Andai Rakyat Dendam

Oleh : Iyan Nry

Sejak munculnya peristiwa penodaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) 27 Sep 2016, yang melahirkan gelombang protes umat Islam dan melahirkan gerakan 212 yang sedemikian fenomenal hingga menjadi perhatian dunia, hingga kini sumber persoalannya, yaitu ketidakadilan, tindakan represi, dan arogansi penegak hukum cq. Pemerintah tetap tidak mengalami perubahan, tidak berkurang malah semakin menggila.

Kita masih ingat bahwa gelombang protes umat Islam itu karena Pemerintah terkesan melindungi pelaku penistaan agama. Baru setelah unjuk rasa besar-besaran, pelaku akhirnya diganjar hukuman 2 tahun, itupun dengan perlakuan istimewa di Mako Brimob.

Pada masa-masa itu, Indonesia, kususnya umat Islam mencatat, bagaimana aparat polisi menghadang para santri Ciamis untuk hadir ke Jakarta pada 2 Desember 2016.

Penghadangan ini melahirkan longmarch bersejarah, Ciamis – Jakarta ditempuh dengan jalan kaki oleh para santri muda. Longmarch ini malah kian membakar semangat umat Islam di berbagai pelosok negeri.

Penghadangan di berbagai kota pun terjadi, termasuk ancaman aparat kepada pemilik perusahaan Bus PO Haryanto di Kudus, Jawa Tengah. Belum lagi penghadangan di jalan-jalan masuk ke Jakarta pada rombongan peserta 212.

Terakhir yang baru-baru ini terjadi, Polisi tetap lakukan hal yang sama di Solo, manakala ratusan masyarakat yang akan ikuti Tablig Akbar Persaudaran Alumni 212 dihadang Polisi sebelum memasuki kota Solo Minggu, 13 Januari 2019 kemarin.

Itu masih contoh kecil, dan toh meski dihadang di sana sini, tidak menyurutkan umat Islam untuk terus lakukan syiar kebenaran dan kalam Allah.

Kita juga mencatat, bersamaan dengan penghadangan itu, terjadi pula serangan fitnah, persekusi dan kriminalisasi terhadap sejumlah ulama, tokoh masyarakat, selebriti hingga rakyat biasa yang dipolisikan. Salah satu yang hingga saat ini belum jelas juntrungannya adalah kriminalisasi terhadap IB Habib Rizieq Shihab, Gus Nur, Ustad Alfian Tanjung dll.

Pengusiran, pelarangan ulama melakukan ceramah yang dilakukan oleh ormas tertentu dan terkesan didukung oleh aparat kepolisian terjadi di mana-mana. Masih ingat bagaimana ustadz Teungku Zulkarnain dikejar segerombolan orang bersenjata tajam di dalam bandara? Ustadz Abdul Somad dilarang berceramah di Jateng, dan penahanan Neno Warisman saat mau keluar Bandara Pakanbaru.

Perlakuan itu semua, katanya atas nama penegakan hukum. Bila ada pihak yang pro pemerintah lakukan pelaporan, Polisi dengan secepat kilat memproses. UU ITE, atau Pasal pencemaran nama baik dijadikan dasar Polisi lakukan proses hikum hingga penahanan. Tindakan ini tidak berlaku pada sebagian orang yang jelas-jelas telah melecehkan Islam atau menebar fitnah terhadap tokoh-tokoh umat, meski sudah dilaporkan sesuai dengan prosedur hukum.

Belum cukup dengan cara itu. Kita pernah dihebohkan oleh peristiwa penganiayaan dan pembunuhan ustadz dan ulama oleh orang yang disebut “tidak waras” alias gila! Karena dianggap gila, maka kasusnya ditutup dengan kegilaan pula.

Ketidak adilan tidak saja dipamerkan secara arogan oleh aparat penegak hukum, tetapi ketidakadilan ini rupanya merupakan karakter asli rezim ini.

Contoh, ketika pemerintah mengklaim mampu mengurangi angka pengangguran, diam-diam mereka meloloskan masuknya ratusan ribu TKA dari China. Ini adalah bentuk ketidak adilan, tepatnya pengkhianatan pada para pencari kerja.

Terhadap para petani ketidakadilan pun terjadi. Pemerintah ugal-ugalan membukakan kran import beras di saat mereka panen raya. Akibatnya para petani dirugikan. Komoditi yang diimport lainnya seperti garam dan gula juga kian menunjukkan bahwa rezim ini mengabaikan nasib orang kecil.

Ketidakadilan tidak saja tercermin pada soal perlakuan hukum dan ekonomi tetapi juga dalam hal politik. Contoh sederhana, Simbol dua jari, hampir saja menyeret Gubernur DKI Anies Baswedan ke penjara. Untungnya, publik segera berontak dengan merujuk tindakan tidak ‘senonoh’ Luhut Binsar Panjaitan dan para Gubernur acungkan simbol satu jari.

Rezim ini pula yang menggunakan kekuasaannya menghimpun media massa besar melakukan ‘serangan’ terhadap lawan-lawan politiknya. Media massa berubah wujud sebagai corong penguasa. Menyalahkan yang benar, membenarkan yang salah.

Semua perlakuan itu sudah direkam, dicatat dan diingat oleh kita yang diperlakukan tidak adil. Kita tidak bisa dendam kepada aparat kepolisian. Kita tidak bisa dendam pada semua ketimpangan kebijakan. Kita tidak bisa dendam pada rezim yang berkuasa.

Kita hanya bisa bicara, kita mungkin mampu protes dan kita sudah terbiasa berdemonstrasi, tetapi kita paham bahwa kekuasaan pasti ada akhirnya. Penderitaan ada ujungnya. Kegelapan akan digantikan oleh cahaya.

Rakyat tidak bisa dendam, yang paling bisa dikerjakan adalah mengakhiri kekuasaan rezim di 17 April 2019 nanti. Itulah cara terbaik. Biarlah sejarah yang menghukumnya, biarlah Allah yang mengganjar kejahatan mereka, di dunia dan di hari pembalasan kelak. Aamiin.

Jakarta, 16 Januari 2019.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News