Bachtiar Nasir, Ahmad Dahlan, dan Rintangan Dakwah

Oleh: M. Anwar Djaelani
Pemerhati masalah politik dan sosial

Acara kajian Ustadz Bachtiar Nasir di Malang pada 09/03/2020 mendapat ganjalan. Hal ini, seperti mengulang yang dialami Ustadz Felix Siauw di kota yang sama, hampir dua tahun sebelumnya. Jika digabungkan dengan peristiwa serupa yang menimpa sejumlah pendakwah –antara lain Ustadz Abdul Somad-, maka kita benar-benar harus berduka. Mengapa?

Siapa Berani
Dakwah adalah aktivitas mulia. Kajian, bagian dari dakwah, mulia dan bernilai ibadah. Perhatikanlah ayat ini. _“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (QS Fushshilat [41]: 33). “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali-‘Imraan [3]: 104).

Dengan posisi dakwah seperti itu, siapa menyangka bahwa Ustadz Bachtiar Nasir akan mengalami perlakuan yang tak patut di Malang? Padahal, tema kajiannya umum, yaitu: “Peran Intelektual dan Ulama dalam Penyucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs) Menuju Kebangkitan Peradaban Islam”.

Mendapat perlakuan tak patut? Seperti apa? Pertama, lokasi acara sempat pindah beberapa kali. Awal, diagendakan di Universitas Brawijaya Malang. Mengingat “satu dan lain hal”, terpaksa dipindah ke sebuah hotel yang dikelola secara syariah di daerah Sengkaling – pinggiran Malang. Ternyata, masalah belum selesai. Masih karena “satu dan lain hal”, acara harus berpindah lagi. Kali ini ke hotel dengan nama sama tapi di tengah Kota Malang.

Kedua, soal sangkaan. Bacalah berita berikut: “Inilah Kronologis Pembubaran Pengajian Ustadz Bachtiar Nasir di Kota Malang” (https://radarmalang.id/ 10/03/2020). Bahwa, Senin malam 09/03/2020, ada kajian MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) di Hotel Radho Syariah Jalan Simpang Kawi Kota Malang. Situs itu mengabarkan, berdasarkan informasi yang dihimpun dari warga sekitar, Ustadz Bachtiar Nasir “Dianggap membawa materi kajian yang provokatif”.

Apa kata panitia? Bacalah ini: “Polisi Hentikan Kegiatan MIUMI” (Radar Malang 11/03/2020). Di situ ada penjelasan Ibnu Pradhipta, panitia acara MIUMI, yang menyangkal dugaan soal radikalisme di dalam ceramah. ”Tidak ada soal itu,” kata dia. Ibnu pun mengatakan jika kajian berjalan lancar dan hampir selesai sebelum di-geruduk massa. ”Alhamdulillah acara lancar meskipun di luar ada gangguan. Akhirnya acara kami percepat,” tambah Ibnu.

Sekarang, mari baca ulang kejadian di 2017. “Kajian Ustadz Felix Siauw Dibubarkan Paksa oleh Polisi” (www.berita.islamedia.id 30/04/2017). Kajian remaja dengan narasumber Ustadz Felix Siauw dibubarkan oleh Kepolisian Resort Malang pada 30/04/2017. Alasannya, karena ada organisasi massa yang melaporkan bahwa kajian Ustadz Felix Siauw berbahaya dan belum mengantongi surat izin.

Entah, di negeri ini sedang ada apa? Bachtiar Nasir, Felix Siauw, dan banyak pendakwah lain diperlakukan tak patut. Sekadar pelengkap, bacalah ini: “Ini Alasan UGM Batalkan Kuliah Umum Ustadz Abdul Somad” (www.detik.com 19/10/2019).

Apapun, atas berbagai hambatan, para pendakwah tak boleh surut langkah. Rintangan di dunia dakwah adalah semacam bumbu yang bisa memperkaya pengalaman ruhani seorang pejuang agama. Terkait ini, bukan tak mungkin semua pendakwah punya pengalaman pahit -sedikit atau banyak- dalam berdakwah. Misalnya, fragmen KH Ahmad Dahlan –pendiri Muhammadiyah dan wafat pada 1923-, berikut ini.

Ahmad Dahlan rajin berdakwah ke berbagai daerah. Ujung Pulau Jawa seperti Banyuwangi, dikunjunginya pula. Pada sebuah tabligh akbar di Banyuwangi, di sesi tanya jawab ada banyak pertanyaan yang diajukan. Semuanya dijawab langsung oleh Ahmad Dahlan. Khusus pertanyaan yang melenceng dan tak ada hubungan dengan Muhammadiyah, beliau tidak melayaninya.

Orang-orang yang antipati kepada Ahmad Dahlan menyebut beliau sebagai Kiai Palsu. Ahmad Dahlan tak marah dengan ejekan itu. Beliau menerimanya dengan hati lapang. Bukankah Nabi Muhammad Saw juga pernah diejek waktu berdakwah? Demikianlah, Ahmad Dahlan sebagai ulama berusaha meneladani Rasulullah Muhammad Saw.

Sesudah Ahmad Dahlan pulang dari Banyuwangi, ada yang mengirim surat kaleng kepadanya yang berisi ancaman: “Kalau berani datang sekali lagi ke Banyuwangi, maka akan disambut dengan kelewang dan istrinya akan dijadikan pelayan”.

Apa kelewang? Kata www.kbbi.web.id, kelewang adalah pedang pendek yang bilahnya makin ke ujung makin lebar. Artinya, ancaman itu cukup bisa membuat nyali orang kebanyakan menjadi ciut. Bagaimana dengan Ahmad Dahlan? Beliau tak takut menghadapi ancaman itu, karena beliau merasa benar.

Tak lama setelah itu, Ahmad Dahlan berniat datang lagi bersama istrinya ke Banyuwangi. Sanak-saudara dan kawan-kawannya berkata, “Urungkan saja, Kiai. Nanti kalau terjadi apa-apa dengan Kiai, bagaimana? Lain kali saja, kalau suasana sudah baik, Kiai kembali berdakwah ke sana. Keadaan sekarang sedang panas. Lebih baik dibatalkan dulu maksud Kiai pergi ke sana itu”.

Ahmad Dahlan bersiteguh pendirian. Beliau tak gentar, karena –sekali lagi- merasa di jalan yang benar. Berkali-kali beliau berkata, “Kalau orang-orang yang durhaka berani demikian, mengapa kita yang berkewajiban mensyiarkan jalan kebenaran, harus takut dan kurang berani?”

Singkat kata, Ahmad Dahlan tetap ke Banyuwangi untuk berdakwah. Ahmad Dahlan mengadakan tabligh akbar lagi. Insya-Allah tak terjadi apa-apa. Bahkan, akhirnya, berdirilah Cabang Muhammadiyah di Banyuwangi (Sutrisno Kutojo dan Mardanus Safwan, tt: 41-42).

Hendak ke Mana
Negeri ini sangat berhutang budi kepada dakwah dan para pengembannya. Di sepanjang sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, kental terasa bahwa heroisme pejuang dibakar oleh spirit amar makruf nahi munkar sebagai buah dakwah. Maka, ketika belakangan ini ada sejumlah aktivis dakwah dihadang-hadang, mengemuka tanya: Hendak ke mana bangsa ini?