Presiden Jokowi Alami Post Power Sindrome

Oleh: Ahmad Basri (Ketua K3PP Tubaba)

Istilah cawe – cawe dalam pengertian sederhana ikut serta dalam menangani sesuatu – ikut campur atau melibatkan diri. Ini makna sikap aktif bukan pasif. Cawe – cawe berasal dari bahasa Jawa, pada akhirnya menjadi bahasa keseharian, kehidupan sosial masyarakat secara umum.

Walaupun tidak semua orang paham tentang arti dan makna cawe – cawe itu sendiri.Karna tidak semua orang indonesia berasal dari etnis suku jawa. Perbendaharaan kata kalimat itu mungkin masih belum familier ditelinga.

Cawe – cawe itu bisa positif bisa negatif.Tergantung dalam tindakan implementatif yang dilakukan. Dan cawe – cawe sesungguhnya, terletak pada niat personality dalam dirinya seseorang itu sendiri. Apa yang di ucapkan dengan tindakan bisa jadi berbeda.

Menjadi menarik ramai “pro – kontra” ketika kalimat kata cawe – cawe di ucapkan oleh Presiden Jokowi, dihadapan para pimpinan awak media beberapa waktu lalu.

Dalam suasana tahun politik menjelang pemilu pilpres 2024, tentu makna ucapan Presiden Jokowi, bukanlah makna tunggal, untuk dipahami secara literal tekstual oleh publik.

Walaupun lingkaran dalam istana telah memberikan penjelasan argumentatif rasional bahwa, tujuan kata kalimat cawe – cawe Presiden Jokowi, agar pemilu 2024 itu berjalan normal tidak ada kegaduhan keributan.

Secara normatif argumentatif rasional pernyataan lingkaran dalam istana dapat dipahami. Sebagai kepala negara dan pemerintahan, pemilu 2024 harus berjalan sukses, dan itu merupakan tanggung jawab normatif moral politis seorang presiden.

Tentu ada parameter untuk mengukur bahwa, cawe – cawe Presiden Jokowi tersebut netral obyektif tidak ada berpihak kanan kiri.Jika tidak netral obyek berpihak kepada kelompok golongan atau pada personality. Maka timbul berbagai spekulasi pertanyaan.

Oleh karna itu, maka cawe – cawe Presiden Jokowi perlu dipertanyakan di pertegas kembali obyektifitasnya. Kenegarawanan seorang Jokowi sebagai presiden tentu akan diuji oleh publik.

Jika cawe – cawe Presiden Jokowi, pada akhirnya di personifikasikan, pada subyek personality, tentu ini mereduksi kewibawaan presiden jokowi sendiri.Jatuh pada karakter seorang sifat prilaku politisi partisan.

Di prediksi pemilu pilpres 14 Februari 2024 ini akan mengerucut tiga nama besar yang sudah dikenal publik luas. Anies Baswedan ( Nasdem ) Ganjar Pranowo ( PDIP ) dan Prabowo Subianto ( Gerindra ).

Dari perbagai kajian analisis survei yang dilakukan. Grafik statistik tidak begitu jauh tingkat elaktabilitas diantara mereka. Masing – masing memiliki ” follower ” dilapisan struktur sosial ekonomi pendidikan dan religius keagamaan di tengah masyarakat.

Jika mengerucut hanya tiga nama seperti yang disebutkan diatas pilpres pemilu 2024. Sejauh mana personifikasi seorang Jokowi sebagai presiden menempatkan dirinya dalan tiga nama tersebut. Tentu cawe – cawenya seorang Presiden Jokowi sangat dinantikan dan dinilai oleh publik.

Hari ini dalam istilah PDIP Presiden Jokowi adalah petugas partai. Kata ini selalu dikemukakan oleh Megawati sebagai ketua umum. Termasuk pada pencapresan Ganjar Pranowo tetap sama petugas partai. Jokowi sebagai presiden jalur PDIP adalah poros utama.

Mungkinkah seorang Jokowi sebagai presiden, mampu menempatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam politik partisan dalam pilpres 2024. Ini yang sesungguhnya harus ditunjukan seorang Jokowi sebagai presiden.

Publik khawatir dengan cawe – cawe Presiden Jokowi, dalam pemilu pilpres nanti, mengandung makna keperpihakannya terhadap salah satu tiga kandidat capres yang ada. Artinya cawe – cawenya bukan sebuah subyek obyek kenetralan.

Bisa jadi cawe cawenya Presiden jokowi menghasilkan produktifitas negatif, menghasilkan polarisasi sosial politik ditengah masyarakat yang semakin meluas. Jika tidak diwaspadai menghasilkan chaos politik dalam pemilu nanti. High cost sosial politik terlalu mahal untuk sebuah cawe cawe seorang Presiden.

Jika cawe cawe Presiden Jokowi dimaknai bahw, dirinya masih memiliki kekuasaan besar, untuk menentukan apa keinginannya tentang wajah presiden akan datang. Bisa jadi hemat penulis, presiden Jokowi sedang mengalami satu stimulus politis piskologis gejala post power sindrom diakhir kekuasaannya.

Gejala ini satu bentuk dimana orang belum siap menjadi manusia biasa sebagai warga negara. Belum siap penggantinya yang berbeda dengan hati dan pikirannnya. Harusnya ini tidak boleh terjadi di alam kehidupan demokrasi.Setiap pejabat publik dalam level apapun sesungguhnya memiliki stimulus gejala piskologis post power sindrome dan itu lumrah sebagai manusia.