Jokowi Minta Para Istri TNI-Polri tak Undang Penceramah Radikal, Guru Besar Undip: Terkesan Islamophobia

esiden Joko Widodo (Jokowi) terkesan Islamophobia ketika meminta para istri TNI-Polri tidak mengundang penceramah radikal.

“Ketika Jokowi meminta istri-istri TNI-Polri tidak mengundang “Penceramah Radikal”. Terkesan ada Islamphobia yang terus menjangkiti pemikiran para pemimpin di negeri ini yang sekarang dilanda banyak persoalan krisis,” kata Guru Besar Undip Prof Suteki dalam artikel berjudul “Tegak Lurus: Benarkah Tidak Ada Prinsip Demokrasi dalam Tubuh TNI-Polri?”

Kata Suteki, Islamophobia rezim ini tercermin dari pernyataan-pernyataan pemimpin yang terkesan memusuhi Umat Islam Indonesia dengan stempel radikal.

“Sementara Islamophobia di Amerika bahkan sudah berhenti. Rezim ini seharusnya meniru Amerika Serikat yang kini telah menekan Islamophobia melalui regulasinya,” ungkapnya.

Kebijakan Presiden AS Joe Biden itu seharusnya jadi panduan kita untuk mengerti bahwa bahkan di Amerika isu Islamophobia sudah hilang.

“Jika kita terus menarasikan perbedaan pendapat harus diberangus, dihancurkan, dibunuh karakternya dengan stempel radikal radikul, lalu sistem pemerintahan apa yang sebenarnya sedang berjalan di negeri ini? Demokrasi ataukah Tyran-Okhlokrasi? Inikah juga yang terjadi dalam pembangunan dan pengembangan TNI dan Polri? Kalau begitu, mari bersama-sama mengucapkan “SELAMAT TINGGAL DEMOKRASI..!” ungkapnya.

Kata Suteki, narasi radikalisme memang dibangun rezim ini untuk “membunuh” karakter warga negara yang memiliki perbedaan pendapat dengan penguasa, lebih tepatnya pemerintah.

“Apakah benar dalam bingkai demokrasi seorang anggota TNI-Polri bahkan istri-istrinya tidak boleh beda pendapat, berdiskusi sekalipun di GWA? Apakah ini negara komunis yang hanya mementingkan otoritarianisme-diktatur dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembangunan tubuh TNI-Polri?” tanya Suteki.

Sebagai negara hukum, pembangunan dan pengembangan TNI-Polri juga harus berdasarkan hukum, khususnya UU TNI misalnya. Dalam UU TNI, yakni UU No. 34 Tahun 2004 ditegaskan bahwa politik hukum UU ini adalah juga unsur demokrasi.

UU Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya MASYARAKAT MADANI yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,” ungkapnya.