Surat Terbuka untuk Wiranto

Wiranto (IST)

(Dari Wartawan Senior H. Mangarahon Dongoran)

Kepada yang terhormat Bapak Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan hormat.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Semoga Allah Subhanahu wata’ala senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita.

Pak Wiranto yang saya hormati. Perkenankan saya Mangarahon Dongoran, muridnya almarhum KH. AM Lukman, SH, di Bogor.

Almarhum juga menjadi guru spiritual Bapak dan saya banyak mendapatkan cerita tentang Bapak, termasuk cerita tentang pencalonan Bapak jadi Presiden tahun 2004 dan juga cerita tentang penculikan aktivis menjelang peristiwa 1998.

Mohon maaf atas kelancangan saya membuat surat ini.

Saya langsung saja ke pokok permasalahannya.

1. Saya mohon kiranya agar Bapak sebagai Menko Polhukam menghentikan cara-cara adu-domba dalam menyampaikan pernyataan terutama saat-saat menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilihan Calon Anggota Legislatif.

Saya mohon Bapak jujur, mengapa masih bertengkar dengan Kivlan Zein, seperti yang bisa dibaca di media resmi terutama online (media daring) maupun media sosial (medsos), termasuk yang viral belakangan ini.

Bapak saya lihat berkelit alias menghindar dengan pernyataan macam-macam. Termasuk menyebut Saudaraku Kivlan Zein sering meminta uang kepada Bapak.

Akan tetapi, ketika Kivlan Zein mengatakan meminta uang untuk menagih piutang atas biaya pembentukan Pam Swakarsa, Bapak kemudian menjawab yang tidak jelas atau mengalihkan ke jawaban lain. Wajar dong Kivlan Zein menagihnya, karena dia sudah mengeluarkan dana banyak untuk Pam Swakarsa atas perintah Bapak yang waktu itu menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Tentang Pembentukan Pam Swakarsa ini saya juga banyak mendapat cerita dari almarhum AM Lukman Hakim, termasuk peran/perintah Bapak untuk membentuknya. Pembentukannya menyedihkan, karena ingin membenturkan rakyat dengan rakyat, khususnya umat Islam dengan umat Islam.

Sebagai wartawan yang meliput keadaan sepanjang 1998 sampai 1999, saya sempat mewawancarai anggota Pam Swakarsa yang berasal dari wilayah Banten dan ditempatkan di basement (tempat parkir), di Gedung Manggala Wana Bhakti.

Mereka menuturkan, rela ke Jakarta karena diinfokan Masjid Istiqlal mau dibakar. Mereka semakin percaya saja atas informasi tersebut. Apalagi, saat tiba di Jakarta, mereka diinapkan satu malam di Masjid Istiqlal, sebelum akhirnya disebar ke beberapa tempat.

Tentang info dari Pam Swakarsa tersebut, pernah juga saya obrolkan dengan salah satu tokoh Banten, Embay Mulya Syarif. Obrolan itu dalam bentuk candaan dan berlangsung tahun 2015 lalu. Dari mimiknya, saya baca Pak Embay terkejut dan tidak memberikan jawaban tentang info Masjid Istiqlal mau dibakar itu.

2. Isu sepanjang kampanye Pilpres sekarang ini sudah sedemikian merebak, termasuk isu akan dibenturkannya pendukung dua pasangan (01 dan 02). Kenyataan di lapangan sudah mulai terjadi benturan, seperti di Yogyakarta. Jadi, sudah menjadi kenyataan.

Penghadangan dan penjegalan terhadap pendukung 02 terus terjadi, baik sebelum kampanye seperti kepada Neno Warisman di Pekanbaru, terhadap Fahri Hamzah, Ustaz Ahmad Shobri Lubis (Ketua Umum Front Pembela Islam), dan lainya, termasuk terhadap sejumlah aktivis lainnya.

Fakta-fakta sudah terjadi.
Isu yang paling anyar atau terbaru adalah tentang chaos setelah penghitungan suara. Bahkan, isyu paling ekstrim adalah usaha menggagalkan Pemilu. Ini keluar akibat pernyataan dan sikap dari pemerintah yang tidak fair, seperti pernyataan “Perang Total” dari Kepala Staf Presiden, Moeldoko.

