Hindari Ewuh Pakewuh, Tindakan Hukum Terhadap Jokowi Harus Objektif (2)

Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Tidak terasa masa jabatan Jokowi sebentar lagi akan berakhir, oleh sebab Pemilu Pilpres 2024 akan tiba 2 ( dua ) tahun lagi, serta untuk pendaftaran Bakal Calon Presiden penggantinya akan mulai dibuka pada bulan Februari 2024 oleh KPU, sehingga efektif KPU menerima pendaftaran Capres dan Cawapres hanya sekitar lebih kurang 1 (satu) tahun lebih sedikit

Bahwa selama Jokowi memimpin negara ini, ada banyak catatan – catatan hukum terkait dugaan pelanggaran – pelanggaran yang telah dilakukan olehnya, yang sudah dicatat secara rinci oleh publik, utamanya adalah yang mengandung banyak unsur – unsur kebohongan daripada janji – janjinya, dan alhasil dampak daripada kebohongan – kebohongan atau ingkar janji atau ketidak mampuan memenuhi janjinya, atau ingkar prestasi, Jokowi telah membuat gaduh masyarakat bangsa ini, terbukti hingga saat ini dibanyak media online, dan atau diberbagai aplikasi media publik, amat mudah dibuktikan adanya kegaduhan verbal untuk didapatkan dari berbagai narasi- narasi publik, berupa konten nyinyir, postingan gambar dan atau tulisan, dengan bahasa umpatan – umpatan yang tiada beda dengan bentuk hinaan, yang membuat jatuh wibawa atau harga diri yang amat nyata terhadap seorang tokoh kepala negara atau terhadap diri Jokowi selaku seorang Presiden, bahkan hinaan ini banyak menjadi materi orasi para orator – orator saat aksi demo publik dilakukan, dan termasuk perilaku Jokowi lainnya yang cukup krusial dan sangat mengganggu sistim hukum positif atau konstitusi di negara ini, diantaranya adalah Pembiaran atau tidak memerintahkan kepada pimpinan aparatur penegak hukum Polri dan Kejaksaan Negara RI/ NRI yang secara garis kepemimpinan eksekutif berada dibawah garis kepemimpinannya sebagai kepala negara, sehingga amat mudah untuk Jokowi memerintahkan Kapolri atau Jaksa Agung untuk memproses hukum terhadap Para Terduga atau Terpapar Korupsi, atau terpapar atau para terduga pelanggar konsitusi dan atau terduga aanslag atau attempt atau upaya makar, agar dapat ditangani sesuai due process of law.

Namun sebaliknya Jokowi malah mempertahankan kedudukan yang bersangkutan para terpapar korupsi, atau dirinya telah melakukan perbuatan pelanggaran atau melawan hukum dengan cara pembiaran, atau kebalikannya dari keharusan, sehingga terhadap apapun perkara dalam ruang lingkup peristiwa pidana pembiaran yang diperbuat oleh Jokowi dirinya terancam oleh Pasal 421 KUHP.

