Oleh: Ahmad Basri, Ketua K3PP Tubaba
Semangat “menghancurkan” capres Anies dari partai Nasdem, yang didukung oleh Partai Demokrat-PKS sebagai calon presiden 2024, sepertinya sangat sulit untuk tidak terbantahkan. Aura politik kanibalisme begitu terasa mendekati pemilu 2024 ini. Etika politik sebagai landasan moral, tidak menjadi satu komitmen bersama, di elit politik kita hari ini.
Jika mengikuti pergerakan alur dinamika politik nasional, sejak Anies menjadi capres dari partai NasDem, sudah sangat terasa gerakan kanibalisme, ketidak sukaan beberapa pihak terhadap Anies. Termasuk Presiden Jokowi sendiri, menampilkan aura personality ketidak sukaan, dan itu sangat jelas sekali dipertontokan. Padahal presiden jokowi bukan kompetitor dalam pemilu 2024. Waktunya lengser meninggalkan istana.
Menariknya, berbagai tulisan analisis dari berbagai persfektif, sudah banyak di bahas dan mengulas. Mengapa gerakan perlawanan atas pencapresan Anies begitu masif oleh elit politik. Begitu takutnya atas pencapresan Anies, sehingga dengan segala daya upaya harus dihancurkan. Dan apa yang dilakukan Anies hari ini adalah salah.
Begitu buruk budaya politik kita hari ini, di tengah klaim negara demokratis. Menjadi satu pertanyaan kritis bagi kita semua, benarkah kita sebagai negara demokratis, sebagaimana dilukiskan oleh negara – negara lain tentang indonesia. Jika mengikuti alur siklus ritme pemilu, tahapan lima tahunan, mungkin ada benarnya, apa yang di nilai oleh negara lain.
Kita sukses menjalakan itu semua sebagai negara demokratis.Tapi apakah itu semua mencerminkan isi kualitas demokrasi yang sesungguhnya.Sepertinya, kita harus sedikit menarik napas dalam – dalam. Pemilu dengan azas luber jujur dan adil, masih menjadi satu kenyataaan mimpi, yang perlu diperjuangkan dan disuarakan.
Sepertinya, jalan satu – satunya dan terakhir, untuk menggagalkan pencapresan Anies, paling rasional merebut kepengurusan partai demokrat, secepat mungkin dari AHY sebelum pemilu dilaksanaksn 2024. Pendekatan lainnya, sepertinya sudah kehilangan aura kekuatan. Di awal pencapresan Anies, dengan peluru isu politik identitas, namun peluru tersebut tidak begitu banyak memberi makna, untuk menurunkan tingkat elektabilitas Anies. Kenyataannya tingkat elektabilitas Anies, semakin hari semakin menunjukan grafik kenaikan.
Dengan langkah Moeldoko melakukan PK ke MA, menunjukan satu bukti nyata bahwa, tujuan dari itu semua untuk menggagalkan Anies, dari pencapresan pemilu 2024 dan memperondakan koalisi pendukung Anies. Sekali lagi bahwa,PK Moeldoko ke MA tidak sebatas, hanya dimaknai dalam wilayah hukum murni persoakan hukum semata. Politik hukum lebih mendominasi tujuan dari PK Moeldoko ke MA.
Mengapa Moeldoko melakukan itu semua dengan politik membabi buta terhadap kepemimpinan AHY – Demokrat. Sedangkan Moeldoko bukan kader demokrat. Bukakan karir militer Moeldoko, dari Pangkostrad, KSAD, hingga menjadi panglima TNI, merupakan proses dari masa kepemimpinan SBY ketika presiden. SBY yang menyamatkan bintang empat dipundaknya dengan terhormat.
Bukankan bintang empat dipundaknya merupakan hasil dari ” pemberian hadiah ” SBY. Sesuatu yang sulit untuk dipahami, dari sudut manapun untuk menilai, seorang Moeldoko berpegang pada pijakan moral. Dimana dibesarkan dari kariri militer dari manusia biasa, lalu berbalik arah merasa jumawa dengan segalanya.
