Oleh: Nana Sudiana (Direktur Utama Akademizi)
Lembaga zakat menghadapi tantangan di era digital di mana kecenderungan orang berdonasi tidak menggunakan uang dalam bentuk fisik.
Ketika tidak siap menghadapi era digital, lembaga zakat bisa tutup. Maka disiapkan berbagai perangkat teknologi informasi yang bisa memudahkan para donatur menyalurkan dananya ke lembaga zakat. Media sosial sebagai alat sosialiasi dan kampanye di era digital harus dimiliki lembaga zakat untuk menyebarkan informasi berbagai program dan kegiatan.
Di era digital membuka kesempatan bagi lembaga zakat untuk menarik donasi dari Generasi Z hingga milenial. Kalangan ini mudah mendapatkan informasi termasuk kegiatan lembaga zakat dari satu genggaman smartphone.
Tak kalah penting untuk meningkatkan lembaga zakat yaitu kualitas sumber daya amil dan transparansi dalam pengelolaan keuangan. Amil harus memiliki kemampuan dalam manajerial lembaga zakat.
Ada kisah menarik kapal selam yang rusak. Semua teknisi sudah dikerahkan untuk memperbaiki, namun belum berhasil. Tiba-tiba ada seseorang membawa palu, tetapi bisa memperbaiki kapal selam tersebut. Orang tersebut dikasih imbalan US$20 ribu. Kisah ini memberikan pelajaran seseorang dibayar tinggi karena kemampuannya bukan karena palu yang dibawa. Begitu juga seorang amil harus memiliki kemampuan dalam menyelesaiakan persoalan termasuk di era digital.
Nama lembaga zakat sangat penting menjadi branding yang mudah diingat masyarakat untuk berdonasi. Ketika orang membicarakan lembaga zakat A maka masyarakat akan percaya menitipkan uangnya untuk disalurkan untuk warga yang membutuhkan.
Dalam membangun lembaga zakat termasuk filantropi Islam harus bersama-sama dan tidak merasa paling hebat. Lembaga zakat akan hancur ketika merasa paling hebat.