Jokowi Kecil

Oleh: Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah salah satu tokoh yang konsisten bertengger di posisi tiga besar calon presiden potensial bersama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Dan ia tak menyembunyikan ambisinya meraih kursi RI1 dalam pilpres 2024, meskipun partainya, PDI-P, diduga tak akan mengusungnya.

Untuk itu, jauh-jauh hari Ganjar telah memobilisasi dukungan dengan membentuk relawan di berbagai daerah, tim yang mempromosikan dirinya melalui serangan darat dan udara, melakukan kampanye terselubung di media sosial, dan melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Semua ini wajar saja.

Sayangnya, dalam “kampanyenya”, Ganjar tak mengangkat isu-isu strategis untuk menjawab tantangan bangsa pasca rezim Jokowi. Ia malah mendeklarasikan diri sebagai pelanjut rezim yang akan mewariskan dekadensi di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Memang rezim Jokowi akan meninggalkan legacy yang sangat berat untuk ditangani penggantinya.

Salah satu legacy itu adalah polarisasi masyarakat akibat represi rezim Jokowi terhadap kubu oposisi, terutama kaum Muslim konservatif. Bukannya menawarkan solusi yang mengakrabkan kembali hubungan antaranak bangsa agar Indonesia dapat bergerak maju, Ganjar mengangkat isu intoleransi dan radikalisme, isu-isu yang justru telah membelah masyarakat secara diametral. Dengan demikian, Ganjar mendeklarasikan diri sebagai Jokowi Kecil. Selama ini rezim Jokowi memang mengkampanyekan Islamfobia sebagai strategi pembangunan.

Menyadari bahayanya kebijakan ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir tegas menyatakan Islam bukan ancaman bagi NKRI ketika berbincang dengan Ganjar yang bertamu ke rumahnya di Yogyakarta pada Hari Raya Idul Fitri silam. Dengan pernyataan itu, ada dua pesan yang ingin disampaikan Haedar. Pertama, meminta Jokowi menghentikan represinya terhadap kaum Muslim. Kedua, mengingatkan Ganjar — kalau terpilih jadi presiden nanti — tidak meneruskan kebijakan Jokowi.

Memang isu intoleransi dan radikalisme sengaja diamplifikasi rezim untuk mengawetkan kekuasaannya. Ekonom senior Rizal Ramli mengatakan ada tiga tujuan yang dicapai rezim dengan isu-isu ini, yakni membuat pendukung Jokowi makin militan, menakut-nakuti kelompok minoritas untuk mendukung rezim, dan mengharapkan dukungan internasional atas upaya membungkam oposisi.

Saya melihat isu-isu ini sengaja diproduksi secara terus-menerus oleh rezim dan oligarki melalui para buzzerRp dengan tujuan membuat posisi rezim makin kuat dan berkelanjutan. Pada gilirannya, rezim berharap semua kebijakannya mendapat legitimasi. Peran rezim dan oligarki dalam mempromosikan Islamfobia dapat kita saksikan pada kiprah Cokro TV. Oligarki juga diduga membiayai Partai Solidaritas Indonesia untuk melakukan tugas yang sama. Tapi belakangan ini, terjadi perpecahan di internal PSI karena sebagian pengurus terasnya berpendapat isu Islamfobia yang didengungkan selama ini justru kontraproduktif bagi kelangsungan hidup partai menjelang pemilu 2024.

Harus diakui, pasca Soeharto, kaum Muslim konservatif menemukan momentum. Gelombang konservatif ditandai dengan kemunculan FPI pimpinan Habib Rizieq Shihab hanya beberapa bulan setelah Orde Baru bubar. Jagat Islam konservatif kian diramaikan oleh kiprah HTI.

Namun, kekuatan dua ormas ini tidak signifikan. Artinya, mustahil mereka dapat mengubah status quo karena dua ormas Islam besar, NU dan Muhammadiyah, tidak mendukung wacana khilafah yang diusung HTI atau NKRI-Bersyariah yang diusung FPI. Parpol-parpol dengan konstituen Muslim pun tak punya visi negara Islam.

Bagaimanapun, kehadiran FPI dan HTI dimanfaatkan rezim untuk menakut-nakuti rakyat. Kedua ormas didemonisasi untuk membuat rakyat terjaga terus-menerus. Di sini berlaku prinsip propaganda bahwa kebohongan yang diulang-ulang pada akhirnya akan diterima sebagai kebenaran. Untuk menguatkan propaganda, para tokoh FPI dipenjarakan melalui pengadilan yang terkesan direkayasa. Bagaimanapun, terkait pembunuhan enam laskar FPI, pemerintah AS melihatnya sebagai unlawful atau politically motivated killing: pembunuhan melanggar hukum atau yang bermotif politik. Tentu saja AS mendapat informasi dari Komnas HAM dan aktivis HAM lain di tanah air.

Mungkin Ganjar tahu bahwa narasi bahaya khilafah atau negara Islam hanya omong kosong belaka. Namun, ia melihat isu intoleransi dan radikalisme yang dikembangkan rezim Jokowi laku dijual, terutama dalam mobilisasi dukungan masyarakat. Terlebih, narasi itu didukung oligarki, kekuatan yang dibutuhkan Ganjar dalam kontestasi pilpres.