Mungkinkah seorang Moeldoko melakukan itu semua atas kesadaran diri pribadinya, atas hasrat kekuasaan jabatan yang liar. Sangat sulit untuk mengatakan bahwa, itu lahir dari kesadarannya dari dalam personalitynya. Wajar berbagai kalangan menilai Moeldoko hanya menjalankan pesan politik dari luar. Moeldoko hanyalah ” wayang ” dari sinetron yang sedang dimainkan.
Menariknya, mengapa Moeldoko hanya gigih ingin merebut kursi demokrat, yang di dalamnya ada SBY, yang telah membesarkan nama dan karir militernya.Mengapa Moeldoko tidak memilih partai yang lainnnya selain demokrat. Masih banyak partai lain selain demokrat jika ingin merebutnya. Mengapa tidak merebut PDIP misalkan, dari tangan Megawati sebagai ketua umum. Pertanyaan ini yang seharusnya Moeldoko jawab. Sangat menarik misalkan, Moeldoko merebut ketua umum PDIP dari Megawati seperti era Orde Baru.
Itulah mengapa pernyataan Prof Denny Indrayana bahwa, sesungguhnya peran politik istana, ada di belakang kelakuan Moeldoko. Ada tuduhan bahwa Presiden Jokowi di balik itu semua. Tuduhan bahwa Moeldoko sedang menjalankan misi kepentingan politik Jokowi sulit tidak terbantahkan. Lalu dendam politik apa Jokowi terhadap SBY. Sepertinya sulit untuk dipahami. SBY tidak pernah menjadi rival politik Jokowi.
Andaikan citra politik Presiden Jokowi ingin bersih, dari prilaku politik Moeldoko, sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan. Tinggal panggil Moeldoko ” jangan lakukan perbuatan itu kepada demokrat ” selesai kegaduhan keributan, maka akan hilang dengan sendiri. Moeldoko hilang kekuatan dan dukungan. Ini tidak dilakukan presiden Jokowi sampai hari ini.
Di balik prilaku politik Moeldoko di luar moralitas kelaziman seorang militer – TNI, apalagi menyandang gelar mantan panglima TNI, tentu menjadi pertanyaan besar dari publik tentang institusi militer TNI. Bagaimana SBY yang berasal dari militer – TNI plus presiden, yang membesarkan yuniornya seorang Moeldoko, menjadi panglima TNI dipertontonkan sedemikian rupa.
Bisa jadi fenomena Moeldoko, menandakan krisis moral etika, ketika para purnawirawan petinggi militer – TNI terjun ke dunia politik. Semangat jiwa sapta marga – sumpah prajurit, yang menjadi doktrin utama, tidak melekat dalam hati pikiran dan tindakan. Belum terjadi dalam sejarah mantan presiden, di akhir kekuasaan jabatannya, dikoyak – koyak harga dirinya, oleh anak buahnya, yang sama tumbuh dan besar dari militer. Apa yang dilakukan seorang Moeldoko, tentu sesuatu yang memalukan bagi institusi militer – TNI. Menjadi catatan hitam.
Setidaknya, Moeldoko harus banyak belajar banyak dari seorang Probowo Subianto. Betapa historis kesejarahan militer Prabowo Subianto, lebih menderita pasca reformasi 97. Ditiadakan jabatan dengan segala macam tuduhan.Namun tak ada satu wajah dan narasi membangun rasa dendam di masa lalu. Dari Prabowo Subianto setidaknya kita telah belanjar banyak bagaimana membangun peradaban politik secara terhormat moralis. Itulah seorang militer TNI prajurit sejati.
Tidak heran sebutan jenderal begal politik melekat dalam diri Moeldoko. Sesuatu yang sangat memalukan tentu istilah tersebut. Bisa jadi publik memberi istilah lain lagi, yakni menyebutnya jenderal kudis – jenderal kurap, selain jenderal begal. Itulah resiko yang harus diterima seorang Moeldoko. Tak perlu mewariskan tradisi Machiavallisme untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Jalan moralis dan beradab masih terbuka lebar. Mendirikan partai politik sendiri lebih terhormat dan elok bagi seorang Moeldoko.
Kita sesungguhnya berharap presiden jokowi mengambil posisi seorang negarawan dalam pemilu pilpres 2024 diakhir kekuasaan jabatan. Bukan sebaliknya memposisikan dirinya sebagai politikus partisan berpihak kanan kiri meniadakan yang lainnya.
( Penulis Ketua K3PP Tubaba )