Lagi-Lagi HTI Serang Muhammadiyah, Seruan Pak Haedar Dituding Mengandung Propaganda Jahat

Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

Mengharap sikap toleran dari aktivis HTI kepada sesama muslim, ibarat punguk merindukan bulan. Siapapun, dari ormas Islam manapun, jika berbeda pendapat dengan Hizbut Tahrir, pada bab Siyasah dan Khilafah, pasti diserang. Bagi HTI, tidak ada khilafiyah soal dua bab tersebut. Umat Islam wajib satu pendapat dengan pendapat fiqih Hizbut Tahrir.

Aktivis HTI masih mentolerir khilafiyah dalam bab Fiqih Ibadah dan Muamalah, akan tetapi mohon maaf sebesar-besarnya, pintu ijtihad sudah tertutup kalau bicara soal fiqih siyasah dan khilafah. Silahkan ambil pendapat Hizbut Tahrir bulat-bulat, kalau tidak mau, dianggap kafir.

Konsekuensinya, seseorang akan diperlakukan oleh aktivis HTI bak orang kafir. Kehormatan dan kemuliaannya sebagai seorang muslim, dibunuh melalui pembunuhan karakter yang dilakukan para buzzer dan influencer HTI di jagad media sosial.

Seperti yang dialami oleh Prof. DR, Haedar Nashir Ketua Umum PP. Muhammadiyah. 15 Desember tahun lalu, beliau diserang HTI melalui tulisan Nasrudin Joha yang berjudul “Haedar Nashir Menyewa Buzzer Untuk Merapihkan Toga Guru Besarnya Yang Terpercik Noda Darah Saudara Muslim” (15/12/2019).

Artikel sampah penuh sumpah serapah yang tidak layak ditulis oleh pejuang syariah dan khilafah. Begitu dalam rasa dendam dan benci HTI kepada beliau, hingga artikel sampah itu sampai tersebar luas.

Kemarin di salah satu grup Whatsapp, saya membaca tulisan yang diposting seorang aktivis HTI, sebuah artikel atas nama Ahmad Khozinuddin, seorang pengacara, pejuang khilafah, sastrawan politik dan anggota HTI. Sang Penulis mempersoalkan pendapat Muhammadiyah tentang negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

“Muhammadiyah telah menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara pancasila, Darul Ahdi wa Syahadah. Maka orang Muhammadiyah dan anak muda jangan berpikir lain tentang bentuk negara, entah negara khilafah apalagi negara sekuler,” tegas Haedar. (Laman Suara Muhammadiyah, 23/07/2020).

Ahmad Khozinuddin ngegas tapi kurang teliti membaca pernyataan Pak Haedar. Tampaknya Si Pengacara HTI satu ini kurang baca buku-buku Ke-Muhammadiyah-an. Atau jarang buka-buka situs resmi Muhammadiyah.

Katanya, “pernyataan ini (tentang Indonesia Darul Ahdi wa Syahadah) perlu diklarifikasi, apakah merupakan statement persyarikatan Muhammadiyah atau statement pribadi beliau, yang kebetulan menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah”. Padahal sudah jelas, Pak Haedar mengawali pernyataannya dengan kata “Muhammadiyah…” dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PP. Muhammadiyah di tengah warga Muhammadiyah.

Pertanyaaan minta klarifikasi dari Ahmad Khozinuddin tidak perlu muncul jika ia baca-baca dulu laman-laman resmi Perserikatan Muhammadiyah. Di laman Universitas Muhammadiyah Malang disebutkan, bahwa konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun visi dan Karakter Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir Samarinda tahun 2014. (http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/10755.html).

Ahmad Khozinuddin dan para aktivis HTI harus paham, Muhammadiyah berbeda dengan Hizbut Tahrir. Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912. Di tahun itu, Taqiyuddan an-Nabhani baru berumur 3 tahun. Masih balita yang sedang lucu-lucunya. Jangan ditanya kontribusi Muhammadiyah kepada umat Islam dan berapa asset perserikatan pada tahun 1953, di saat Hizbut Tahrir baru mendaftarkan diri sebagai partai politik di Yordania.

Muhammadiyah sebuah organisasi yang menganut sistem kolektif kolegial. Berbeda dengan Hizbut Tahrir yang menganut kepemimpinan tunggal Amirnya. Ijtihad di Muhammadiyah bersifat kolektif melalui Majlis Tarjih. Sedangkan Hizbut Tahrir, mengadopsi sistem ijtihad tunggal Amirnya.

Di dalam al-Qur’an, hadits dan ijma sahabat tidak ada nash yang menyinggung langsung soal negara Indonesia dan negara Pancasila. Juga tidak bisa di-qiyas-kan dengan Daulah Nabawiyah yang dipimpin Nabi Muhammad saw di Madinah karena tidak ada illat (titik persamaan). Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan fakta baru, yang membutuhkan ijtihad politik untuk menentukan status hukumnya.

Perserikatan Muhammadiyah berhak untuk berpendapat dan meyakini kebenaran pendapat mereka perihal keabsahan NKRI. Sebab itu, sudah menjadi kewajiban setiap warga Muhammadiyah mengambil ijtihad politik perserikatan mereka menjadi pendapat pribadinya. Mengamalkan dan menyebarkan pendapatnya. Tanpa harus memaksakannya kepada orang lain yang berbeda ijtihad.

Tidak ada yang salah dari seruan Pak Haedar agar orang Muhammadiyah dan anak muda jangan berpikir lain tentang bentuk negara, entah negara khilafah apalagi negara sekuler. Sangat disayangkan, Ahmad Khozinuddin menuding seruan Pak Haedar ini mengandung propaganda jahat, yang ingin menjauhkan anak muda Islam dari ajaran Islam Khilafah, sebagaimana mereka juga wajib dijauhkan dari paham Sekulerisme.

Toh, Khilafah Tahririyah yang diperjuangkan oleh Ahmad Khozinuddin dan HTI hanyalah salah satu ijtihad politik, bukan wahyu ilahi, yang bisa benar atau salah. HTI boleh-boleh saja berpendapat, bahwa Indonesia adalah Daulah Kufur. Akan tetapi dilarang memaksakannya kepada orang lain. Juga dilarang penerapan ijtihad politik Hizbut Tahrir (menegakkan Khilafah Tahririyah) di wilayah NKRI.

Sudah saatnya pengurus dan aktivis HTI belajar bersikap toleran dalam fiqih siyasah dan khilafah. Belajar membiarkan, menghargai dan menghormati ijtihad politik ormas Islam yang lain. HTI boleh tidak setuju dengan ijtihad politik Perserikatan Muhammadiyah, namun jangan menuding seruan Ketum PP. Muhammadiyah mengandung propaganda jahat.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News