Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali melanjutkan perkara kasus pemalsuan kartu tanda penduduk (KTP) yang di duga Direktur Keuangan PT Central Stell Indonesia (PT CSI) Mulyadi Supardi alias Hua Ping alias Aping beserta istrinya, Lian Hiang Liang, dan anaknya bernama Yulia dihadirkan sebagai terdakwa.
Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan ketiga terdakwa.
Dalam sidang kali ini, Jaksa Yanuar Ferdian dan Priyo mencecar ketiga terdakwa terkait surat kartu tanda penduduk dan identitas pelaku yang diduga WN Tiongkok itu.
Mulyadi mengaku dirinya lahir di Jakarta dan sah sebagai warga negara Indonesia. Pasalnya, orang tuanya yang membantu pengurusan KTP.
“Surat – surat dari ayah saya langsung saya urus ke keluraham situ. Dari Mangga Dua dapat KK, KTP, Dokumen dari ayah saya waktu ayah saya ke luar negeri urus surat saya. Saya gunakan untuk pembuatan paspor WNI. Dulu saya lahir di Jakarta juga,” kata Mulyadi di PN Jakarta Pusat, Selasa (16/7).
Mulyadi mengakui memiliki paspor Tiomgkok yang dia buat dari tahun 2000.
“Saya bukan di Kedubes tiongkok di Jakarta. Ada peraturan tahun 98 karena saya di Tiongkok belasan tahun. Bikin permohonan isi halaman. Paspor baru keluar tahun 2000,” jelas Mulyadi.
Ia mengaku membuat KTP di kantor Kelurahan Mangga Dua Selatan dengan cara yang sah.
“Saya bawa KK. Istri dan anak saya juga membuat KTP saya yang bantu urus,” kata dia.
Sementara itu, Jaksa mencecar anak Mulyadi, Yulia soal statusnya sebagai pemilik saham di PT CSI. Yulia mengaku tak tau apa-apa.
“Proses jadi pemegang saham PT CSI saya gak tau.Kepemilikan saham kalau gak salah 35 persen. Prosesnya saya disuruh papa bawa KTP dan tandatangan.
Paling komisaris di PT CSI tidak aktif. Saya gak tau apa apa soal perusahaan,” kata dia berkilah.
Majelis hakim pun mengeluarkan pendapatnya, ia menganggap Mulyadi dan keluarganya tak taat hukum.
“Jangan menyepelekan masalah hukum. Saudara tak tertib hukum,” jelas Hakim.
Sidang sendiri bakal berlangsung Selasa (23/7) mendatang dengan agenda tuntutan.
Atas tindakan ini, Mulyadi beserta anak dan istrinya didakwa telah melanggar Pasal 264 ayat 2 KUHP atau Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013
Ia diitahan karena dikhawatirkan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, sehingga dapat mempersulit pemeriksaan penyidikan atau menghambat penyelesaian penyidikan perkara.
Kasus ini awalnya bermula ketika PT CSI, perusahaan yang bergerak di bidang peleburan besi bekas menjadi besi beton dan besi ulir untuk bahan bangunan yang didirikan pada 2005, mendapatkan fasilitas kredit dari salah satu bank BUMN selama tahun 2011-2014. Adapun kredit PT CSI dari bank itu pada 2011 mencapai ratusan miliar rupiah. Total kredit sekitar Rp 500 miliar.
Berdasarkan keterangan pers Kejagung, PT CSI dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank tersebut dilakukan dengan mengajukan data dan laporan keuangan tidak akurat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.