Strategi Anti-Kekuasaan dalam Film Sexy Killers

Oleh: Muhammad Taufik Rahman
Koordinator Forum Kajian Media dan Komunikasi Politik Indonesia

Meskipun awalnya agak enggan untuk menonton karena overload menyaksikan film-film di bioskop dan TV kabel, ‘embel-embel’ ‘full movie’ Film Sexy Killers di WhatsApp yang saya terima dari berbagai grup rasanya menjadi terlalu sayang untuk dilewatkan. Apalagi setelah duduk satu meja dengan teman-teman saya di perpustakaan. Ekspresi ‘aneh’ yang mereka perlihatkan saat saya menyebut film itu, mendorong rasa penasaran saya untuk segera menonton dan membedahnya segera.

Dan inilah ujung dari rasa penasaran itu. Sebuah analisis kritis yang secara khusus saya dedikasikan untuk pertanyaan mereka, mengapa saya belum menonton; sementara kekuatan viral film itu semakin kuat dan pandangan umum terhadap film itu sudah terbentuk? Apakah ada perspektif alternatif yang bisa dipakai untuk mengklarifikasi ‘kebenaran’ narasi besar yang sedang dikonstruksi oleh film itu?

Menurut saya, kesan pertama yang saya tangkap dari film ini adalah narasi tentang ironi dan kompleksnya persoalan energi listrik di Indonesia. Gambaran yang dirangkai dalam narasi visual FSK secara garis besar menunjukkan berbagai macam paradoks; saat kebutuhan energi listrik meningkat, daya beli masyarakat yang rendah justru menuntut rasionalisasi harga energi menjadi lebih murah. Hukum permintaan dalam teori ekonomi menjadi tidak relevan karena faktor ketersediaan sumber daya alam yang tinggi bergerak sejajar dengan tuntutan stabilitas ekonomi-politik ‘kerakyatan’ yang mengharamkan harga mahal . Rasionalisasi harga inilah yang kemudian menjadi celah masuknya politik dan pengabaian prinsip-prinsip moral pelestarian alam dan manusia yang tinggal di sekitar lokasi tambang.
Akan tetapi, setelah melakukan Critical Discourse Analysis melalui prosedur analisis dispositif yang lumayan ketat dari pemahaman terhadap konstruksi narasi yang berusaha dibangun di dalam film, representasi dialog para subjek yang ditampilkan, positioning para tokoh secara umum dalam ‘seleksi proporsi oposisi biner’ salah-benar (rakyat-pemerintah), arah dan bentuk-bentuk tindakan para subjek dalam usaha memperkuat paparan narasi (ekspresi kemarahan, tudingan celurit, demonstrasi,visualisasi mayat), framing dan materialisasi objek yang menggunakan latar belakang Sulawesi bagian utara, Kalimantan, Jawa Tengah dan Bali yang secara geopolitik merupakan basis kekuatan politik Joko Widodo, Presiden RI saat ini, pandangan saya secara dramatis berubah.

‘Kesadaran aktual’ yang saya dapatkan di akhir Film Sexy Killers, pada akhirnya, menikung jauh dari kesan dan ekspektasi awal, bahwa film ini akan murni ‘berbicara’ tentang konservasi alam. Narasi yang dibangun di dalam Sexy Killers ternyata bukan lagi soal bagaimana membentuk kesadaran hemat energi yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap kecenderungan konsumtif manusianya dalam mengonsumsi energi listrik. Tapi secara radikal berubah (diarahkan) menjadi skeptisisme politik terhadap kebijakan pemerintah yang eksploitatif dan tidak humanis.

Kesadaran aktual inilah yang akhirnya membuat saya berpikir ulang bahwa film ini ternyata tidak lebih dari sebuah propaganda politik yang secara khusus ditujukan untuk menyerang ‘sisi gelap’ kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang selama ini tertutup oleh megahnya narasi pembangunan infrastruktur dan dibanggakan sebagai kunci sukses pemerintahannya.

Argumen ini semakin kuat jika realitas kontekstual yang sedang berlangsung pada saat film ini dirilis, dijadikan perbandingan. Pemilihan presiden 2019 tentu bisa dijadikan pertimbangan para ‘produktor’ film untuk meningkatkan momentum dan signifikansi filmya.

