Pemilih dari DPTb tanpa Verifikasi Kartu Keluarga, Sangat Memungkinkan Kecurangan

Ilustrasi
Ilustrasi

Pemilih dari daftar pemilih tambahan (DPTb) tanpa verifikasi kartu keluarga (KK) sangat besar kemungkinan dilakukan kecurangan.

“Dapat dibayangkan angka DPtb yang melonjak lebih dari 300% (237.000 pemilih) dengan mudah melenggang memilih ke TPS tanpa kontrol atau verifikasi dari KK,” kata analis Politik UNJ, Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedilah Badrun kepada suaranasional, Selasa (11/4).

Kata Ubedilah, Di sela problem DPTb diatas pada  (15/3) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta menyatakan di media yang sama mengajukan permintaan 500.000 blanko kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) kepada Kementerian Dalam Negeri.

“Padahal menurut Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta hingga 5 Maret 2017, ada 59.911 warga Jakarta yang belum melakukan perekaman e-KTP dan yang sudah merekam tetapi belum mencetak e-KTP sebanyak 57.763 orang(data KPUD saat putaran pertama).

“Jadi permintaan 500.000 blanko e-KTP patut dipertanyakan,” kata Ubedillah.

Kata Ubedilah, permintaan blanko tersebut tidak berbasis pada data kebutuhan yang valid.

“Bisa saja blangko yang 500.000 itu jika sdh diberikan akan  disalahgunakan, siapa yang bisa mengontrol penggunaan blanko 500.000 tersebut?” tanya Ubedilah.  

Kata Ubedilah, karena DPTb tidak harus menunjukan KK saat memilih maka memproduksi e-KTP dari 500.000 blanko tersebut memungkinkan menjadi modus kecurangan dengan mudah untuk  ikut pemilu tanpa KK.

Ia berharap kelompok kritis independen ( civil society ) yang fokus pada masa depan demokrasi patut menyoroti soal DPTb yang boleh memilih tanpa Kartu Keluarga (KK) dan permintaan 500.000 blanko e-KTP yang tidak berbasis data kebutuhan yang valid ini.

“Kritik terhadap fakta tersebut penting agar pilkada DKI putaran final 19 April nanti benar-benar berkualitas menghadirkan demokrasi, bukan demokrasi yang bau busuk kecurangan,” pungkas Ubedilah.