Sekjen DPP APIB Erick: Kedepankan Social Approach bukan Security Approach, Cari Win Win Solution Sengketa Pulau Rempang

Peristiwa bentrok 2 kali antara masyarakat 16 desa 2 Kelurahan pulau Rempang Batam dengan Aparat Polres Balerang yang menyebabkan banyak warga terluka dan belasan murid sebuah SD terpapar gas air mata menimbulkan kecaman pelbagai banyak pihak. Baik DPR, ormas NU, Muhammadyah, para intelektual kampus, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat nasional.

Menko Polkam Mahfud MD dalam penjelasannya yang dinilai kalangan media tidak pro rakyat, justru mengatakan bahwa pihak pemegang HGU seluas 17.000 ha yakni PT. MEG milik Tomy Winata merencanakan pengosongan areal HGU karena ada investor mau masuk. Hal ini merujuk rilis Menteri Investasi Bahlil bahwa pabrik kaca terbesar dari China akan masuk berinvestasi ke Pulau itu.

Menanggapi isu sengketa tanah yang masih memanas itu, Sekjen DPP APIB Erick Sitompul meminta pihak BP Batam dan Gubernur Kepri untuk tidak memaksakan pengosongan pemukiman ke 16 desa di sana. Menurut informasi, sekitar 10.000 warga mendiami ke 16 desa di Pulau Rempang itu.

“Kedepankan dulu dialog dengan pihak warga dan Lembaga Adat Melayu Rempang . Agar dicari Win Win Solusi dengan mengedepankan Social Approach, bukan dengan Security Approach,” kata Erick usai melakukan rapat pimpinan DPP APIB dengan Biro Bantuan Hukum APIB di kawasan Ragunan Jaksel.

Erick berharap semua substansi persoalan land dispute dan masalah sosial yang timbul di pulau itu dapat diselesaikan sebaiknya oleh Pemda Kepri dan BP Batam beserta pemegang HGU dengan cara dialog konstruktif mengedepankan musyawarah mufakat.

Erick juga menegaskan walau pihak PT. MEG sudah memegang HGU atas tanah, tetap saja harus melakukan musyawarah mufakat dengan masyarakat dan tokoh Adat apabila timbul sengketa. Jangan jadikan HGU sebagai alat untuk memukul dan mengusir penduduk, apalagi di Rempang itu warga masyarakat sudah hidup hampir dua abad turun temurun dan di sana itu mereka hidup dan mencari makan.

Secara administratif, HGU itu merupakan aspek Juridis Formil memang benar. Namun apabila masih terdapat hak warga setempat belum terselesaikan, mesti di dialogkan dulu dan di selesaikan dengan konsep Win Win Solution. Tidak boleh melakukan upaya refresif dan intimidatif kepada masyarakat. Ini negara hukum, kita semua wajib menghormati hak adat dan hak masyarakat karena itu nilai nilai yang hidup berurat berakar di negara kita Pancasila.

Erick juga mengingatkan bahwa pemegang konsesi HGU termasuk HGB, HPH atau HTI milik negara baik itu swasta ataupun BUMN dimanapun di negara tercinta ini. Itu konsesi bukan property milik pemegang konsesi. Itu property milik negara. Pemegang konsesi HGU hanya di beri amanah oleh negara untuk mengelola agar tanah negara itu dapat memberi kontribusi maksimal buat bangsa termasuk buat rakyat sekitar konsesi. Rakyat tempatan di situ itu aset bangsa juga yang hak nya sama dan harus dilindungi sesuai aturan hukum sebagai warga negara resmi.

“Sebelum mengelola HGU di lahan negara semua pemegang konsesi termasuk pemegang HGU lakukan cara cara humanis terhadap rakyat. Lakukan pendekatan sosial yang baik ke masyarakat sekitar. Perkuat Corporate Social Responsibility yang terbaik, sehingga anda di perlakukan semua pihak dengan baik juga. Kalau kalian lakukan kekerasan sejak awal maka investasi anda tidak akan dapat dukungan rakyat setempat dan semua masyarakat Indonesia akan memandang terus kesana, kata Erick

Agar semua pihak menahan diri dan menyelesaikan dengan musyawarah. Kita negara Pancasila. Pancasila tidak mengajarkan cara cara refresif dan intimidatif. Investasi penting apalagi mendukung proyek strategis nasional.

Namun hak-hak masyarakat yang dlhidup duluan disana jangan diamputasi. Apalagi Kapolri sudah menginstruksikan agar dilakukan penyelesaian dengan musyawarah.

Kepala BP Batam dan Gubernur Kepri dan pemegang HGU agar mematuhinya, ungkap Erick yang juga alumni Tarpadnas /Lemhanas tahun 1991 itu.

Apabila musyawarah juga tidak berhasil, tetap tidak ada titik temu, saran saya pemerintah melalui BPN dan instansi terkait agar lakukan proses enclave di 16 kampung penduduk setempat tersebut sebagai untuk menghindarkan terjadinya Win Lose Solution dengan seluruh kelompok masyarakat adat Melayu yang semakin membara. Keluarkan semua dari HGU baik perkampungan, makam leluhur, areal pertanian, pantai laut nelayan, sungai, sekolah, Puskesmas dan lainnya.

Areal pulau itu ada 17.000 ha kurangi Enclave masyarakat sekitar 2.000 ha yang di klaim masyarakat Rempang itu. Sisanya 15.000 ha masih sangat luas untuk kawasan industri apapun mau berapa line pabrik Gelas Surya terbesar, infra struktur, Power Plant Raksasa puluhan Ribuan MW, kawasan bisnis dan wisata , perkantoran termasuk taman dan hutan kota. Saya yakin masih lebih dari cukuplah kalau untuk PSN Rempang Eko City kata Erick.

“Saya juga heran kenapa HGU di keluarkan seluas seluruh luas pulau yang 17.000 ha untuk satu perusahaan swasta saja. Ini ada yang keliru desain BP Batam. Pihak BPN pusat sebaiknya merevisi HGU tersebut, masih ada waktu yang cukup kan untuk lakukan revisi HGU,” kata Erick lagi.

Senada dengan Erick, ketua Penasehat Badan Bantuan Hukum APIB Jakob SH MH juga menegaskan bahwa tanah Ulayat beserta seluruh isinya itu mesti di hormati dan diselesaikan sesuai aturan perundangan yang berlaku tidak boleh melalui cara di luar hukum dan musyawarah. Karena tanah adat atau tanah wilayat itu di akui oleh UU Pokok Agraria.

“Saya yakin Bapak Menhukam Prof. Mahfud MD sangat paham soal itu karena beliau juga dulunya adalah alumni Jurusan Hukum Pertanahan. Tidak bisa pemerintah apalagi pemegang HGU ataupun investor melakukan penanganan penyelesaian sengketa tanah yang bertolak belakang dengan pendekatan dan prosedur aturan Hukum,” tegas Jakob

Simak berita dan artikel lainnya di Google News