Di antara pembiaran pembiaran yang dilakukan oleh Jokowi tersebut adalah contra prestasi, ketika dirinya selaku presiden yang seharusnya memberhentikan seseorang pejabat fungsionaris dengan posisi menteri dalam kabinetnya yang berada tepat didalam atau dibawah kekuasaan prerogatifnya, justru tidak ia keluarkan ( non aktifkan ) dari dalam kabinetnya, dari jabatan yang diemban para terpapar korup, atau para pejabat tinggi yang telah terindikasi atau yang terpapar melakukan pelanggaran hukum lainnya, yang akan membuat degradasi atau hilangnya kepercayaan masyarakat bangsa ini kepada pemerintahan secara keseluruhan temasuk terhadap dirinya selaku pejabat eksekutif atau penyelenggara negara tertinggi di republik ini, bahkan sebaliknya beberapa diantaranya yang sebelumnya ada diluar pemerintahan justru ditarik masuk ke dalam kabinetnya, atau yang Ia jadikan sebagai pejabat publik, atau menambah jabatan yang sudah ada, atau sebagai pembantu spesialnya atau sebagai orang kepercayaannya dibawah struktural kabinetnya, contoh terhadap Ahok yang atas dirinya berdasarkan Temuan Sah Negara ( Tim audit lembaga BPK ) telah merugikan Keuangan atau Perekonomian negara saat Ahok menjabat Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta, yang terjadi Ahok nyatanya justru menjadi pejabat publik dengan jabatan Komisaris Pertamina, sebuah jabatan cukup bergengsi di badan usaha milik negara/ BUMN, begitu pula terhadap, Erlangga Hartarto, Zulfikar Hasan, Tito Karnavian, justru mereka yang terdeteksi sebagai subjek hukum yang terpapar korupsi,
dan Muhaimin, juga tidak tersentuh hukum. Kemudian terhadap Luhut Binsar Panjaitan/ LBP, Menkomarves menteri negara, saat LBP yang juga pada dirinya dibebani tanggung jawab sebagai pelaksana daripada sebagian tugas Menkes, oleh sebab LBP diberikan tambahan sebagai Koordinator Penanggulangan Pandemi Covid 19 atau pagebluk corona 19, dan dirinya punya kuasa terhadap pengadaan vaksin covid 19 termasuk PCR tentunya, namun Jokowi tidak memberhentikannya, ketika publik mengetahui adanya temuan bisnis yang dilakukan LBP terkait jual beli alat swab PCR,( Polymerase Chain Raction ) barang atau alat kesehatan untuk test uji covid 19 yang overlapping dengan tupoksi jabatan LBP, serta tanpa merujuk regulasi Perpres Nomor 12 Tahun 2022, tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Dan hal terkait LBP ini Jokowi tidak memerintahkan Kapolri atau Jaksa Agung untuk melaksanakan proses hukum sesuai rule of law, oleh sebab perbuatan LBP ini, cukup serius dari sisi pelanggaran sistim hukum perundang-undangan, Jo. vide UU. RI No. 20 Tentang Perubahan UU. RI. No.31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tipikor. Selain pastinya melanggar ketentuan Asas – Asas Umum Pemerintahan yang baik yang ada pada UU. No. 30 Tahun 2014. UU. RI Tentang Adminstrasi Pemerintahan Jo. UU. No. 28 Tahun 1999, UU. Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN. Begitupun termasuk selain Ahok dan LBP, mereka individu – individu para subjek hukum yang terindikasi catatan – catatan buruk, sesuai data impirik, dan media informasi yang berkesesuaian berdasarkan temuan hukum yang ada, dan perihal temuan hukum ini, semuanya masih terpatri dibenak masyarakat, namun justru LBP. malah diberikan banyak tambahan jabatan oleh Jokowi, selain jabatan Menko Marves yang diemban LBP, begitu pula terhadap rekan – rekan LBP, ( diluar Muhaimin ), mereka diangkat menduduki posisi jabatan menteri* dan oleh sebab hukum Jokowi pada prakteknya identik secara hukum telah melakukan pembiaran ( Pasal 421 KUHP ) karena tidak melakukan sesuatu atau tidak mengupayakan dilakukannya proses penegakan hukum terhadap para terpapar dan atau terlapor delik pidana atau terhadap seorang pelaku tindak pidana yang ada dan Ia kenal serta ketahui sebagai bawahannya atau dibawah kekuasaan kepemimpinannya

Dan Jokowi secara sistim hukum yang berlaku positif, sudah dapat diduga telah melakukan pelanggaran – pelanggaran Konstitusi, diantaranya melakukan pembiaran Pancasila yang disakralkan oleh bangsa dan negara ini, secara dengan sengaja dirusak atau dikerdilkan, dengan memperalat kekuatan kelembagaan negara, bahwa sila-sila pada Pancasila, yang dinyatakan didalam konsitusi dasar UUD.1945 sebagai dasar negara, atau pondasi negara, adalah sumber dari segala sumber hukum yang menjiwai dari peraturan perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan hal terkait Pancasila ini merupakan sesuatu yang final. Oleh karena, selain posisi Pancasila merupakan landasan dasar yang mengandung nilai filosofis (staatsfundamentalnorm) dalam berbangsa dan bernegara, namun pada kenyataannya Pancasila di Era Pemerintahan Jokowi, oleh BPIP/ Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, justru bukan melakukan pembinaan sesuai filosofi pancasila, malah ingin merusak sendi – sendi pancasila sebagai dasar negara yang tercantum dalam pembukaan UUD. 1945 alinea ke 4, karena secara riil oleh BPIP pancasila dipres atau ditekan – ditekan atau dibuat mini atau dikerdilkan dari 5 ( Panca ) Sila menjadi 3 ( tiga ) atau Tri Sila, lalu dikerdilkan lagi menjadi Eka atau 1 ( satu ) Sila, lalu berubah wujud yakni menjadi Gotong Royong, hal Panca Sila menjadi Eka Sila lalu dinyatakan sebagai Gotong Royong ini, jelas datangnya dari inisiasi atau produk buah pikir BPIP, melalui personil anggota atau dewan pengurusnya, salah satunya adalah Megawati selaku Ketua Pembina BPIP, yang kemudian oleh BPIP diaplikasikan sebagai sebuah konsep HIP, kemudian BPIP melemparkan rumusan HIP atau konsep Pancasila yang berwujud Gotong Royong tesebut kepada DPR RI, yang secara hukum, inisiasi BPIP, ditengarai oleh mayoritas publik, sebagai metode atau buah pikir dan sebagai missi kaum komunis yang dilarang oleh sistim hukum, bahkan dinyatakan sebagai bahaya laten*, mengapa ditengarai adanya ideologi komunis didalam RUU. HIP, karena ada sinyal antara lain, TAP MPRS No. 25 Tahun 1966, sebagai TAP. Yang menjadi dasar ketentuan pelarangan penyebaran komunisme, dan TAP. MPR ini sudah menjadi rujukan Pasal Pada UU.RI. No. 27 Tahun 1999, Tentang Perubahan UU. RI No. 1 Tahun 1946. Tentang KUHP, nyata TAP. MPR. RI No. 25 ini , tidak dicantumkan sebagai konsideran RUU. HIP. Cikal bakal untuk disahkan menjadi UU. HIP. Lalu pada akhirnya sesuai data dan fakta hukum, para anggota parlemen legislatif, terbukti ( Minus PKS dan Partai Demokrat ), DPR RI secara de fakto dan de yure, melalui sidang paripurna telah mengesahkan RUU. HIP, pada tanggal 12 Mai 2020, yang ada dan nyata dampak pengesahan RUU. a quo, telah terjadi banyak terjadi aksi – aksi demo di Jakarta maupun didaerah – daerah maupun di ibukota berbagai provinsi di tanah air. Termasuk penolakan keras dan tegas dari MUI dengan diikuti tanda tangan 34 Ketua MUI provinsi yang ada di Indonesia, pada tanggal 15 Juni 2020, MUI Pusat telah mengeluarkan Maklumat melalui No. 1240/ DP./ MUI/ VI/ 2020 Tentang Masiroh Kubro. Bahkan Ketua MUI DKI , KH. Munahar Muchtar, ikut turun demo di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, saat aksi penolakan RUU. HIP. tersebut, pada tanggal 5 Juni 2020, dengan judul agenda aksi demo ” Ganyang Komunis “, dan Beliau pada aksi tersebut menyatakan antara lain :
“Kita sudah minta DPR agar RUU HIP ini dibatalkan bukan dtunda. Dan kalau tetap dijalankan, maka MUI akan melaksanakan al masiroh kubro (demo besar-besaran). Sekitar 80% umat Islam akan turun ke jalan,”

