Demo Mahasiswa, Tragedi Ade Armando dan Rezim Jokowi

Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Efucation (IDe)

Pada 11 April 2022, Indonesia menyaksikan dua peristiwa besar — dua sisi dari satu koin — yang menggambarkan kondisi politik, moral, dan budaya bangsa hari ini. Pertama, unjuk rasa mahasiswa di berbagai kota. Ada enam tuntutan mereka pada rezim Jokowi, yaitu mendesak presiden bersikap tegas menolak penundaan pemilu atau masa jabatan tiga periode.

Jokowi juga dituntut mengkaji ulang UU IKN, termasuk pasal-pasal bermasalah, dampak lingkungan, hukum, sosial, ekologi, dan kebencanaan; menstabilkan harga dan ketersediaan komoditas pangan dan BBM; mengusut tuntas mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri terkait; presiden dan wapres harus menuntaskan janji kampanye; dan penyelesaian konflik agraria.

Tuntutan-tuntutan ini dengan jelas menggambarkan ketidakpercayaan dan kekecewaan mahasiswa pada rezim Jokowi. Meskipun sehari sebelumnya Jokowi telah menyatakan akan menyelenggarakan pemilu tepat waktu pada 14 Februari 2024. Pasalnya, dari pengalaman sebelumnya, Jokowi tidak memandang serius janji yang ia nyatakan. Apa yang janjikan bertentangan dengan perbuatannya. Sementara itu, keresahan sosial meluas akibat meningkatnya komoditas pangan dan BBM sebagai akibat dari ketundukan rezim pada kemauan oligarki (mafia).

Kedua, tragedi yang menimpa dosen ilmu komunikasi UI sekaligus pegiat media sosial, Ade Armando (AA). Penghinaan luar biasa terhadap AA di tengah sorotan dunia juga merupakan gugatan terhadap kebijakan Jokowi yang memecah-belah masyarakat dengan memelihara orang-orang seperti AA. AA adalah pendukung kebijakan represif rezim terhadap segmen umat Islam, yang oleh AA dilabeli “kadrun” (kadal gurun).

Definisi terminologi ini tidak jelas, tapi ini istilah peyoratif yang merujuk pada kaum “radikal” atau mereka yang mengusung khilafahisme. Di media sosial, AA dan orang yang sepikiran dengannya, digolongkan sebagai buzzer yang dibayar istana. Kendati belum tentu benar, anggapan ini telah mengkristal di masyarakat.

Ini terkait dengan rentetan pernyataan AA yang dianggap menghina Islam dan dilaporkan ke polisi, namun tak diproses hukum. Mungkin polisi tak melihat ada kesalahan yang dilakukan AA yang layak untuk diproses. Namun, karena figur-figur penentang rezim dengan mudahnya dipenjarakan tanpa memiliki legal standing yang bisa diterima masyarakat, pembiaran terhadap aktivitas AA menguatkan anggapan rezim melindunginya.

Yang juga mengagetkan dan menimbulkan kekecewaan luas adalah AA — yang mengaku pendukung demokrasi, liberalisme, dan pluralisme — justru mendukung pembubabaran FPI sambil merendahkan Habib Rizieq Shihab ( HRS) dan kekerasan terhadap enam pengawal HRS yang dikenal sebagai tragedi Km 50. Tidak mengapa AA membenci HRS, tapi jangan karena kebencian pada seseorang membuat kita abai pada keadilan. Bagaimanapun, pembunuhan terhadap 6 laskar FPI itu sungguh tidak beralasan secara moral maupun hukum. Dan menimbulkan heboh di masyarakat ketika dua pembunuhnya divonis bebas. Sikap AA itu sungguh mengherankan karena, sebagai penganut Islam liberal, mestinya AA menolerir kiprah HRS dan eksistensi FPI tanpa perlu ia menghormatinya.

Dua peristiwa di atas menggambarkan kekecewaan pada rezim Jokowi. Jokowi, yang dulu dipilih karena mengesankan kebaruan dan kerakyatan pada dirinya, ternyata secara perlahan menyeret Indonesia memasuki kembali alam Orde Baru, yang ditumbangkan mahasiswa dengan darah dan air mata. Ini konsekuensi dari pelimpahan kekuasaan presiden — akibat Jokowi tak punya visi mengenai Indonesia masa depan — kepada Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (LBP), penganut ideologi Orba berbasis developmentalism dan extractivism.

Ciri-ciri Orba, di antaranya, membiarkan merajalelanya KKN. Ingat, rezim Jokowi mempreteli wewenang KPK dan mendukung anak dan mantu presiden meraih kekuasaan politik. Lalu, memanjakan konglomerat atau oligarki yang terlihat dari pembentukan UU Cipta Kerja dan pemindahan IKN. Berikut adalah pembiaran terhadap pengrusakan lingkungan demi mengejar investasi di sektor pertambangan melalui UU Minerba. Dan ambisi memperpanjang kekuasaan melalui rencana perpanjangan masa jabatan presiden meskipun menabrak konstitusi. Mengawinkan oligarki parpol dengan oligarki ekonomi sebagai episentrum kekuasaan. Terakhir, merepresi oposisi.

