Oleh Agung Marsudi (Founder Duri Institute)
LaNyalla, dan Dokter Zul ibarat dua pemain musik asal Jawa Timur, yang berkolaborasi membawakan lagu yang sama, “Kembali ke UUD45”.
LaNyalla pemain bass, pak dokter pemain drum, ada saatnya LN memainkan solo bass, dan dokter memainkan solo drum, tergantung bagaimana situasi panggungnya, boleh jadi bila ketemu pemain lead gitar dan organ, tentu permainan akan lebih atraktif, apalagi dilengkapi orkestra, makin harmonis, kewajiban penonton tepuk tangan, selanjutnya melempar botol air mineral, bila dibutuhkan.
Dalam konteks kekinian, jika para pemain jazz yang memainkan lagu kembali Ke UUD45, sementara yang lain, yang mendukung pilpres langsung, ibarat penggemar musik dangdut, yang penting “goyang”, meski lirik lagunya menggambarkan penderitaan.
Duet LaNyalla dan dokter Zul, seperti sedang memainkan musik Jazz, jelas tidak mungkin diminati penggemar dangdutan, atau diskoplo.
Perjuangan kembali ke UUD 1945 asli tidak hanya membutuhkan konsistensi, dan energi tapi juga kegilaan. Jadi teringat, tujuh “orang gila” dari Jawa Timur, versi Gus Dur.
Kegilaan yang nampak terukur, meski tak memakai partitur. Ingat, Michael Foucault, filsuf Perancis (1926-1984) dalam bukunya yang berjudul Histoire de la folie à l’âge classique (Madness and Civilization). “Kegilaan dan Peradaban”.
Api LaNyalla telah menyala. Dokter Zul sedang menyelesaikan diagnosa, untuk selanjutnya melakukan operasi. Tentu, keduanya tak boleh asal “bergoyang”. Sebab masih ada Pak Try yang mengawal langkah kegilaan.
Perjuangan mempertahankan jati diri bangsa yang luhur, dimulai dari Jawa Timur.
Bila itu tuntas, maka garis demarkasi makin jelas. “Proklamasi” dan “Reformasi”. Lalu, rakyat tak perlu diuji, karena setiap pesta demokrasi nasib rakyat hanya diundi.
Solo, 29 Nopember 2022