Namun pada kenyataannya, perilaku Para Petinggi lembaga negara atau badan kepengurusan BPIP beserta Para Anggota DPR RI yang disinyalir akan melemahkan serta menghianati Pancasila melalui RUU. HIP ini, Jokowi pun kembali melakukan pembiaran dari keharusan sebagai seorang Kepala Negara RI atau Presiden RI, karena fakta hukum tidak mengeluarkan perintah untuk melakukan penegakan hukum sesuai prosedural ( due proccess of law ) terhadap para pelaku dalam kaitan hubungan hukum atas lahirnya RUU.HIP, Jokowi hanya berbuat, untuk tidak melakukan pengesahan RUU HIP. menjadi UU. *Catatan hukum* : Yang jika ditinjau dari perspektif hukum, tidak disahkannya RUU. menjadi UU. Oleh presiden adalah ” sebuah perbuatan kebijakan Presiden yang bertentangan dan menyalahi sistim hukum ketatanegaraan yang ada dan berlaku positif “. Jo. Vide UU. Tentang MD.3 ( UU. RI. NO. 42 Tentang MPR., DPR., DPRD dan DPD), dan terhadap tidak disahkannya UU. RI itupun ditengarai, oleh sebab banyaknya presur massa, melalui aksi demo – demo masyarakat yang menentang disahkannya RUU. HIP oleh DPR RI. dan termasuk terbinya Fatwa MUI dalam bentuk Maklumat MUI dari 34 provinsi ( Termasuk MUI. Pusat ). Termasuk banyak kecaman dari para ahli hukum terhadap kelahiran dan pengesahan RUU. HIP. Sebuah perilaku atau perbuatan yang melanggar daripada konstitusi atau sistim hukum NRI, yang menurut para pakar, ahli hukum dan beberapa akademisi hukum, sosial dan politik, bahwa RUU. HIP merupakan upaya aanslag atau Delik Makar, sebuah padanan kejahatan yang serius, yang dalam istilah asing dinyatakan sebagai ” serious offenses against the security of the state “, karena kejahatan ini subtansial menyerang
terhadap keamanan negara, yang sudah dimulai dengan menyerang atau hendak gantikan dasar Negara RI Pancasila, karena RUU.HIP adalah langkah yang memperalat lembaga negara ( BPIP dan DPR RI ) untuk merusak tatanan sumber dari segala hukum di NKRI, yakni Pancasila dengan cara menyerang atau mengkerdilkan dan atau membuat Pancasila tidak utuh. Selebihnya catatan hukum publik bangsa ini, Jokowi juga telah melakukan pendiaman atau pembiaran terhadap kehendak yang nyata-nyata telah digaungkan atau disampaikan secara eksplisit, dan sengaja dipublis , oleh beberapa orang menteri kabinetnya di Indonesia Maju Jilid II, sehingga attemp atau percobaan atau aanslag yang ada pada rumusan Vide Jo. Pasal 107 hurup b , Pada Pasal Perubahan UU. RI NO. 27 Tahun 1999 Tentang KUHP, unsur – unsurnya telah terpenuhi, yakni adanya Niat atau kehendak di muka umum, atau melalui media , dengan lisan dan tulisan ( RUU . HIP ), yang menimbulkan kerusuhan , yaitu demo – demo serta menerbitkan atau melahirkan fakwa MUI No.1240/ DP/ MUI/ VI/ 2020.Tentang Masiroh Kubro, tertanggal 15 Juni 2020 dan secara fiksi hukum atau presumptio iures de iur, tentunya, para anggota dan atau dewan pengurus BPIP , yang terdiri dari para intelektual telah memenuhi asas fiksi hukum tersebut, dan secara fakta hukum, mereka telah meloloskan RUU.HIP ( anggota parlemen ) atau dengan makna hukum bahwa delik pidan telah selesai dilakukan. Hal ini merupakan perbuatan tindak pidana yang ancaman hukumannya cukup serius, sehingga oleh sebab hukum, telah cukup memenuhi syarat terhadap sesorang untuk dilakukan pemrosesan hukum atas dirinya, selain asas daripada fiksi hukum yakni prinsip ” semua orang dianggap tahu adanya semua peraturan dan ketentuan perundang- undangan yang berlaku di Negara RI. Dalam hal ini adanya UU. RI. No. 27 Tahun 1999 a quo. Dan tentunya semua TAP. MPR RI dan semua rujukan hirakisnya ( Semua UU. Atau hukum positif yang dilanggar ). Tentu termasuk seluruh pimpinan atau petinggi partai – partai koalisinya di DPR RI. Tak terlepas pasti seorang Jokowi, Presiden RI, tunduk kepada ketentuan hukum dan asas fiksi hukum ( presumptio iures de iur )