Sementara itu, rakyat seperti anak ayam kelihatan induk ketika para intelektual dan akademisi — yang dulu berperan sebagai pelita bangsa di tengah kegelapan yang diciptakan rezim Orba — kini telah terkooptasi ke dalam rezim Jokowi. Mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas, termasuk merekrut mereka sebagai pejabat BUMN.

Mungkin AA bukan salah satunya, tapi dia adalah pegiat medsos yang mendukung kebijakan-kebijakan rezim hampir-hampir tanpa reserve. Karena itu, memudahkan masyarakat untuk menyimpulkan dia adalah salah satu buzzer istana.

Konsekuensi dari militansinya mendukung rezim dan pelecehan terhadap kadrun, membawa AA berhadap-hadapan dengan kalangan oposisi dari berbagai aliran pemikiran. Tentu sebagian bukan kadrun, tapi mereka juga tak menyukai AA karena ia telah menjadi bagian dari rezim Jokowi yang harus diakui telah menciptakan kemerosotan bangsa di semua sendi kehidupan.

Fenomena terkooptasinya akademisi dan intelektual membuat mereka kehilangan status sebagai pelita bangsa. Artinya, mereka tak lagi dilihat — apalagi dipercayakan — sebagai juru bicara rakyat. Malah sebaliknya, mereka dipandang sebagai pengkhianat bangsa. Kekecewaan luas masyarakat terhadap para akademisi dan intelektual ini terlihat dari penghinaan tak terganggungkan terhadap AA. Kasus ini juga dapat dilihat sebagai departure publik dari budaya menghormati guru. Itu terekam dari beragam tanggapan terhadap tragedi mengerikan yang dialami AA yang, meskipun secara formal menolak kekerasan, umumnya menyalahkan AA.

Dus, sekali lagi, yang dialami AA itu merupakan penolakan masyarakat terhadap akademisi secara keseluruhan. Juga merupakan pemberontakan moral terhadap rezim Jokowi di mana AA adalah salah satu organnya. Ini sama persis dengan gregat mahasiswa melawan rezim yang sedang mengalami pembusukan. Menurut polisi, penganiaya AA bukan mahasiswa. Ini berarti dua peristiwa itu menggambarkan adanya sinergi antara mahasiswa dan masyarakat dalam melawan musuh bersama.

Ironisnya, AA hadir di tengah demonstran justru untuk mendukung aspirasi menolak Jokowi tiga periode. Sayangnya, dalam wawancara dengan wartawan di tempat kejadian, AA mengangkat perpecahan di kalangan mahasiswa terkait sikap mereka terhadap rezim. Sebagai akademisi, mungkin ia harus berbicara apa adanya. Namun, secara tidak langsung ia melemahkan klaimnya mendukung demonstrasi mahasiswa.

Lepas dari apakah para pengeroyok memahami misi AA di tengah mereka, luka psikis masyarakat penentang Jokowi akibat kekerasan verbal yang datang dari mulut AA terkait agama selama bertahun-tahun telah berubah menjadi dendam kesumat. Memang mengherankan, sebagai akademisi ilmu komunikasi, AA tak menggunakan ilmunya untuk berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif tanpa melukai. Siapakah AA?

Sebenarnya, pada isu tertentu AA berusaha adil. Misalnya, ketika beredar video dan retorika anti-Arab, AA mengoreksi dengan mengatakan tidak semua orang keturunan Arab buruk, kecuali orang seperti HRS dan Anies Baswedan. Lebih jauh, AA menyebut sejumlah tokoh populer dari kalangan keturunan Arab yang bukan kadrun. Ia memperingatkan, penolakan terhadap keturunan Arab dapat berdampak pada penolakan terhadap keturunan Cina juga. Point yang terakhir ini mungkin ditujukan kepada Partai Solidaritas Indonesia yang digawangi beberapa keturunan Tionghoa. Saya tidak tahu apakah AA adalah anggota PSI, tapi kebenciannya pada kadrun sejalan dengan pandangan PSI.

Tapi yang lebih relevan yang perlu disebut di sini adalah ideologi AA yang merupakan pengusung Islam liberal. Pembaruan pemikiran Islam ini menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sambil menolak hegemoni otoritas ulama dan tradisi Islam. Islam liberal juga mendukung demokrasi, LGBT, pluralisme agama, sekularisme, dan mendorong penggunaan ijtihad bagi semua orang.

Bahkan, Islam liberal menolak teks suci. Al-Qur’an dan hadis dipandang hanya sebagai dokumen sejarah yang telah kehilangan relevansinya untuk dijadikan rujukan dalam memecahkan berbagai isu kekinian. Indonesia hanya akan maju kalau agama tidak dibawa masuk ke dalam wilayah politik. Pandangan inilah yang membawa AA pada kebenciannya pada HRS dan Anies Baswedan yang dituduh mengusung politik identitas, walaupun pada kenyataan agama tak dapat dipisahkan secara absolut dari politik sebagaimana berlaku di seluruh negara sekuler dan demokratis.