Jika tren pemutaran film-film kelas dunia saja memperhatikan waktu tayang yang tepat antara liburan sekolah, natal, dan penilaian Oscar, maka hampir mustahil jika film ini tidak ikut memperhatikan ketepatan momentumnya. Ketidaktepatan merilis film pada momentum yang salah akan menghilangkan signifikansi filmnya.

Dan itulah yang bisa kita lihat sekarang: bahwa Sexy Killers menjadi viral dan (mungkin saja) memiliki dampak politik sangat kuat karena ditampilkan menjelang pemilihan presiden. Dan ‘kebetulan’ pula, ‘subjek-subjek antagonis’ yang ditampilkan dalam film itu saat ini tengah aktif berkontestasi meraih kemenangan pada tanggal 17 April 2019 besok. Tetapi, yang paling penting dari analisis konteks ini adalah, jika persoalan tambang batubara merupakan persoalan yang sudah ada sejak sebelum pemerintahan Joko Widodo, mengapa framing waktunya hanya dibatasi pada era pemerintahannya saja? Kesan yang akan ditangkap di kepala penonton tentu sangat mengerikan, “4,5 tahun pemerintahannya saja sudah sebegitu dahsyat kerusakannya, apalagi jika diteruskan 10 tahun.”

Memang ada usaha yang kelihatan cerdas dari ‘produktor’ untuk menampilkan framing yang seimbang dengan menampilkan ‘secara sekilas’ Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Tapi film ini tidak bisa berbohong jika durasi yang disediakan untuk melakukan kampanye negatif terhadap Joko Widodo, nyatanya, lebih banyak dibandingkan terhadap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Modus bersikap seolah-olah moderat ini justru menjadi bumerang bagi ‘produktor’ film itu sendiri. Seandainya memang benar narasi yang dibangun adalah untuk membangun keraguan terhadap Joko Widodo, mengapa harus mengambil resiko membangun keraguan terhadap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pula? Di mana keuntungan politis film ini?

Seperti umumnya tujuan Critical Discourse Analysis yang memiliki basis epistemologis pada pemikiran post-strukturalisme Foucault dan fokus pada bagaimana membongkar mekanisme kekuasaan yang tidak terpusat bekerja secara produktif, bergerak dari segala arah dan menciptakan semacam ‘ketidakberesan sosial’ di dalam sebuah hamparan teks; maka film ini dapatlah kiranya dianggap sebagai sebuah mekanisme antikekuasaan yang sedang bekerja dan berusaha meraih tujuannya. Apakah tujuan itu pada akhirnya mendelegitimasi pemerintahan, pemilu, calon-calon presiden atau bahkan memantik kemarahan rakyat untuk melakukan perlawanan struktural pada rezim, dapat anda simpulkan sendiri. Tentu saja setelah melakukan pemahaman terhadap berbagai perspektif. CDA hanya merupakan sebuah jalur metodologis sederhana yang menawarkan langkah-langkah metodologis taktis sekaligus strategis, untuk mengungkap motif-motif kekuasaan (maupun antikekuasaan) yang berusaha disusupkan dalam sebuah teks (film).

Sampai di sini, saya akan berusaha keras untuk tidak melebarkan analisis saya terlalu lebar alih-alih menjadi sebuah tesis utuh. Kesadaran kritis dalam memahami persoalan secara aktual jauh lebih penting daripada memperdebatkan kredibilitas sebuah perspektif. Saya tidak mau membuat anda terlambat membaca perspektif alternatif ini di kemudian hari, sementara pengetahuan dan sikap anda sudah terlanjur established; ‘dimapankan’ oleh konstruksi wacana yang ingin dibentuk oleh film itu. Saya memang bukan pendukung fanatik Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Tapi saya juga memiliki komitmen keilmuan terhadap kualitas demokrasi yang sehat. Jika film itu memiliki tendensi black campaign terhadap salah satu calon presiden; dan bukannya memiliki tujuan mulia menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia, maka pada titik inilah tanggung jawab akademis saya bekerja.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News