Masyarakat Rempang Kepulauan Riau mempertahankan tanah mereka dari penyerobotan investor yang memperalat penguasa dan aparat kepolisian dan TNI.
“Kalau menolong seekoranjing ada paahalanya apalagi menolong saudaranya di Pulau Rempang. Pengacara-pengacara berangkat ke Rempang menolong yang kena tangkap supaya dilepaskan karena bukan pengedaar narkoba, koruptor,” kata Ustaz Abdul Somad dalam video yang beredar.
UAS mengatakan, mempertahankan harta dan tanah merupakan ajaran Islam. “Mereka itu yang membela tanah emaknya. Bagaimana tanah kita dirampas orang, bagaimana tempat mencaari hidup dirampas orang, siapa yang membela harta, rumahnya, harganya dirinya mati syahid,” paparnya.
Berdasarkan aturan pemerintah, Pulau Rempang tidak boleh dipakai untuk investasi maupun pertambangan.
“Pengelolaan pulau Rempang. Perkampungan tua yang ada di pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya harus dipertahankankan bukan kawasan pertambangan. Ini dibuat pada 26 Agustus 2004. warga Rempang biasa tinggal di pinggir laut mau ditempatkan rumah susun di mana mau mencari makan?” tanya UAS.
Annisa Azzahra, Staff Advokasi PBHI, menyebut, saat ini yang terjadi di Pulau Rempang merupakan keberulangan atas kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat demi kepentingan investasi untuk negara. Hal semacam ini terus terjadi karena adanya pembiaran atas pelanggaran hak warga yang menempati tanah tersebut dari pemerintah. Padahal Pulau Rempang bukan sebuah lahan kosong dan memiliki 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli Rempang terdiri atas berbagai suku bahkan Masyarakat Adat seperti suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang telah bermukim sejak 1834 di Pulau Rempang. Sehingga seharusnya pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap masyarakat yang hidup di dalamnya.
Menurut Nisa, terdapat dinamika yang serupa dalam setiap kasus perampasan tanah untuk kepentingan investasi, Pelaku Usaha akan menerima dukungan pemerintah daerah untuk memperlancar masalah perizinan, lalu akan diikuti dengan pengerahan alat negara TNI dan Polri untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi warga. “Di Rempang sendiri telah terjadi berbagai upaya intimidasi yang melibatkan TNI dan Polri untuk mengusir masyarakat, dan upaya kriminalisasi dengan tuduhan pemalsuan, pemerasan, pengancaman, hingga pelanggaran tata ruang. Hal yang seperti ini juga terjadi di kasus-kasus lain seperti di kasus perampasan lahan di Pulau Wawonii, Kab. Buol, kriminalisasi Budi Pego, serta yang menimpa Masyarakat Petani Desa Alasbuluh Wongsorejo,” katanya.
Dinamika pengerahan alat negara berupa aparat keamanan dalam kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat menunjukkan dukungan penuh negara terhadap investasi, serta tidak adanya keberpihakan pada masyarakat yang telah menempati tanah tersebut lintas generasi. “Sebab itu kami mengecam dan mendesak Pemerintah Daerah Riau supaya tidak mengerahkan satuan Brimob yang memiliki pendekatan paramiliter untuk mengatasi gangguan keamanan dalam negeri, serta TNI yang merupakan alat pertahanan negara dari ancaman militer. Karena yang dihadapi merupakan Masyarakat Pulau Rempang, sudah seharusnya menghindari pendekatan militeristik yang sarat dengan cara-cara represif dan eksesif ketika berhadapan dengan masyarakat sipil. Khususnya Polri sudah seharusnya mengedepankan pendekatan humanis tanpa kekerasan sesuai amanat sebagai alat pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat sipil yang tidak memihak kepentingan investasi.” tegasnya.