Salah satu kader wanita Partai Keadilan Sejahtera, yakni Dwi Estiningsih dilaporkan Forum Komunikasi Anak Pejuang Republik Indonesia ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Rabu, 21 Desember 2016.
Dwi dilaporkan karena membuat cuitan di akun media sosial yang dianggap berbau kebencian dan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolong (SARA).
Menanggapi laporan dirinya ke polisi, Dwi menjawab santai. Dwi melihat laporan tersebut justru sebagai pintu menyikapi persoalan yang terjadi belakangan ini.
“Kalau perlu, saya bawa anak saya berusia 35 hari jika dipanggil kepolisian, tak masalah juga, perjuangan itu kan kapan pun dan di mana pun,” kata Dwi saat ditemui di rumahnya, Rabu (21/12/2016) seperti kami kutip dari tempo.
Dwi menambahkan, ia tak bisa menanggapi laporan itu lebih jauh. “Terkait tuduhan (ujaran kebencian) itu, saya tak bisa mencap pikiran banyak orang, terserah orang berpikir apa, kan? Saya tidak bisa mengontrol persepsi mereka,” ujar Dwi yang saat diwawancarai tengah menggendong anak bungsunya berusia 1 bulan.
Lewat akun Twitter-nya, @estiningsihdwi, Selasa, 20 Desember 2016, Dwi, 38 tahun, menulis, “Luar biasa, negeri mayoritas Islam ini, dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir #lelah’.
Selain itu, Cuitan Dwi lainnya juga disorot, seperti, “Iya sebagian kecil nonmuslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung saya belajar #sejarah.”
Cuitan Dwi itu menanggapi pecahan mata uang baru yang diluncurkan Bank Indonesia.
Dalam pecahan uang baru tersebut, terdapat gambar dari tokoh-tokoh nasional.
Alumnus S-1 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini menuturkan apa yang dilakukannya (di media sosial) hanya berupa bentuk perjuangan.
“Saya tak berjuang atas nama golongan, suku, dan agama, melainkan NKRI,” ujar istri Erlangga Winoto itu. Pengelola biro pendampingan psikologi dan sering menggandeng pemerintah dalam penanganan gelandangan itu mengatakan cuitannya menjadi polemik karena sikap kritis atas kegelisahan pada peristiwa yang belakangan terjadi.
Dwi membantah cuitannya ini terkait isu terakhir mengenai polemik agama, seperti dampak ucapan Gubernur DKI Jakarta nonaktif yang memicu Aksi Bela Islam I-III.
“Kalau mengikuti twit saya sejak beberapa tahun lalu, intinya saya hanya ingin mendudukkan persoalan pada tempatnya,” ucap dosen tidak tetap di sejumlah kampus swasta itu.
Dwi menilai, di media sosial yang semakin populer beberapa tahun terakhir ini banyak hal seharusnya bukan masalah menjadi masalah.
“Nah, kami ingin mendidik masyarakat, ini lho yang menjadi masalah itu. Ini yang bukan,” jelas calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY pada 2014 dari PKS yang tak lolos tersebut.
Sumber Tempo