Bagaimanapun, dengan kerangka berpikir Islam liberal, otomatis mereka yang mengusungnya menggugat semua hal yang diyakini kaum Muslim selama ini. Memang Islam liberal yang muncul pada 2001, tiga tahu setelah Orba runtuh, merupakan reaksi terhadap gelombang pasang konservatisme Islam. Kaum Wahabi yang dijuluki sebagai kaum takfiri, merupakan sasaran utama. Di pihak lain, kelompok Syiah ditoleransi. Mereka juga menyerang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang merupakan ideologi transnasional Islam yang punya cita-cita mendirikan khilafah.

Kendati mendukung pembubaran HTI, dedengkot Islam liberal Ulil Abshar Abdalla menyayangkan pembubaran FPI yang berfaham ahl sunnah wal-jamaah, faham yang dianut NU. Ini setidaknya mencerminkan konsistensi Ulil pada pluralisme. Namun, AA — yang tak punya kapasitas sebagai intelektual Islam seperti Ulil — memasukkan FPI dengan HRS sebagai sasaran kebenciannya. Pada saat sama, AA welcome terhadap Syiah yang sebenarnya mengusung negara Islam versi Syiah juga.

Bahkan Gubernur DKI Anies Baswedan, yang sikap dan kebijakannya mendapat apresiasi semua tokoh agama di Jakarta, dimasukkan AA sebagai musuhnya. Apapun yang datang dari Anies, diserang AA tanpa belas kasihan. Ironisnya, tuduhan bahwa Anies mengusung politik identitatas tak dapat ia buktikan. Namun, secara mengejutkan, AA memuji AR Baswedan, pahlawan nasional sekaligus merupakan kakek Anies, sebagai nasionalis tulen. Sementara Anies digolongkan kadrun.

Padahal, Anies adalah duplikat kakeknya, seorang tokoh Partai Masyumi. Pada tingkat tertentu, sebenarnya misi Anies memajukan bangsa dengan menegakkan demokrasi, keadilan sosial, pluralitas agama, dan mendahulukan rasio dalam memecahkan masalah, beririsan dengan cita-cita Islam liberal. Kembali kepada AA, tokoh ini sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang menyakiti kaum Muslim. Sekiranya pendapat AA terbingkai dalam pandangan menyeluruhnya terhadap Islam yang ia fahami didasarkan pada metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan, mungkin umat Islam akan menerimanya tanpa perlu menyetujuinya.

Kenyataannya, AA melemparkan isu agama yang sensitif secara agresif, tapi membingungkan umat. Pendapatnya hanya seperti percikan-percikan pikiran kontroversial, yang terkesan hanya bertujuan untuk menyakiti. Karena itu, penganut Islam liberal terlihat seperti orang-orang yang skeptis, bahkan agnostik.

Sialnya, serangan gencar AA terhadap Islam mapan dan tokoh populer seperti HRS yang berjuang tanpa pamrih — lepas dari ideologinya yang tidak kita setujui — dan kini dipenjarakan untuk kasus sepele, mengungkapkan kekejaman hati AA sendiri. Bahkan kontradiksi dengan faham Islam liberal. Juga pelecahan terhadap Anies Baswedan yang belakangan ini semakin menanjak namanya terkait kebijakan-kebijakan yang menghadirkan keadilan bagi semua, memperkeras antipati masyarakat luas terhadap AA.

Apalgi rezim Jokowi yang dibelanya sedang mengalami kemerosotan legitimasi moral. Ini terlihat dari anjloknya kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi dan gelombang pasang demonstrasi mahasiswa. Ya, ketika harga-harga komoditas pangan dan BBM melejit di tengah menurunnya daya beli masyarakat, rezim Jokowi berupaya memperpanjang masa jabatan dan ngotot membangun IKN yang tidak urgen.

Ketidakpercayaan pada rezim Jokowi kian menonjol ketika mahasiswa berencana menggelar demonstrasi besar lagi pada 20 April mendatang karena hingga kini Jokowi belum merespons tuntutan mereka. Di pihak lain, dari rumah sakit, AA menyatakan tidak takut pada lawan-lawannya dan katanya akan lebih gila lagi sekeluar dari rumah sakit. Pernyataan AA ini menyedihkan, tapi kita tak perlu menanggapinya karena pernyataan itu lebih sebagai upaya menutup luka psikis yang dideritanya. Tapi akan lebih bijaksana kalau AA menjadikan peristiwa keji yang menimpa dirinya — yang lebih berupa penolakan terhadap eksistensi dirinya sebagai manusia — sebagai pelajaran penting untuk introspeksi diri. Melihat sikap kepala batu Jokowi yang akan terus ditantang, juga kalau benar AA akan memelihara keterbelahan masyarakat dengan pernyataan-pernyataannya, maka negeri ini akan semakin hiruk-pikuk, yang mestinya tidak disukai Jokowi dan AA. Rupanya kita sedang memasuki zaman edan di mana rezim dan akademisi bersatu untuk menindas rakyat. What a pity!

Tangsel, 14 April 2022