Kemudian kesalahan dan atau pelanggaran dan pembiaran Jokowi antara lain Menkomarves LBP., / Yang juga Ketua Dewan Penasehat ( struktural Partai Golkar), Menteri Investasi Indonesia/ Bahlil, Muhaimin Ketua Umum PKB. Dan Erlangga Hartarto ( Menko Ekonomi/ Ketum Golkar serta Zulhas Mendag/ Ketum PAN. Mereka para menteri dan Para Ketum Partai dan atau para petinggi partai menyampaikan kehendaknya yang dengan secara sengaja untuk melanggar konsitusi atau sistim hukum positif yang ada dan berlaku di NKRI, dengan mengeluarkan statemen kehendaknya dengan berulangkali, agar Pemilu yang sudah ditetapkan dan ditentukan oleh sumber hukum Negara RI/ NRI Pasal 7 UUD 1945 bahwa Presiden hanya dapat menjabat selama 2 periode, namun mereka hendak mem-barrier dengan cara meng- obstruksi UUD. 1945 sebagai sumber hukum NRI dan sabotase sistim hukum positif terkait Pelantikan oleh MPR atas Sumpah/ Janji Presiden yang merujuk Pasal 9 UUD. 1945 Jo. Pasal 33 Jo. Pasal 34 UU. Tentang MD. 3 / UU. RI. Perihal Sumpah dan Janji Presiden dan Wakil Presiden sesuai penghitungan hasil pemilu, berbunyi :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil – adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa ”.

Maka sumpah dan janji presiden tersebut diatas yang dilakukan pada 2019 ini memiliki makna hukum, berkewajiban memegang teguh, dan menjalankan sebaik-baiknya, seluruh undang – undang dan peraturan yang berlaku di NRI, selurus lurusnya serta berlaku adil. Namun mereka para petinggi negara yang telah bersumpah dan berjanji saat pelantikan, ternyata malah menyimpang, mereka hianati sumpah, hianati konstitusi dasar NRI ( UUD. 1945 ) sebagai sumber hukum di NRI, mereka berusaha berkehendak agar Pemilu Capres/ Cawapres 2024 ditunda atau diundur dari ketentuan yang sudah diagendakan oleh UU. Dan sistim hukum, yakni jabatan atau masa bakti Presiden Jokowi RI hanya selama 5 ( lima ) Tahun sejak 2019, sehingga kausalitas hukum presiden/ Wakil Presiden dan para anggota parlemen yang menjabat dan dilantik pada 2019 berakhir tugasnya pada 2024. Maka akibat pelanggaran terhadap kehendak atau mensrea dari petinggi – petinggi dan para pimpinan dan atau para petinggi partai tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran delik terhadap konstitusi, bahkan pernyataan LBP. Bahwa dirinya, ; ” telah mengantongi big data yang isinya 110 juta masyarkat bangsa Indonesia, menginginkan agar pemilu 2024 ditunda “, serta dihubungkan dengan rekan – rekan sesama menteri yang a quo, terpapar atau terduga, banyak menimbulkan kelompok yang mendukung serta yang menyuarakan undur pemilu 2024, lalu akhirnya juga menimbulkan kegaduhan publik secara verbal di media online, termasuk adanya pelaporan dan pengaduan terhadap diri LBP. ( Kendari dan Jakarta ), juga telah menimbulkan aksi – aksi demo dan salah salah satu aksi di depan gedung DPR RI, Senin, tanggal 11 April, 2022 yang menimbulkan jatuhnya korban akibat eigenrichting / atau pemukulan, atau penganiayaan terhadap Ade Armando, sehingga luka dan berdarah – darah dan Ade nyaris bugil, tanpa pakaian oleh massa, serta sore/ senja harinya dibakarnya Pospol Pejompongan, serta matinya seorang anggota polri, pada hari yang sama, Senin, 11 April 2022, saat aksi penolakan undur pemilu dari tahun 2024, di Kendari, seorang anggota Brimob berpangkat perwira di Kendari, Ipda Imam Agus Husein, meninggal dunia setelah mengamankan aksi demonstrasi, info yang didapatkan, penyebab kematiannya dikarenakan sang korban telah menghirup asap gas air mata yang disemprotkan kepada massa aksi demo. Sehingga mutatis mutandis semua kejadian ini oleh sebab, niat dan atau kehendak jahat ( mens rea/ dolus ) adanya pengusulan masa jabatan presiden Jokowi agar diperpanjang dari 2024 dengan cara inkonstitusional atau melawan hukum dan tidak memperdulikan atau melanggar beberapa sistim hukum lainnya yang berlaku positif, termasuk disertai penyampaian kabar bohong yang menimbulkan kerusakan, kegaduhan dan persekusi penganiayaan serta kematian, hal akibat kebohongan ini jika dikaitkan dengan statemen LBP perihal dirinya memiliki Big data ” tentang 110 juta rakyat Indonesia menginginkan Pemilu ditunda ” namun ternyata bohong atau hoaks, selain melanggar konstitusi, secara hukum telah memenuhi unsur – unsur terkait kabar bohong atau hoaks, Jo. Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946. Yang isi pasal ini adalah :

“Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”.

Pasal ini secara kebenaran materiil ( materiele waarheeid ) justru lebih pas dan kena, daripada penggunaan Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 yang dikenakan terhadap diri seorang LBP, dalam konteks selaku dirinya pejabat menteri negara, dan pelanggaran materil yang dilakukanya terkait masalah kejahatan yang hubungan hukumnya terhadap konstitusi, sehingga subtansial delik yang dilakukannya merupakan penghianatan terhadap seluruh bangsa ini dan unsurnya kejahatan terhadap sistim hukum ketatanegaraan dari negara RI. Maka secara bobot atau kwalitas tindak pidana yang dilakukan LBP, dibandingkan daripada tuduhan yang telah dikenakan untuk menangkap, menahan lalu penjarakan salah satu Ulama Besar di Negari ini, Habieb Rizieq Shihab/ HRS, terkait perkara bohong yang dihubungkan dengan prokes, fakta pada praktiknya atau realitas akan akibat tuduhan perbuatannya, tidaknada korban kegaduhan selian kenyamanan terhadap para keluarga, kerabat dan para simpatisannya, dan pastinya tidak ada korban persekusi dan penganiayaan serta berakibat kematian orang serta terbakarnya sebuah Pospol, bangunan milik Polri. Selanjutnya terhadap hal-hal kehendak yang nyata disampaikan kepada publik oleh beberapa pejabat pembantunya didalam Kabinet Indonesia Maju Jilid II ini, Jokowi tidak menanggapinya secara serius sesuai merujuk rule of law atau ketentuan sistim hukum yang harus diberlakukan oleh dirinya selaku WNI dan pejabat tertinggi penguasa eksekutif, atau sebagai pribadi yang mengendalikan para pimpinan penyelenggara pusat Pemerintahan Negara, karena lacur, Jokowi hanya merespon dengan kalimat : ” tidak apa – apa , itukan hanya wacana, boleh – boleh saja “. Hal tanggapan terkait statemen resmi Jokowi melalui ucapannya ini, nota bene dari sudut perspektif hukum, dan materi pelanggaran yang dilakukan oleh Para Menteri kabinetnya, dan juga para pimpinan partai ini, kategorinya sudah memiliki bobot atau berkwalitas pelanggaran konstitusi, karena selain faktor Jokowi selaku presiden,dan penyelenggara negara tertinggi di NRI, dirinya tranparan telah melakukan pembiaran terhadap adanya upaya percobaan dan atau diduga sebagai aanslag atau attemp pada delik makar/ aanslag terhadap UUD. 45 dan sistim hukum positif lainnya atau hukum yang berlaku ( ius konstitum ), yang nyata berdasarkan fakta – fakta hukum terhadap kebohongan, makar, serta delik pelanggaran konstitusi atau dengan kata lain, diantaranya ada terdapat pelanggaran kejahatan yang telah selesai dilakukan oleh anggota kabinetnya ( LBP dan kawan – kawannya) dan secara karakteristik pada pemenuhan daripada unsur – unsur hukum, Jokowi sudah kuat memenuhi sebagai penyerta delik ( delneming ) dan bahkan sebagai pelaku delik ( medeplagen/ mededader atau secara bersama- sama ), khusus dan utamanya pada delik dari pernyataan bohong yang menimbulkan keonaran, bahkan berdampak persekusi dan hilangnya nyawa orang lain, diperkuat daripada merujuk asas – asas atau prinsip fiksi hukum terhadap diri para pimpinan partai, para menteri dan pejabat tinggi yang kesemuanya adalah para intelektual negara, yang otomatis punya kewajiban moral dan atau kewajiban taati hukum, hormati, karena hukum mesti menjadi panduan atau panglima atau sebagai komando tertinggi dari seluruh sisi kebijakan pemerintahan negara, baik kebijakan dan pelaksanaan dan kebijakan hukum dan diskresi, kebijakan dan pelaksanaan perilaku berkehidupan sosial, berbangsa dan politik, terlebih dalam negeridan politik luar negeri, maupun kebijakan dan pelaksanan dan pembangunan ekonomi di negara ini,semua tidak boleh terlepas dari kaidah dan norma hukum atau rule of law

