Terlalu Banyak Kecurangan, Komando Garda Depan Minta KPU Diaudit dan Bentuk Tim Pencari Fakta

Banyaknya laporan masyarakat terkait dugaan kecurangan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres Serentak 2019, bukan hanya memprihatinkan, tapi juga menimbulkan kecurigaan banyak pihak bahwa telah terjadi persekongkolan jahat oleh oknum penyelenggara Pemilu/Pilpres demi memenangkan salah satu Pasangan Calon (Paslon) Capres.

Dugaan kecurangan itu sulit dibantah bukan saja karena banyaknya temuan kecurangan yang terjadi di tingkat TPS pada saat pencoblosan, tapi juga di tingkat PPK saat pengumpulan data formulir C1 dan di tingkat KPU saat dilakukan input data suara pemilih melalui server resmi KPU. Sampai saat ini Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sudah menemukan 1.200 kasus dugaan kecurangan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Atas banyaknya dugaan kecurangan itu, Komando Gabungan Relawan Demokrasi Pancasila (Komando Garda Depan) mendesak segera dilakukan audit forensik terhadap KPU dan segera dibentuk Tim Pencari Fakta untuk menemukan kebenaran material tentang apa sebenarnya yang terjadi pada pelaksanaan Pilpres tahun 2019 ini.

Menurut Komandan Garda Depan, Lieus Sungkharisma, audit forensik dan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) menjadi sangat mendesak bukan saja agar Pemilu dan Pilpres yang sudah menghabiskan biaya triliunan rupiah itu tidak menjadi sia-sia, tapi juga agar proses suksesi kepemimpinan nasional di negeri ini berjalan dengan benar, jujur, adil, dan demokratis.

“Terlalu mahal ongkos yang harus kita bayar jika ternyata Pilpres kali ini dikotori oleh ambisi pribadi dan kepentingan sekelompok orang,” ujar Lieus.

Ditambahkan Lieus, indikasi adanya kecurangan itu semakin menyolok mata ketika sudah lebih dari sepuluh hari pemilu berlangsung, namun persentase perolehan suara pasangan calon Capres/Cawapres di real count KPU tidak berobah significan. “Dari pertama real count ditayangkan KPU, sampai hari ini jumlah persentase suara di server KPU tak beranjak dari angka yang sejak pertama kali mereka tampilkan,” ujar Lieus.

Bahkan, tambahnya, ditemukan banyak sekali jumlah perolehan suara di real count KPU yang tidak sesuai dengan data C1 yang ada di masyarakat. “Tragisnya, yang jumlahnya selalu kurang adalah suara Paslon 02. Sedangkan suara paslon 01 terus bertambah,” jelas Lieus.

Tim IT Garda Depan, tambahnya, bahkan menemukan banyak sekali penambahan suara yang jumlahnya tak masuk akal untuk paslon 01 dan sangat berbeda jauh dari angka yang ada di form C1.

“Bayangkan, bagaimana suara Prabowo-Sandi di Aceh, yang merupakan basis pemilih paslon 02, bisa berubah significan di real count KPU. Padahal, seperti di Sumatera Barat, di Aceh suara untuk paslon 01 di tak sampai puluhan persen,” ujar Lieus.

Meski semua temuan adanya dugaan kecurangan itu sudah dilaporkan ke Badan pengawas Pemilu (Bawaslu), namun, tambah Lieus, hal itu tidak menutup pihaknya untuk mendesak agar segera dilakukan audit terhadap KPU dan segera dibentuk tim pencari fakta Pilpres 2019.

“Apun alasan yang diberikan KPU, faktanya angka-angka perolehan suara pasangan calon presiden di server KPU tidak juga berobah. Ini semakin menguatkan dugaan kami adanya kesengajaan KPU untuk mencurangi suara rakyat dalam Pilpres 2019 ini,” katanya.

Lieus menegaskan, komando Garda Depan sebagai gabungan relawan Prabowo – Sandi yang mengawal tegaknya Demokrasi Pancasila, tidak butuh pernyataan Ketua KPU yang mengatakan siap dikutuk jadi batu bila dia curang.

“Itu pernyataan kekanak-kanakan. Jika dia memang tidak punya niat curang, buktikan saja dengan memperbaiki kinerja lembaga yang dipimpinnya. Ingat, ratusan juta rakyat Indonesia kini menggantungkan harapannya pada kerja KPU. Jadi jangan main-main,” ujar Lieus.

Komando Garda Depan, tambah Lieus, sampai saat ini terus mengumpulkan bukti-bukti kecurangan itu. Baik di tingkat PPS, PPK, KPU Daerah maupun KPU Pusat. “Kita berharap Bawaslu dan pihak-pihak terkait lainnya, termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merespon temuan atas dugaan kecurangan ini,” ujarnya.

“Kita tidak ingin proses demokrasi yang berbiaya sangat mahal ini tercederai oleh karena KPU tidak netral dan berpihak. Dampaknya akan sangat besar. Pemimpin Indonesia mendatang akan kehilangan legitimasinya karena kecurangan-kecurangan yang dilakukan secara sistemik dan massif ini,” tegas Lieus.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News