Pegiat media sosial yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando terkena azab dengan dipukuli massa di depan gedung DPR.
“Ade Armando salah kira dan entah datangnya azab dari mana, tiba-tiba saja orang mulai mengeroyoknya. Di antara aksi mahasiswa dan aktivis yang sedang berunjukrasa melawan rezim dia dipukuli orang. Bahkan digebugi, ditendangi, dan ditelanjangi,” kata aktivis politik Sri Bintang Pamungkas dalam artikel berjudul “Indonesia saat Terakhir Jokowi: Pasca Jangka Djajabaja (3) “Bung, saya juga dari Universitas Indonesia”
Lalu Dekan FISIP-UI tiba-tiba mulai angkat bicara, bahwa para pengeroyok Ade Armando perlu diproses hukum.
“Saya malu… Bung, saya juga dari UI… saya juga pejuang demi rakyat, bangsa dan negara. Saya malu UI memelihara makhluk seperti Ade Armando. Saya malu UI menjadi pendukung tezim Jahat seperti ini,” ungkap Sri Bintang.
Seandainya seorang dosen macam Ade ini tidak dilindungi, kata Sri Bintang tidak dipelihara tanpa ada peringatan dan ancaman dari pimpinan UI, maka kejadian memalukan itu tidak akan terjadi.
“Dosen macam ini melanggar komitmen universitas di mana saja di dunia, terhadap hari depan manusia dan kemanusiaan, serta planet kita ini. Dia seharusnya ditolak menjadi dosen,” papar Sri Bintang.
Kata Sri Bintang, kekacauan tidak hanya di UI pengajar dan ahli hukum dan Pancasila macam Prof. Dr. Pierre Suteki justru dihukum non-aktif oleh Universitas Diponegoro, karena Suteki berbeda pikiran dengan Rezim Jokowi.
“Sungguh memalukan tidak hanya UI yang tunduk kepada rezim juga ITB yang rektornya tidak bisa membedakan radikalisme yang merawat dan memelihara bumi dengan radikalisme yang merusak Bumi. Juga Pimpinan UGM yang tidak berani mengatakan Jokowi adalah lulusan atau bukan lulusan UGM. Sementara rektor-rektor IPB, Unpad, ITS, Unair, Unibraw dan lain-lain juga diam seribu-bahasa melihat negaranya porak-poranda,” tegas Sri Bintang.
Menurut Sri Bintang, Jokowi memang tidak sebesar Soeharto tetapi dia sungguh menjadi besar kepala.