Butet Kartaredjasa: Reinkarnasi Lekra

Oleh: Ahmad Basri (Ketua K3PP Tubaba)

Bulan Bung Karno (BBK) yang diadakan pada, sabtu 24 / 2023 lalu, oleh PDIP di Stadion Utama Gelora Bung Karno ( SUGBK ) Jakarta, dengan menghadiri ribuan simpatisan dan kader, sedikit banyak telah tercoreng dan ternodai oleh ulah budayawan Butet Kartaredjasa. DPP PDIP sendiri melalui Djarot Saiful Hidayat menyesalkan atas puisi tersebut tidak elok dan pantas.

Padahal makna dari Bulan Bung Karno, setidaknya memberikan arti dan makna historis, untuk merefleksikan kembali nilai – nilai luhur, ajaran pemikiran Bung Karno, dan tentunya membangun semangat kebangsaan Nasionalisme, yang saat ini mulai luntur terguras, oleh berbagai kepentingan politik prakmatisme atas nama induvidu, kelompok dan golongan.

Puisi yang dibacakan oleh Butet Kartaredjasa diatas panggung acara Bulan Bung Karno, dianggap telah membangun satu narasi diksi kebencian ‘ propogandis ‘ terhadap capres 2024. Puisi tersebut jelas terang benderang ditujukan oleh diri capres Prabowo (Gerindra) dan Anies (NasDem).

Walaupun Butet mengakui puisi tersebut tidak untuk siapa – siapa bukan puisi politik pesanan. Pembelaan Butet jelas sebuah apologistik yang tidak berdasar sama sekali, dan menunjukan sikap kekerdilan Butet, sebagai seorang penggiat kebudayawaan.

Seorang budayawan ‘puisi’ sekaligus penggiat kebudayaan, setidaknya harus mampu menempatkan pada satu kemampuan diri ‘ netral ‘ dalam berkebudayaan ditengah masyarakat.Bukan politik partisan menjadi alat kepentingan politik.

Puisi setidaknya memberikan pesan nilai – nilai pencerahan ditengah masyarakat bukan kebencian.Apalagi dibacakan dipanggung partai politik (PDIP), tentu mengandung makna politis bahwa, apa yang dilakukan oleh puisi Butet merupakan bagian dari kepentingan politik.

Jika ingin dianggap netral dalam berpuisi tidak bias politis kebudayaan, setidaknya puisi tersebut tidak dibacakan di atas dipanggung Bulan Bung Karno (BBK), yang merupakan acara politik PDIP.Kita ketahui PDIP pilpres 2024 menetapkan Ganjar Pronowo sebagai capres.Tentu makna politis akan mewarnai nilai puisi Butet.

Andaikan puisi Butet itu dibacakan ditempat umum atau gedung, dimana tidak ada atribut politik kepartain tertentu, maka pesan politis pusi tersebut bisa dipahami. Semua capres 2024 (Ganjar, Prabowo, Anies) bisa di kritik melalui puisi dengan nilai kadar yang sama.Bukan yang satu dipuja setinggi langit lainnya dihancurkan.

Sejak sepeninggalan penyair besar budayawan WS Rendra yang wafat 2009, kita memang kehilangan puisi – puisi yang membangun politik pencerahan di tengah masyarakat. Belum ada yang mampu membangun pencerahan politik kebudayaan, kepada publik masyarakat melalui puisi sekelas WS Rendra.

Sosok WS Rendra mampu menempatkan nilai puisi, untuk membangun pencerahan kesadaran kebudayaan, atas realitas obyektif apa yang terjadi di tengah masyarakat. Kemampuannya untuk tidak terkooptasi oleh alur irama kepentingan politik kepartaian, merupakan satu kelebihan seorang WS Rendara, yang hari ini sepertinya sulit diketemukan dikalangan penggiat kebudayaan di tanah air.

Fenomena Butet seniman dalam puisi kebudayaan, yang berafialisi dengan kepentingan politik kepartaian, setidaknya bukanlah sesuatu yang baru di tanah air. Di zaman PKI menguasai panggung politik era 1960 an, para seniman budayawan dibentuk dengan satu wadah yang bernama Lekra ( Lembaga Kebudayaan Rakyat ). Tokoh besarnya sastrawan Pramoedya Toer sebagai penggerak kebudayaan.

Tujuan didirikan Lekra oleh PKI, setidaknya untuk kepentingan politik perjuangan PKI melalui tangan para seniman budayaawan. Cara kerjanya penuh dengan politik propogandis narasi diksi kebencian, melalui kegiatan berbagai pertunjukan kebudayaan. Mereka yang anti dengan prilaku politik PKI dihajarnya oleh seniman budayawan Lekra.

Pengalaman sejarah dimasa lalu tentang Lekra – PKI, setidaknya menjadi pelajaran berharga dalam historis perjalanan bangsa ke depannya. Melalui politik kebudayaan setidaknya para seniman budayawan, harus mampu menempatkan diri dalam ruang kebebasan ‘ netral ‘ dalam berkebudayaan.

Dengan puisi kebudayaan, sebuah bangsa akan maju dan beradab, namun dengan puisi kebudayaan sebuah bangsapun bisa hancur. Seniman budayawan harus mampu pembawa obor pencerahan sebagaimana telah diwariskan oleh WS Rendra.

Apa yang yang dilakukan oleh Butet dalam puisinya, dipanggung politik PDIP beberapa waktu lalu, anggaplah sebagai puisi comberan, yang tak memiliki nilai estitika moral dalam membangun berkesenian dan kebudayaan.Bisa jadi sosok Butet hari ini merupakan reinkarnasi Lekra di tahun 1960 an. Dan puisi Butet sangat jauh dari nilai – nilai ajaran Bung Karno.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News