Anies: Pemimpin dan Perubahan

Oleh: Ahmad Basri Ketua K3PP Tubaba, Alumny UMY HI 92

Kita merdeka bukan lima tahun yang lalu. Kita merdeka 78 tahun yang lalu, dan selama 78 tahun itu, sudah banyak presiden bekerja, ada jutaan orang yang sudah berkarya. Ini bukan karya satu orang, ini bukan karya satu presiden,” kata Anies di Waduk Lebak Bulus, Kamis (17/8/2023).

Sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Anies, bakal calon presiden yang diusung oleh Partai Nasdem, Demokrat, PKS dan Partai Umat. Pernyataan Anies ini menggambarkan bahwa 78 tahun indonesia merdeka merupakan perjalanan panjangan proses sebuah bangsa. Bukan perjalanan singkat kemarin sore dalam proses pembangunan. Ada satu estafek generasi kepemimpinan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Di mana jejak setiap langkah setiap pemimpin ( baca : presiden ) memiliki sejarah kebangsaan tersendiri dalam proses roda kebijakan pembangunan. Ada jejak karya pembangunan yang mereka wariskan, sesuai dengan waktu, kondisi dan kebutuhan pembangunan. Tidak bisa membandingkan pembangunan hari ini dibandingkan dengan masa lalu era di Soeharto misalkan.Tentu sesuatu yang sangat berbeda. Sesuatu yang absurd.

Oleh karena itu pernyataan Anies memberikan satu pencerahan kepada kita semua, untuk selalu bercermin menghargai, apa yang telah digoreskan pada sejarah kepemimpinan di masa lalu. Bukan sebaliknya menapikan dan lalu meniadakan hasil pencapaian para pendahulu. Seolah – olah pencapaian pembangunan merupakan hasil monolitik satu kepemimpinan.

Pembangunan sesungguhnya merupakan satu rangkaian proses evolusi, yang saling berkaitan satu sama lainnya, antara masa lalu dan masa kini. Tujuannya tentu untuk mencapai perubahan kehidupan yang lebih. Pemimpin harus mampu membawa nilai perubahan dari yang tidak ada menjadi ada. Itulah hakekat perubahan proses kepemimpinan. Moralitas kepemimpinan sederhana yang baik tentu diteruskan dan yang buruk ditinggalkan.

Sebenarnya pernyataan Anies sesungguhnya ingin mengingatkan kepada kita semua, bahwa jangan sampai kepemimpinan merasa paling baik, paling berjasa dalam proses kebijakan pembangunan. Apa yang dikemukakan Anies tidak lainnya, mengajarkan kepada moralitas etika politik seorang pemimpin, untuk tidak lupa diri atas roda kepemimpinan.

Dalam konteks kebijakan pembangunan, penyakit paling berjasa, merasa paling mampu, paling “top” merupakan sebuah bentuk kesombohongan diri dari model kekuasaan kepemimpinan. Ketidak relaan jika penggantinya – penerusnya tidak selaras sesuai dengan apa yang telah ditinggalkan diinginkannya. Sering kali kita melihat fenomena kepemimpinan, baik pada level tertinggi hingga pada level provinsi hingga kabupaten, masih banyak dihinggapi penyakit otokratis. Yakni penyakit tidak mau menerima kritik.

Di mana absolitisme kebijakan cenderung single power tanpa mau mendengar suara dari luar anti kritik. Pola kepemimpinan seperti cenderung ingin menempatkan personality kepemimpinan pada kekuasaan kharismatik. Ingin menjadi figur penting figur sentral paling berjasa dalam setiap keputusan yang diambil atas nama pembangunan.

Pernyataan presiden Jokowi yang selalu membangun narasi politis, bahwa kelanjutan kepemimpinan masa depan 2024, harus mau mampu melanjutkan pembangunan selanjutnya, menunjukan bukti satu bentuk kemunduran berpikir. Tidak ada kewajiban dalam konstitusional pemimpin selanjutnya harus melanjutkan apa yang yang telah ditinggalkan pendahahulunya.

Itu Sebabnya memilih pemimpin dalam setiap agenda pemilu, merupakan bentuk bagaimana periodik kekuasaan itu mengalami siklus perubahan. Perubahan yang lebih baik dengan misi visi baru. Indonesia tidak akan pernah maju jika pemimpinnya tidak memiliki jiwa perubahan takut akan perubahan. Sebab perubahan adalah sebuah keniscayaan sejarah kehidupan manusia.

Setidaknya pernyataan Anies telah mengajarkan kepada kita semua, bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti apalagi dibenci. Dan perubahan menandakan kehidupan itu bergerak dan dinamis serta memberilan harapan akan sesuatu yang lebih baik lagi untuk kehidupan masa depan.