Dalam menangani masalah hoax di Indonesia aparat kepolisian lebih arif menggunakan pendekatan restorative justice.
Demikian dikatakan Dewan Pakar ICMI Irjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo dalam pernyataan kepada suaranasional, Kamis (22/3).
Restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
“Apalagi penjara di Indonesia sudah over capacity, malu kita dengan dunia,” ungkap Anton.
Kata Anton, dengan pendekatan restorative justice dalam menangani hoax Polri tidak perlu kedepankan law enforcement cukup dengan pembinaan semua pihak, jangan pilih kasih dan tidak diskriminatif.
Anton mengatakan, hoax muncul saat ini ketika hubungan rezim dengan umat Islam kurang harmoni situasinya mirip tahun 57 sampai 60 pasca Rakernas ulama di palembang yang mengharamkan PKI hidup di Indonesia.
Rezim ketika itu marah juga muncul berbagai hoax menyudutkan umat Islam dan rezim malah buat kebijakan yang sangat bertentangan dengan aspirasi Islam yaitu pembentukan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom).
“Penangkapan-penangkapan ulama dan tokoh-tokoh pun berlangkung ketika itu dan kasus penistaan agama marak di mana-mana sehingga lahir SEMA64 disusul UU NO 1/65 tentang penistaan agama. Akhirnya meletus G30SPKI,” jelas Anton.