Bapak adalah orang yang duduk di pemerintahan yang duduk sebagai Menko Polhukam. Malah, pernyataan itu disambung lagi dengan kalimat, “Serangan Darat dan Udara,” dari kubu pendukung petahana, Joko Widodo yang saat ini Presiden RI yang menjadi atasan Bapak.

Kalimat-kalimat provokatif itu tidak baik untuk pendidikan demokrasi yang kita bangun di Negeri Pancasila ini.

Kalau saya baca di lapangan, saat ini rakyat tidak ada takutnya. Sama seperti rentetan peristiwa 1998 yang saya lihat langsung, rakyat yang berhadapan dengan ABRI, termasuk polisi yang membawa senjata, mulai dari water canon, peluru karet, gas air mata, tameng dan rotan, dan bahkan peluru tajam, tidak terlalu ditakuti rakyat. Ini sekedar cerita ilustrasi saja.

Bahkan, saya sempat menyaksikan dua panser yang meluncur dari arah Bundaran Hotel Indonesia dihadang rakyat di bawah fly over Bendungan Hilir. Cara menghadangnya, rakyat ramai-ramai tidur di jalan yang hendak dilewati kendaraan berwarna hijau itu, dan dipaksa balik arah.

Saya juga menyaksikan rombongan Pam Swakarsa yang menggunakan Metro Mini menjadi bulan-bulanan massa di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya antara Hotel Le Meredian dan Hotel Sahid Jaya. Rombongan Pam Swakarsa kocar-kacir dan yang tertangkap menjadi bulan-bulanan massa dan berdarah-darah.

3. Ketiga, tentang kasus penculikan aktivis, menurut AM Lukman Hakim, Bapak mengetahuinya. Bahkan, aktivis yang hilang sampai sekarang pun sebenarnya Bapak tahu dikubur dan dibuang ke mana. (Saya tidak menyebutkan tempat yang disampaikan almarhum kepada saya).

Yang jelas, Bapak mengetahui dan harus turut bertanggung jawab.
Karena kasus ini juga, antara lain sehingga Amerika Serikat tidak menyukai Bapak ketika menjadi Calon Presiden tahun 2004. Ditambah pembentukan Pam Swakarsa yang merupakan perintah Bapak antara lain kepada Kivlan Zein.

Oh, ya saya teringat ketika Bapak membisikkan sesuatu jabatan kepada saya setelah selesai wawancara khusus pada 4 Mei 2004, sehingga teman saya Satrio Widianto dan Refa Riana (sama-sama wartawan Harian Umum Pikiran Rakyat), bertanya-tanya tentang apa yang Bapak sampaikan kepada saya, karena saat itu saya sampaikan salam dari Bogor, Pak Lukman Hakim.

Sekarang saya buka saja. “MOHON DO’A DAN DUKUNGANNYA. KALAU SAYA TERPILIH JADI PRESIDEN, ANDA AKAN SAYA JADIKAN MENTERI.”

Begitu ucapan Bapak seusai wawancara yang berlangsung di Menara Imperium Lantai 21 Jln. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Saya tidak meresponnya dan tidak gembira atas janji jabatan itu. Sebab, dari cerita Lukman Hakim, Bapak tidak bakal terpilih jadi Presiden.

Almarhum menceritakan kepada saya, bahwa Bapak sudah dinasihati agar tidak mencalonkan jadi presiden, karena bakal kalah. Jadi, Pak Kiai Lukman Hakim sudah tahu bapak kalah sebelum pilpres. Makanya, saya sebagai salah satu muridnya tidak terlalu tertarik akan janji atau tawaran yang Bapak sampaikan kepada saya.

4. Saya mengharapkan agar Bapak yang menjadi Menko Politik, Hukum dan Keamanan agar bijak dalam menanggapi situasi politik saat ini. Saya berharap Bapak benar-benar sebagai sosok yang membaktikan sisa hidup kepada agama, nusa dan bangsa; tidak berat sebelah.

5. Demikian surat terbuka ini saya sampaikan. Saya siap dikonfirmasi atas surat terbuka ini. Silahkan kontak saya di
0816854365.

Mohon maaf jika kurang berkenan. Ini saya sampaikan demi cinta saya terhadap Pancasila, NKRI dan agama saya Islam.

Wassalam.
Jakarta, 10 April 2019

Ttd
H.Mangarahon Dongoran