Duet Prabowo-Ganjar, Strategi Kepanikan Istana

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Ibarat orang yang sedang bermain tinju di atas ring, ketika sang lawan sudah terkena pukulan uppercut sampai terhuyung-huyung, maka ketika dia mau coba balik membalas, maka pukulannya sudah tidak bisa terarah dengan baik. Lalu dicobanya ganti strategi dengan berbagai pukulan yang lain, tapi semua strategi itu tidak akan efektif

Itulah gambaran keadaan istana saat ini. Upper cut yang telah dilakukan Surya Paloh dan Cak Imin terhadap koalisi istana, telah membuat Jokowi sempoyongan. Apa pun strategi yang akan dibuat Jokowi, sudah tidak akan efektif lagi. Termasuk jika istana akan menduetkan Prabowo dan Ganjar. Apalagi strategi ini dibuat karena faktor kepanikan, bukan karena kecerdasan atau perhitungan yang matang.

Menduetkan Prabowo-Ganjar di saat sudah dekat ke pendaftaran Capres-cawapres di KPU jelas mengesankan ketidaksiapan koalisi istana menghadapi duet Anies-Cak Imin. Ada sejumlah permasalahan yang bakal muncul jika Prabowo dipaksakan berduet dengan Ganjar.

Pertama, Masing-masing kubu tidak firm sepenuhnya dengan pasangan duet Prabowo-Ganjar

Prabowo dan Gerindra pastinya memendam kekesalan dengan terlalu cawe-cawe nya pihak istana dalam menentukan capres-cawapres. Tapi tetap harus menerima opsi ini, karena sudah dari awal mengikuti skenario Jokowi. Demikian juga kubu Ganjar, menerima opsi ini karena dianggap lebih punya peluang menang.

Kedua, Jika Prabowo berduet dengan Ganjar berarti tertutup sudah cawapres dari partai lain di koalisi

Bergabungnya partai-partai koalisi istana sebenarnya karena ada amanat partai untuk menjadikan ketum partainya untuk jadi cawapres, yaitu : Airlangga (Golkar), Eric Tohir (PAN), Yusril (PBB), dan AHY (Demokrat).

Dengan tertutupnya peluang cawapres Prabowo, ditambah peluang menang koalisi istana rendah, membuat partai-partai koalisi istana tidak sepenuh hati dalam mendukung duet Prabowo-Ganjar

Ketiga, Duet Prabowo-Ganjar tidak memiliki chemistry yang lengkap, karena latar belakang yang relatif homogen.

Berbeda dengan duet Anies-Cak Imin yang saling melengkapi, duet Prabowo-Ganjar tidak memiliki chemistry yang saling melengkapi. Sama-sama nasionalis, sama-sama dijauhi kelompok Muslim, sama-sama tidak dekat ke ulama, dan sama-sama punya track record buruk. Artinya, keduanya sedang dijauhi rakyat

Keempat, Prabowo sedang berkonflik dengan Megawati, secara tiba-tiba harus “berkawin”?

Saat ini PDIP sedang rajin menyerang Prabowo, jadi aneh jika tiba-tiba harus bergabung. “Kawin paksa” ini dipastikan tidak efektif.

Kelima, Pamor Jokowi sedang sangat menurun, menuju titik nadir.

Mengharap tuah Jokowi di saat Jokowi telah ditinggalkan rakyat dan jatuh pamornya adalah sebuah langkah keliru, tapi itu terpaksa dilakukan karena semua ketum partai koalisi “tersandera” Jokowi.

Langkah istana menduetkan Prabowo-Ganjar bukan sebuah langkah cerdas, apalagi jitu. Tapi apa daya, langkah ini harus mereka ambil untuk menghindari capres 3 paslon sehingga capres hanya dua pasang untuk memudahkan melakukan kecurangan.

Ada dugaan, Jokowi akan memainkan lagi KPU, BAWASLU, dan MK untuk melakukan kecurangan seperti tahun 2019. Hanya dengan jalan kecurangan Capres istana bisa dimenangkan KPU/MK.

Tapi skenario Jokowi tidak akan bisa berjalan baik, bahkan akan gagal karena Pilpres tahun 2024 amat berbeda dengan Pilpres 2019.

Pertama, Perbedaan suara antara Anies-Cak Imin akan sangat signifikan sehingga sulit dilakukan rekayasa

Berbeda dengan Pilpres 2019 di mana perbedaan suara Jokowi-Ma’ruf beda tipis dengan Prabowo-Sandi sehingga mudah dilakukan rekayasa. Saat suara Anies-Cak Imin, menurut hasil lembaga survey independen, perbedaannya bisa sampai 20-40% (70:30 atau 60:40)% sehingga s.aulit direkayasa (disubsidi suaranya).

Kedua, Pengawasan Pilpres 2024 akan sangat ketat melibatkan saksi-saksi dari partai dan relawan militan Anies Baswedan

Saksi-saksi militan baik dari partai koalisi perubahan maupun dari relawan Anies akan memantau dari titik terbawah (TPS-TPS), desa, kecamatan, propinsi sampai pusat.

Ketiga, Adanya media-media mainstream pembanding

Tahun 2019 semua Media di bawah kontrol rezim, sehingga ketika KPU membalikkan suara hitung quick count dan para penyiar terbengong-bengong, tapi semuanya harus diam dan tutup mulut. Akhirnya KPU menetapkan yang kalah jadi pemenang, yang menang jadi kalah.

Saat in media mainstream tidak semuanya pendukung Jokowi sehingga sulit untuk mengutak-atik perolehan suara.

Keempat, Hasil survey yang memenangkan Ganjar atau Prabowo, sedangkan Anies selalu di posisi buncit, hanyalah dari survey “pelacur” bekingan istana

Hasil survey Indikator, LSI, SRMC, Charta politica, Indo Barometer, dll yang selalu memenangkan Ganjar atau Prabowo, hanyalah rekayasa. Saat ini mereka kenapa batunya, karena yang menjadi pertanyaan adalah : kenapa pemenang survey mengeroyok capres dengan urusan ketiga? Artinya, hasil survey mereka hanyalah bohong besar. Lembaga survey yang bisa dipercaya adalah ILC, CNBC, dan Google Trend.

Masih banyak kendala lain untuk melakukan kecurangan.

Oleh karena itu, bersiaplah istana dan partai-partai koalisi istana untuk menerima kenyataan kalau tahun 2024 Anies-Cak Imin sebagai pemenangnya

Bandung, 6 Shafar 1445