Partai Demokrat menolak Rancangan Undang–undang (RUU) tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) dalam rapat kerja Badan Legislasi pada Sabtu (3/10) malam. Partai Demokrat menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif.
“Fraksi Partai Demokrat menyampaikan lima hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, RUU Ciptaker tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah krisis pandemi ini. Di masa awal pandemi, prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Ossy Dermawan, Sabtu (3/10) malam.
Kedua, lanjut dia, RUU Ciptaker ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law). Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam. Terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
“Apalagi masyarakat sedang sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi dewasa ini. Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru,” tuturnya.
Ketiga, harapan RUU ini di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional. Namun, kata dia, di sisi lain, hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan. Menurutnya, RUU ini justru berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di negeri kita.
“Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk reformasi birokrasi dan? peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan, justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan,” ucapnya.
Keempat, Partai Demokrat memandang RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik. Sehingga, perlu dipertanyakan apakah RUU Ciptaker masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers.
Kelima, selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel.
“Pembahasan RUU Ciptaker ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah,” ujarnya..
Selain lima hal yang perlu menjadi pertimbangan, Partai Demokrat juga menyampaikan tiga catatan kritis terkait isi dalam RUU ini. Pertama, ada sejumlah catatan terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip ‘no work no pay’ oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. Selanjutnya, RUU Ciptaker ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.
“Selain itu, RUU Ciptaker ini juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi RUU Ciptaker tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk kita perjuangkan,” paparnya.
Kedua, terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan. RUU Ciptaker melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.
“Masalah lingkungan hidup juga menjadi catatan tersendiri dimana dalam RUU Ciptaker memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor,” kata Ossy.
Selain itu, RUU Ciptaker memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 hektar. Padahal, untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, dan lainnya, luas 5 hektar dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga.
“Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hilangnya berbagai perizinan menyebabkan masyarakat kehilangan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanahnya,” ucapnya.
Ketiga, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat. RUU Ciptaker membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Pertama, wibawa konstitusi dilecehkan dengan adanya aturan yang bertentangan dengan Putusan MK, dan dihidupkannya aturan kolonial di sektor perburuhan dan pertanahan.
Kedua, lanjutnya, RUU Ciptaker akan memberi legalitas bagi pemerintahan yang sentralistik. Dengan pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat, akan menjadikan superior dibandingkan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan pemerintah daerah.
“Padahal tujuan RUU ini adalah untuk mengefektifkan birokrasi. Tetapi, aturan terbaru ini justru akan semakin merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal Perizinan Berusaha,” tuturnya.
Berdasarkan argumentasi dan catatan penting tersebut, maka Fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak Rancangan Undang–Undang tentang Cipta Lapangan Kerja. Oleh karena itu Partai Demokrat menyarankan agar dilakukan pembahasan yang lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholders yang berkepentingan.
“Ini penting, agar produk hukum yang dihasilkan oleh RUU Ciptaker ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang sebenarnya,” pungkasnya.
Pemerintah akan Lobi PKS dan Demokrat
Pemerintah akan melobi Partai Demokrat dan PKS agar menyetujui RUU Omnibus Law Cipta menjadi undang-undang. Dua fraksi tersebut bersikap menolak RUU Cipta Kerja disepakati untuk dilanjutkan pembahasan ke rapat paripurna dalam pengambilan keputusan di tingkat pertama.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah masih membuka ruang untuk dialog. Terhadap alasan dan argumentasi fraksi yang menolak, Airlangga mengatakan mencatat masukan tersebut.
“Bagi yang belum mendukung, dari Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, catatanya juga kami catat. Dan sebetulnya kalau mau dialog, tetap kami buka,” ujarnya.
Airlangga mengatakan, masih ada waktu untuk melakukan dialog hingga pembahasan tingkat dua yaitu rapat paripurna. Sebelum RUU Cipta Kerja dibahas agar disetujui menjadi undang-undang.
“Masih ada waktu dialog, dan kami bisa mengingatkan kami siap hadir di fraksi Demokrat atau PKS sambil kita menunggu rapat paripurna,” ujarnya.
Airlangga Hartarto berharap RUU Cipta Kerja dapat disahkan sebelum tanggal 8 Oktober. Pada 8 Oktober merupakan rapat paripurna terakhir sebelum DPR memasuki masa reses.
“Harapannya tentu sebelum masa sidang ini kan sampai 8 Oktober. Jadi masih ada waktu,” ujar Airlangga.
Namun, Airlangga tetap berpaku kepada keputusan DPR kapan rapat paripurna akan digelar. “Ini proses seluruhnya DPR, jadi kita mengikuti mekanisme yang ada di DPR,” kata Airlangga.
Masih tersisa waktu menuju rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. Fraksi Demokrat dan PKS bersikap menolak RUU Cipta Kerja di pengambilan keputusan tingkat pertama. Airlangga mengatakan, terbuka ruang dialog sampai rapat paripurna nanti.
“Pemerintah bersedia dialog, sampai paripurna nanti,” ucapnya.
Airlangga tak khawatir anggapan RUU Cipta Kerja ini merugikan kelompok pekerja. Sebab, apa yang sudah menjadi keputusan merupakan hasil pembahasan tripartrit antara DPR, pemerintah dan serikat pekerja.
“Ini sebetulnya hasil pembahasan tripartrit yang waktu itu dipimpin oleh ibu menaker, serikat pekerja dan apindo. Jadi ini sesuai dengan rapat tripartit tersebut,” kata Ketum Golkar ini.
Airlangga mengingatkan buruh supaya tidak menggelar demo. Karena, masih diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta untuk memutus penyebaran Covid-19.
“Ini saya ingatkan bahwa ini adalah situasi pandemi COVID-19. Terutama di Jakarta kan masih PSBB, jadi kita masih mengikuti aturan PSBB,” kata dia.(merdeka.com)