Jika Anies Tersangka, Pengamat Hukum dan Politik: Hukum di Bawah Kendali Penguasa

Hukum di bawah kendali hukum jika bakal calon Presiden yang diusung NasDem, PKS dan Demokrat menjadi tersangka dalam kasus Formula E.

“Jika Anies tersangka kasus Formula E maupun kasus lain menunjukkan hukum di bawah kendali penguasa,” kkata pengamat hukum dan politik Damai Hari Lubis kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (28/6/2023).

Menurut Damai, BPK sendiri sudah menyatakan, Formula E tidak ada unsur korupsi. “Bahkan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies mendapat empat kali opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK,” ungkapnya.

Damai juga membandingkan dengan kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). “Kasus Ahok sudah sangat jelas terbukti dalam penistaan agama. Namun tidak diketahui penahannnya. Hal ini membuktikan kecurigaan terhadap aparat penegak hukum,” paparnya.

Damai mengatakan, terjadi berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian Rumah Sakit (RS) Sumber Waras.

Pimpinan KPK sebelum era Firli Bahuri disebut telah melindungi Ahok dengan menyatakan bahwa Ahok tidak mempunyai niat jahat.

Ahok disebut merubah nomenklatur RAPBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdate.

Ahok juga dianggap mengabaikan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membatalkan pembelian lahan RS Sumber Waras yang melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU 15/2004.

Dari pembelian lahan RS Sumber Waras ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp 191 miliar. Hal tersebut melanggar Pasal 13 UU 2/2012 dan Pasal 2 Perpres 71/2012.

Selain itu, juga berpotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan.

Selanjutnya, berpotensi tambahan kerugian negara miliaran rupiah dari sewa lahan, dan bertentangan dengan Pasal 6 Permendagri 17/2007, PP 27/2014 dan UU 17/2003.

Kasus Lahan Taman BMW

Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman BMW dan berpotensi merugikan negara puluhan miliar rupiah.

Di mana, tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan kepada Pemda DKI sebagai kewajiban, ternyata bukanlah milik AP; lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI.

Selanjutnya, telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP; Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP, yang melanggar PP 24/1997 dan PMNA 3/1997.

Kasus Lahan Cengkareng Barat

Terdapat beberapa pelanggaran yang diduga dilakukan Ahok yaitu, sesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Pemda sendiri di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar.

Selanjutnya, terjadi diduga terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU 20/2001, tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Dalam proses pembelian lahan terdapat dugaan pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp 10 miliar yang melanggar Pasal 12 UU 20/2001.

KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memproses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus korupsinya sendiri yang sebesar Rp 668 miliar.

Kasus Dana CSR

Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre, dipimpin dan dikelola Ahok dan tim sukses.

Di mana, dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah, ternyata oleh Ahok disebut tidak dimasukkan ke dalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre.

Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center di luar APBD antara lain diduga melanggar UU 40/2007 tentang PT, PP 47/2012 tentang TJSL, Pemern BUMN 5/2007 tentang Kemitraan BUMN, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Selain itu, pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang. Kerjasama ini dianggap sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.

Pada Februari 2016, KPK telah mengusut kasus ini, namun dinilai tak jelas kesimpulannya.

Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

Berdasarkan fakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus reklamasi.

Dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya mengaku telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk menggusur rakyat. Dana diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah memberikan izin-izin reklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayah dengan DPRD DKI masih berlangsung.

Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju menurunkan kontribusi tambahan 15 persen NJOP menjadi 5 persen NJOP. Ahok merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi dapat direvisi.

Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar kepada Pemprov DKI. Hal ini merupakan pelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan oknum Pemprov DKI.

Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan terhadap ketiganya.

Pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi meliputi, menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar Pasal 12 UU 20/2001 tentang Tipikor; mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar Pasal 22 UU 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selanjutnya, menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU 1/2014 berupa perubahan atas UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Menerbitkan izin reklamasi di luar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP 54/2008.

Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pelaksanaan proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun rupiah.

Ternyata Agus dan KPK double standard. KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap Ahok, Sunny dan Aguan. KPK tampaknya telah takluk.

Kasus Dana Non-Budgeter

Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (Agung Podomoro Land, APL) pada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang “kontribusi tambahan” proyek reklamasi.

Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta. Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok memanfaatkan dana non-budgeter.

Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan. Namun dibalik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsip good governance.

Ahok menjalankan skema dana non-budgeter yang berpotesi merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan rupiah. Tindakan tersebut dianggap sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema non-budgeter termasuk kategori mega korupsi.

Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok

Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas: hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dlll.

Ternyata motif dibalik sebagian besar penggusuran oleh Ahok adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti meningkat.

Begitu pula dengan area hasil gusuran yang dirubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.

Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menjalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah melanggar Pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945; melanggar berbagai ketentuan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

Melanggar UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM; melanggar Pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara dan Pasal 6 UU 34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat; melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News