Selebihnya terhadap kebohongan- kebohongan, dan termasuk diantaranya patut diduga terpapar beberapa pelanggaran konsitusi dengan cara pembiaran adanya makar, terhadap beberapa pelanggaran yang nyata – nyata dilakukan oleh orang yang secara hukum dan jabatannya berada dalam strata atau kedudukan dan memiliki pengaruh atas kekuasaannya dan diketahui juga oleh publik, bahwa pihak keluarga Jokowi pun ( anak kandungnya ) Gibran dan Kaesang, sudah dalam status hukum sebagai Terlapor di KPK, maka yang patut dipertanyakan, apakah Jokowi, memang telah berkesiapan menghadapi proses hukum, yang bisa saja jika ada temuan hukum atas beberapa kesalahannya tersebut dan atau kesalahan lainnya kelak, termasuk CV. ( Currculum Vitae ) Atau biografi atau asal-usul jatidirinya yang sudah lama sebenarnya dihembuskan, dan juga ada terpublis, yang isi CV. Dimaksud, dengung narasinya cukup terkesan beraroma negatif ( terdapat beberapa kepalsuan ), karena terkait CV. Jika benar ada kebohongan pada jatidiri (otobiografi), tentunya Jokowi, terancam tersangkut telah memberikan surat keterangan palsu, ( biasa ) dan surat dengan kriteria keperdataan/ KUHPer dan UU. Diknas berbobot autentik ( ijasah dan surat nikah ) dan lain- lain, sehingga kuat memenuhi unsur delik pelanggaran yang ada pada Pasal 263 KUHP. Jo. Pasal 264 KUHP. Dan sudah dirinya gunakan, telah terjadi delik ( diberikan kepada KPU saat pilkada walikota Solo, Cagub DKI, Capres pertama dan Cappres kedua, serta pastinya dokumen CV.nya, ada dia berbagai institusi negara ( Kemendagri dan institusi hirarkis dibawahnya, dukcapil sampai tingkat kecamatan dan kelurahan , Kemenkumham, Sekneg , bahkan ada di Kartu nikah/ KUA.), dan jika kelak ada temuan hukum lainnya, didasari fakta hukum dan berikut asas – asas hukum postif ( ius konstitum ), tentu dirinya suka gak suka, mau gak mau akan berhadapan dan menjalankan proses hukum, karena prinsip negara hukum, terhadap segala sesuatu pelanggaran yang dilakukan oleh si pelanggar, memang keharusan, si Pelanggar akan berhadapan dengan. proses dan penegak hukum. Oleh karenanya dengan tetap bersikap dan berpedoman hukum dan ketentuan yang berlaku atau rule of law, maka Jokowi bisa jadi sesuai regulasi ( rule of law ) atau rechstaat yang bermakna setiap orang equal atau sama dihadapan hukum, maka terhadap diri Jokowi jika dapat dibuktikan oleh data dan fakta serta dihubungkan dengan norma atau ketentuan hukum, tentunya dapat diadili dalam artian dapat dikenakan sanksi hukum atau dipenjara ? Atau apakah dirinya ” telah mempersiapkan segala sesuatunya terkait pasca jabatannya berakhir, Jokowi preparing, ” sudah memiliki perangkat ” imunitas” atau kekebalan hukum ? Ataukah salah satunya Jokowi ” punya stok tameng berupa sandera atau orang – orang atau para kroninya yang dia kantongi kefatalan atas pelanggaran – pelanggaran yang ada sehingga menjadi sebuah lingkaran api ? Yang bahkan dapat membakar sebuah komuniti atau kelompok besar tertentu ” dengan kata lainnya Jokowi memiliki data – data & berikut bukti – bukti konkrit ? bahwa ” semua petinggi – petinggi dibawahnya selama kurun waktu dirinya ( 10 Tahun ) memimpin dan berkuasa atas negara ini, beserta kelompok oligarki dan para aparatur penegak hukumnya, bahwa terhadap mereka Jokowi punya berbagai black notes, atau catatan – catatan hitam hukum ? Wallahu’alam. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu dan hanya diri Jokowi dan colega atau kroninya yang tahu pasti.

