Pembangunanisme Ganjar Versus Pembangunan Manusia Anies (Bagian I)

Oleh: Abdurrahman Syebubakar (Kritikus Sospol & Inisiator Majelis Habaib Progresif)

KENDATI beririsan pada tataran praksis, mazhab pembangunanisme (developmentalism) dan pembangunan manusia (human development) berbeda secara diametral pada tataran paradigmatik dengan pilihan kebijakan dan dampak yang berbeda pula.

Pembangunanisme berorientasi pada kemajuan infrastruktur fisik di bawah kendali oligarki dan pemburu rente ekonomi. Rakyat dipandang sebagai obyek pembangunan semata. Kemaslahatan hidup mereka disandarkan pada kemudahan akses terhadap infrastruktur fisik yang ditujukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, dengan mantra trickle-down effect (efek menetes ke bawah), tingkat kesejahteraan rakyat diasumsikan terkerek secara otomatis.

Dari segi perangkat lunak pembangunan indikator utama pembangunanisme adalah kecerdasan instrumental dan keterampilan teknis-teknokratis sumber daya manusia (SDM) yang bermuara pada produktifitas tenaga kerja. Dengan kata lain, SDM diperlakukan sebagai faktor produksi dan subordinat pertumbuhan ekonomi lewat proyek-proyek infrastruktur mercusuar. Selain itu, motif dan orientasi pembangunanisme, sejalan dengan pendekatan pembangunan SDM, bersifat ekonomistik utilitarian.

Dalam praktiknya, SDM (termasuk di dalamnya kalangan intelektual) dijadikan pelayan bagi kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha. Sehingga, yang mendominasi ruang publik adalah kaum intelektual tukang, atau intelektual kelas kambing, meminjam istilah Romo Mangun, untuk menggambarkan perselingkuhan akademisi dengan kekuasaan hingga tidak bisa berpikir dan bersikap obyektif.

Dengan demikian, pembangunanisme berjarak cukup jauh dari motivasi pembebasan, (liberating spirit) dan pemberdayan rakyat (people empowerment). Bahkan bersebarangan dengan kedua aspek maha penting tersebut. Ia menelantarkan isu-isu sentral dan fundamental pembangunan, mulai dari demokrasi substantif, lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, kerentanan dan ketimpangan, corak kelembgaan ekonomi-politik dan kepemimpinan, penegakan hukum, hingga daya rusak oligarki dan korupsi.

Sementara itu, mazhab pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Tujuannnya, menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan dan kreatif (Mahbub ul_Haq). Lebih jauh, Amartya Sen (1999), peletak landasan konseptual pembangunan manusia, mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, kebebasan (baik kebebasan positif maupun kebebasan negatif) tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya.

Pembangunan manusia bertumpu pada rasionalitas substantif yang menembus perkara pokok pembangunan (core issues of development). Dan, pada gilirannya, mendorong lahirnya kebijakan dan kebajikan publik (public virtue) yang bervisi jangka panjang, memberdayakan dan berkeadilan bagi semua, terutama rakyat kecil.

Perbedaan pembangunanisme dan pembangunan manusia mensyaratkan strategi, pilihan kebijakan, pendekatan dan langkah langkah berbeda. Hasil dan dampaknya pun berbeda, bahkan bisa berbanding terbalik jika penekanan strategi dan pilihan kebijakan tertukar diantara keduanya.

Di Indonesia, pembangunanisme berlaku sejak lama, terutama di masa Orba, dan berlanjut pasca reformasi. Kemudian, mengristal dengan karakter yang makin ekstraktif dan brutal sejak Presiden Jokowi berkuasa pada 2014. Kata ‘pembangunan’ dijadikan mantra yang siap membuldozer siapa saja yang menghalanginya, termasuk wong cilik basis pendukung Presiden Jokowi.

Mereka yang mempertahankan dan menuntut hak asasinya atas tanah dan sumber penghidupan yang layak, dianggap melawan pembangunan dan dikriminalisasi. Bahkan menerima tindakan represif aparat negara yang seharusnya mengayomi rakyat.

Watak rakus dan laku represif rezim Jokowi atas nama pembangunan tercermin dalam pilihan kebijakannya yang jauh dari semangat pemberdayaan dan pembebasan. Sejumlah peraturan perundang undangan dan proyek infrastruktur mercusuar di era Presiden Jokowi tidak lebih dari turunan Peta Jalan (Roadmap) para taipan oligarkis dalam mengeruk kekayaan Indonesia dan mengeksploitasi sumberdaya rakyat. Sebut saja Omnibus Law, pengebirian KPK, UU Minerba, kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan Bandar Udara Kertajati, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan, semuanya atas nama pembangunan, yang bermuara pada kepentingan oligarki dan elit kekuasaan.

Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pernah melontarkan pernyataan yang bertentangan dengan tugasnya untuk melestarikan hutan dan lingkungan hidup. “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tulis Menteri Siti melalui twitter (3/11/2021).

Alih-alih berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat, Peta Jalan Oligarki yang dijalankan atas nama pembangunan justru menguras uang rakyat dan menyebabkan tumpukan utang negara. Konsekuensi logisnya, untuk mengisi kas negara dan bayar utang, selain mengambil utang baru (gali lubang tutup lubang), pemerintah merampas hak-hak dasar rakyat melalui berbagai beleid dan instrumen kebijakan yang tidak masuk akal dan melanggar konstitusi.

Baru baru ini, Presiden Jokowi mewajibkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat permohonan jual beli tanah. Dalam hal ini, pemerintahan tidak saja mengingkari hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa dipungut biaya (azas universalitas), sesuai amanat konstitusi, tetapi juga menghukum mereka dengan mencabut hak-hak konstitusional lainnya. Pada saat yang sama, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%, harga-harga kebutuhan pokok dan biaya hidup melambung, di saat rakyat terpukul dampak pandemi COVID-19. Tak ayal, rakyat makin sengsara.

Belum lagi menyebut residu sosial, ekonomi dan lingkungan dari proyek-proyek infrastruktur ala pembangunanisme terhadap generasi masa depan Indonesia.

Mirisnya, mazhab pembangunanisme dengan daya rusak yang dalam dan luas juga dijadikan panduan oleh para kepala daerah. Terlebih kepala daerah dari barisan parpol pendukung pemerintah, seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
___________________________
(pendekatan pembangunan Ganjar vs Anies dibahas pada bagian II tulisan ini).