiri Gibran.
Semua dibuat paham setelah sebelumnya Partai Golkar lewat Rapimnas II menganulir Ketua Umum Airlangga Hartarto, yang sebelumnya didorong menjadi Capres atau setidaknya Cawapres. Karena minim respons dari anggota koalisi, maka tiket diberikan pada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang baru sehari jadi kader Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)–underbow Partai Golkar. Luar biasa.
Gibran mampu menenggelamkan nama-nama beken lainnya, Meneg BUMN Erick Thohir, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, sebagai Bacawapres dari Prabowo Subianto. Erick Thohir dan Yusril sebelumnya sama-sama telah mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), mungkin sekadar persiapan jika saja Gibran karena dinamika politik yang berkembang menutup peluangnya.
Gibran menjadi istimewa karena pastilah sokongan sang bapak, Jokowi. Meski Jokowi mengatakan, bahwa ia tak ikut bermain. Itu keputusan partai-partai politik yang mengusungnya. Lebih kurang demikian pembelaan diri Jokowi, yang dibuat seakan itu murni karena Gibran keberadaannya memang dikehendaki. Gibran dikesankan spesial, karena itu ia dipilih sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Gibran meski kader PDIP, bahkan menjadi Wali Kota Solo yang masih dijabatnya hingga saat ini, itu juga lewat PDIP. Tapi ia melompat mengesampingkan PDIP–belum menyatakan keluar dari PDIP–menjadi kader AMPI untuk memuluskan ambisinya. PDIP bersama koalisinya telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo, yang bersanding dengan Prof Mahfud MD.
Langkah Gibran yang tanpa kulo nuwun meninggalkan PDIP, dan hanya sekadar memberi tahu Puan Maharani, bahwa ia kemungkinan akan maju dalam kontestasi Pilpres. Etikanya Gibran semestinya pamit baik-baik, dan itu menghadap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menyampaikan hasratnya. Sekaligus pamit meninggalkan partai yang membesarkannya.
Gibran menjadi istimewa, dan bahkan pilihan sikapnya memilih tancap gas dengan mengabaikan asas kepatutan, itu seperti dibuat hanya spesial untuknya. Tidak patut untuk yang lain. Semua mesti bisa menerima langkahnya, meski langkah tak patut sekalipun. Gibran seperti memilih agar langkahnya itu disikapi PDIP, ia seperti cukup memposisikan sebagai pihak yang menerima sanksi yang akan diberikan. Dibuat seolah ini persoalan PDIP.
Sikap Gibran ini sikap tidak biasa, dan spesial hanya untuknya. Tidak bisa atau boleh diikuti oleh yang selainnya. Perjalanan politik Gibran menjadi istimewa, itu tentu atas sokongan sang bapak, Jokowi. Bukan atas prestasi yang dibuat, itulah yang membuat Gibran menjadi spesial. Meski Jokowi kerap menyangkalnya, berharap semua rakyat yang dipimpinnya itu bodoh, dan karenanya mempercayai apa yang disampaikan.
Untuk melihat perjalanan Gibran itu istimewa–boleh pula jika disebut diistimewakan–lihat tulisan penulis sebelumnya, “Karpet Merah Gibran”, 12 Agustus 2023, yang langkahnya dibuat mulus tanpa sekat penghalang. Jika ada pengjalang, maka halangan itu disingkirkan.
Bahkan usia Gibran yang belum 40 tahun, yang mestinya terlarang untuk dicalonkan menjadi Capres/Cawapres, itu pun bisa ditembus diloloskan. Mahkamah Konstitusi (MK) dibuat jadi Mahkamah Keluarga–Ketua MK Anwar Usman, yang adalah Paman Gibran–yang putusannya dibuat rasa kekeluargaan.
Satu per satu halangan bisa terurai dengan baik, itu karena saking istimewanya seorang Gibran. Spesialnya lagi, Gibran tidak boleh dilihat dari prestasi yang dibuat. Memang belum kelihatan prestasi sebagai Wali Kota Solo yang bisa dibanggakan, karena baru sekitar 2,5 tahunan jabatan itu dipegangnya. Tapi kita dibuat mesti abai dan bisa terima jika Gibran belum bisa menampakkan karya yang dibuatnya. Seolah diminta untuk bisa menerima Gibran apa adanya.
Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi Bacawapres mendampingi Prabowo Subianto (Bacapres) dari Koalisi Indonesia Maju. Sebentar lagi kita akan bersama-sama melihat “kelebihan” Gibran dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Saya dan anda pastinya tidak sabar ingin juga mendengarnya.
Gibran dituntut untuk tidak boleh lagi pelit bicara, dan meminta juru warta untuk membaca ekspresi wajahnya. Terpenting ngocol saja apa adanya. Tidak perlu khawatir, rakyat pastilah akan dikondisikan dengan baik oleh tim yang bertugas layaknya Pak Tarno si tukang sulap. Rakyat akan dibuat memahami, bahkan bisa menerima kekurangan Gibran itu sebagai kelebihan. Itulah istimewa dan spesialnya manusia Gibran. Gak percaya?**