Akan tetapi jika kita simak fakta- fakta historis negara – negara di dunia sejak jaman kekaisaran atau sistim monarki absolut, hingga kini memasuki abad modern, sejarah membuktikan, terhadap kejatuhan sebuah rezim penguasa selalu menimbulkan kegaduhan politik serta termasuk terhadap pelaksanaan proses hukum kepada kelompok yang pernah berkuasa ( oligarki ) tidak semudah memproses hukum, atau menangkap dan atau mengadili pencuri kelas teri atau kambing, namun selalu momentum prosesi kepemimpinan, biasanya selalu diwarnai gejolak perlawanan dari kelompok atau kaki tangan rejim yang digantikan atau ketika pergantian proses politik transisi bergulir terhadap pergantian kekuasaan pemerintahan, terlebih terhadap rezim yang sudah melahirkan oligarki , selalu melahirkan segala bentuk perlawanan, baik perlawanan politik, hukum bahkan perlawanan pisik , seiring dengan kemunculan berbagai agenda dan propoganda dalam bentuk fitnah, adu domba ( devide et empera ) serta propokatif dari pihak – pihak yang merasa punya kesalahan dan atau kekeliruan serta yang utama terhadap korelasi kepentingan perilaku tamak mereka, yang dalam perspektif negatif mereka, pemerintahan yang baru akan membawa gerbong baru, dan akan cenderung mengusik lahan bisnis mereka yang sebelumnya menguntungkan, hingga oleh mereka mesti dijaga serta dipertahankan walau dengan cara playing victim atau lempar batu sembunyi tangan atau menggunakan perlawanan namun gunakan asas yang berlawanan dengan hukum, sehingga Pemerintahan yang baru dengan Capres terpilih pada 2024 harus pertimbangkan dan merumuskan bekal terhadap Perlawanan para pejabat dan eks pejabat Koruptor dan korporasi dan atau kaki tangannya para oligarki, yang tidak mustahil akan gunakan politik machiavelisme atau dengan segala cara, bisa jadi berbungkus agama maupun memperalat sentimen etnis, karena ada sinyal seperti itu, yang sudah dihembuskan sejak kekinian oleh individu – individu baik Pejabat Publik, figur atau masyarakat sampai dengan tokoh nasional terlebih atau kelompok buzzet atau komunitas publik yang diketahui selama ini sebagai pendukung keras Jokowi, yang seolah jika dimaknai secara gamblang, para tokoh dan buzzer menyatakan konklusi mereka, bahwa, ” Presiden RI mesti beragama Islam dan Suku Jawa. Persepsi seperti ini adalah sebuah kekeliruan besar di negara demokrasi yang berasaskan pancasila, karena tidak dirumuskan oleh sistim konstitusi di- NKRI. Salah seorang yang nyinyir dan menyatakan hal inkonstitusional dan subjektif, juga berkesan kuat sebagai langkah manufer propoganda negatif alias propokasi adalah LBP. dengan tambahan kalimat lengkapnya, kira kira adalah ” saya dobel minoritas, sudah Batak , juga beragama Kristen “, atau apakah omongannya justru positif sebagai faham kesadaran berdemokrasi, perihal suara minoritas harus mengalah kepada suara mayoritas ?

Sehingga ideal prepentif dengan cara preparing bagi bangsa ini, untuk hindari kebiasaan ewuh pakewuh, yang justru akan berdampak atau menyisakan bentuk dualisme hukum, antara hukum positif ( berlaku ) dan hukum yang mengada – ada ( hukum yang hanya dibuat – buat tanpa melalu proses legislasi ) berlaku dan politik atau inkonsistensi atau ambigu dalam pelaksanaan hukum dan politik, serta ” jasmerah “, akan menjadikan cacat sejarah hukum negara ini, karena penegakan hukum yang tidak berkesesuaian dengan makna penegakan hukum yang seadil – adilnya serta berkepastian hukum, serta berguna ( utlity ) sebagai efek jera dan khususnya agar terhindar dari bentuk pengulangan kekeliruan dan atau kesalahan dan atau kejahatan kepada para pemimpin rezim yang berkuasa kedepannya, serta untuk tidak lagi para oknum pemerintahan negara berbuat kejaliman dan pengkhianatan kepada rakyat bangsa, dan tanah air serta negara RI. Maka kelak tindakan hukum terhadap Jokowi dan para kroninya harus objektif dan melulu konstitusional, tinggalkan ” sejarah politik yang ewuh pakewuh “, diantaranya sengketa para ulama yang ada turut serta di BPUPKI terkait janji manis Soekarno,dan dihubungkan dengan pameo jasmerah ciptaan- nya, namun ternyata dia sendiri sengaja melupakan ( retorika atau sekedar teori ) Jakarta Charter / piagam Jakarta, terkait sengketa sila pertama pada Pancasila, sehingga mengundang sengketa berkepanjangan atau beda dengan praktek, selebihnya terpenting hormati hukum yang berlaku positif atau hukum yang penegakannya dengan dedikasi tinggi, ditangani secara profesional dan tangguh, serta berkemampuan tinggi dan proporsional ( objektif ) dan equal, tidak bersikap apriori tanpa data dan fakta hukum atau subjektif oleh sebab politik atau balas dendam