Pemilu di Indonesia memang berbiaya besar sehingga peran oligarki sangat strategis. Tanpa oligarki, mustahil Jokowi yang tak punya visi dan sangat lemah bisa terpilih jadi presiden. Malah, oligarki justru suka pada orang dengan kualitas seperti ini agar mudah didikte mereka. Karena harus membayar utang budi, beleid-beleid rezim Jokowi berorientasi pada pelayanan kepentingan oligarki. Akibatnya, kesenjangan kaya-miskin kian lebar dan utang luar negeri menumpuk. Heran, Ganjar tak melihat ini sebagai masalah serius.

Malah, isu intoleransi dan radikalisme yang diangkat Ganjar hanya menegaskan ia tak punya gagasan besar untuk membalikkan kondisi bangsa hari ini. Persis sama dengan Jokowi. Ia dengan senang hati mengadopsi sepenuhnya pembangunanisme (developmentalism) yang dianut Orba, yang dibawa masuk kembali oleh rezim Jokowi melalui Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan.

Hal itu terlihat jelas dalam kasus kekerasan di Desa Wadas, Jawa Tengah, pada Februari silam. Demi membangun Bendungan Bener, yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN), Ganjar mengerahkan aparat keamanan bersenjata lengkap untuk mengintimidasi warga Wadas yang tak mau menjual tanahnya yang akan dijadikan proyek tambang batu andesit yang akan dipakai membangun bendungan.

Membebaskan tanah penduduk untuk dijadikan wilayah pertambangan dilarang UU. Insiden itu membuat warga desa shock berat, sebagian lari ketakutan meninggalkan desa. Apa yang dilakukan Ganjar memang sesuai dengan cara-cara Orba, yang memperlakukan rakyat sebagai obyek, bukan subyek yang diajak berunding untuk mencapai kesepakatan bersama terkait hajat hidup mereka.

Peristiwa itu dikecam publik nasional. Anggota DPR dan LSM Lingkungan Hidup dan HAM menengarai ada bisnis besar di situ yang melibatkan oligarki. Sekali lagi, dalam insiden ini Ganjar terlihat sebagai Jokowi Kecil dengan semangat besar meloloskan PSN untuk menyenangkan Jokowi sekaligus memenuhi harapan oligarki. Paling tidak, ia ingin terlihat sebagai good boy yang dapat diandalkan Jokowi dan oligarki guna menjaga dukungan mereka pada pencapresannya.

Memang berseberangan dengan PDI-P yang diduga kuat akan mengusung Prabowo-Puan, Jokowi lebih memilih Ganjar sebagai penerusnya yang akan melanjutkan program pembangunannya yang bermasalah. Pembangunanisme ala Jokowi, yang meniru Orba dengan cara yang lebih buruk, hanya berorientasi pada pembangunan fisik.

Memang sayang, pembangunanisme primitif yang dipakai rezim Jokowi dengan mengorbankan hal-hal esensial bagi pembangunan bangsa telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Pendapatan per kapita rakyat turun drastis sehingga posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah menempati posisi paling bawah.

Herannya, Ganjar ingin meneruskan paradigma pembangunan ini. Padahal, model pembangunan ini juga, yang ia terapkan di Jawa Tengah, hanya membuah kemiskinan yang meluas. Data BPS terbaru mengungkapkan, Jawa Tengah merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa. Sejak memimpin provinsi itu sejak sembilan tahun lalu, Ganjar melipatgandakan daerah miskin hingga lima kali lipat. Dalam hal ini, seolah Ganjar sedang bersaing dengan mentornya yang selama memimpin hanya memperbanyak orang miskin di negeri ini.

Kalau ingin memajukan bangsa, serharusnya Ganjar menawarkan visi baru yang membebaskan, menyejahterakan, dan memberdayakan rakyat. Bukan sudut pandang pembangunan yang sumir. Dengan kata lain, mestinya ia menjadi antitesa Jokowi. Hanya dengan itu, perubahan ke arah yang lebih baik dapat diharapkan.

Islamfobia harus dibuang karena Islam-lah yang akan menyelamatkan bangsa ini dari persaingan keras di kawasan yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar regional dan internasional. Mengintegrasikan kembali kubu Islam ke dalam negara justru akan menyatukan dan mengokohkan kembali bangsa menuju masa depan yang lebih berpengharapan.

Paradigma pembangunan yang dikembangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terbukti berhasil menyejahterakan warga ibu kota secara berkeadilan yang menjadi syarat terbangunnya kebersamaan menuju satu tujuan. Lebih dari itu, ia mampu membangun hubungan harmonis di antara semua komponen penduduk Jakarta yang sebenarnya menjadi modal sosial utama bagi kemajuan kota dan kebahagiaan warganya.

Human development (pembangunan manusis) di mana kesejahteraan lahir batin manusia dijadikan tujuan pembangunan justru mengonsolidasi semua komponen masyarakat Jakarta yang kompleks ke dalam muara tujuan yang sama. Menjadi Jokowi Kecil yang sedang dikejar Ganjar justru menakutkan kita. Terbayang masa depan suram yang, amit-amit, dapat menjerumuskan bangsa ini ke dalam kemunduran tak terkirakan. Syukur-syukur Indonesia masih ada.

Tangsel, 12 Mei 2022