Maka kembali kepada jatidiri Jokowi dan kroni kroninya, jika ditemukan selain daripada pelanggaran kebohonongan yang nyata menimbulkan keonaran dan atau kegaduhan Jo. Vide Pasal 14 KUHP, U.No. 1 Tahun 1946 dan atau pelanggaran konstitusi atau sistim hukum lainnya atau perbuatan yang dapat diduga, khususnya terkait pada delik pembiaran yang tercantum pada Pasal 421 KUHP, dan Jo. Makar Jo. Pasal 107 KUHP. Dan atau temuan – temuan dan atau dugaan – dugaan pelanggaran hukum lainnya dengan motif KKN, Jo. UU. Tentang Pemberantasan Tipikor ” kelak jika ada ditemukan sesuai data emperis “.

Dan tidak kalah penting, perlu dipikirkan tentang bagaimana metode antisipasi terhadap prediksi perlawanan daripada Jokowi dan kroninya atau kelompok oligarki karena adanya perubahan rezim penguasa serta menghindari adab budaya diluar sistimatika hukum, model ewuh pakewuh, yang sebenarnya secara hukum materiil adalah inkonstitusional, oleh karenanya jangan sampai ewuh pakewuh legitimeted, sehingga dijadikan konsideran ewuh pakewuh di legitimasi, lalu impeknya, menjadi kekebalan hukum atau hak imunitas, sehingga kembali pada jaman saat ini ( era Jokowi ) nir faktor efek jera bagi pejabat pelanggar hukum. Untuk itu oleh karenanya dan selebihnya sebagai antisipasi dari berbagai propokasi yang amat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, perlu keberanian dan ketegasan terhadap penanganan serta penegakan hukum, namun tetap mengacu sesuai koridor hukum ( rule of law ), objektif dan tidak melanggar sistim hukum ( due process of law) serta berlakukan asas equality before the law, atau persamaan hak pada setiap orang dimata hukum, dan dalam dalam proses pelaksanaan hukum , penegak hukum ( para penyidik ) mesti tetap kedepankan asas presumption of innocence ( prinsip praduga tak bersalah ), selanjutnya oleh karenanya, bangsa ini ( rakyat dan pemerintahan baru ) kelak di 2024, atau siapapun penguasa RI.1, mesti pikirkan Metode Pelaksanaan dan penegakan hukum era kepemimpinan baru ( 2024 ) selain PR atau Pekerjaan Rumah terhadap kasus-kasus era Jokowi presiden ( 2014, Sampai 2024 ) dan penegakan hukum kedepan serta berkepanjutan, harus mampu secara tegas, berani, konkret dan komprehensif, dan dilakukan secara manajerial hukum ketatanegaraan dan pemerintahan yang baik atau good government/ good governance, oleh karenanya, pemerintahan yang baru ( 2024 ) mesti menemukan metode atau formulasi penegakan dan pelaksanaannya, dan mesti menemukan dan percayakan, kepada para individu abdi negara atau aparatur negara selaku penegak hukum yang diketahui dan dikenal sebagai :

1. Individu – individu atau personal yang potensial orang – orang yang track recordnya bersih, jujur, dan ” orang muda “namun berkwalified atau berdedikasi tinggi, atau kredibel ( profesional ) namun tetap mengedepankan objektifitas ( proporsional ), serta dibekali kewajiban dan komitmen selaku penegak hukum yang berkeadilan. Atau ;

2. Rakyat harus keras dan tegas dengan pressure moral yang berpayung hukum, melalui ” peran serta masyarakat “, agar pemerintahan yang baru di 2024. Diisi oleh Para Penegak hukum yang berani dengan track record yang ” steril “, kredibel atau berintegritas ( profesional atau berkemampuan dan proposional atau tidak ewuh pakewuh, jujur dan objektif ) serta memiliki komitmen tidak akan abaikan pelaksanaan penegakan hukum melalui proses hukum, pada setiap kasus, dan tempus tindak pidana dilakukan, baik saat Jokowi berkuasa atau sebelumnya, maupun era atau masa kedepannya ( berkelanjutan ) secara due process, pada setiap perkara yang belum berstatus kadaluwarsa ( Vide, Pasal 78 KUHP ) dan penerapan penegakan hukum konsisten serta equal terhadap setiap WNI yang terlibat pelanggaran hukum, siapapun individu dan atau kelompoknya dan atau jabatannya, tidak suka – suka ,dan atau tidak berlaku diskriminatif seperti era Jokowi, sehingga pelaksanaan tupoksinya selaku abdi hukum negara, benar benar membuktikan adanya fungsi hukum yang berkeadilan atau gerechtigheit, sesuai idealnya cita – cita hukum setiap insan dimuka bumi ini, selain berkepastian/ rechtmatigheit dan memiliki daya guna atau doelmatigheit atau bermanfaaat/utility bagi seluruh Rakyat, Bangsa, Tanah Air Negara RI.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News