Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik
Terpilihnya kepemimpinan baru Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menandai fase strategis dalam arah politik partai berbasis Islam ini. Dengan Mohamad Sohibul Iman sebagai Ketua Majelis Syuro, Al Muzzammil Yusuf sebagai Presiden PKS, Muhammad Kholid sebagai Sekjen, serta Noerhadi sebagai Bendahara Umum, tampak bahwa PKS sedang meneguhkan kembali jati dirinya sebagai partai dakwah yang ideologis namun tetap inklusif dan adaptif terhadap dinamika politik nasional.
Sosok Al Muzzammil Yusuf adalah figur yang mewakili spektrum ideologis dalam tubuh PKS. Ia bukan hanya dikenal luas sebagai legislator yang vokal, tetapi juga sebagai kader yang lama berkecimpung dalam pembinaan struktur kaderisasi dan gerakan dakwah politik PKS. Penunjukannya sebagai Presiden PKS menyiratkan keinginan Majelis Syuro untuk mengembalikan PKS ke corak “partai kader dakwah” sebagaimana dalam periode awal pascareformasi 1999.
Namun, berbeda dengan masa lalu yang cenderung eksklusif, PKS di bawah rezim baru menunjukkan kecenderungan melakukan pembaharuan internal. Regenerasi melalui perekrutan kader muda dan perluasan basis dukungan menjadi agenda utama. Muhammad Kholid, sang Sekjen baru, adalah representasi dari generasi muda PKS yang lebih terbuka terhadap perubahan zaman, teknologi informasi, serta pendekatan komunikasi politik yang lebih cair dan populis.
Salah satu kekuatan PKS dalam dua dekade terakhir adalah kemampuannya mempertahankan posisi sebagai partai oposisi yang konsisten, tetapi tidak ekstrem. Dalam konteks pemerintahan Prabowo-Gibran yang tengah berjalan, PKS tampaknya akan mengambil posisi sebagai “mitra kritis” — tidak serta-merta menolak seluruh kebijakan pemerintah, tetapi aktif memberikan alternatif kebijakan berbasis prinsip keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas.
Sebagai contoh, dalam isu lingkungan dan keadilan sosial, PKS berpotensi menjadi satu dari sedikit partai yang konsisten menyoroti dampak pembangunan infrastruktur terhadap rakyat kecil. Sementara partai lain cenderung pragmatis dan transaksional, PKS justru bisa membangun diferensiasi politik berbasis moralitas publik dan narasi pembelaan terhadap kaum mustadh’afin (kelompok lemah).
Duet Sohibul Iman dan Al Muzzammil Yusuf memiliki potensi unik. Sohibul Iman, dengan latar belakang akademis dan teknokratiknya, mampu menyediakan kerangka pikir strategis dan rasional. Sementara Al Muzzammil Yusuf, dengan karakter ideologis dan komunikatif, dapat menggerakkan mesin partai secara lebih efektif ke akar rumput. Kombinasi ini akan menentukan wajah PKS lima tahun ke depan: partai yang berpijak pada prinsip namun gesit dalam beradaptasi dengan kebutuhan politik elektoral.
Majelis Syuro sebagai lembaga tertinggi dalam struktur PKS juga menunjukkan bahwa arah partai tetap dikendalikan oleh pertimbangan ideologis jangka panjang, bukan sekadar manuver elektoral jangka pendek. Dalam konteks ini, Sohibul Iman berperan sebagai penjaga gerbang ideologis agar PKS tidak tergelincir menjadi partai populis tanpa nilai.
Salah satu tantangan besar PKS adalah memperluas basis massa di luar komunitas konservatif muslim perkotaan. Untuk itu, penting bagi rezim baru ini untuk terus memperkuat program pembinaan kader, memperluas sayap dakwah di kalangan milenial dan Gen-Z, serta mengadopsi pendekatan-pendekatan digital yang relevan dengan perubahan zaman.
PKS juga dituntut untuk lebih terbuka dalam isu-isu kebangsaan yang sifatnya inklusif, seperti toleransi beragama, keadilan gender, dan ekonomi hijau. Pendekatan moderat-ideologis menjadi kata kunci agar PKS tidak hanya menjadi partai “niche”, tetapi juga mampu bersaing di tingkat nasional secara lebih luas.
PKS saat ini berada di titik penting dalam sejarah perjalanannya: antara konsistensi ideologis dan tuntutan adaptasi politik. Rezim baru di bawah Al Muzzammil Yusuf dan Sohibul Iman tampak mencoba mengintegrasikan keduanya — menjadikan PKS tetap sebagai partai dakwah, tetapi dengan pendekatan yang lebih strategis dan regeneratif.
Sebagai mitra kritis pemerintah, PKS dapat memainkan peran konstruktif dalam demokrasi Indonesia. Kekuatan internalnya dalam hal struktur kader, ideologi yang jelas, serta kemampuan komunikasi politik yang semakin membaik, menjadikan PKS salah satu partai yang layak diperhitungkan dalam kontestasi politik ke depan.
Namun, keberhasilan ini tentu sangat ditentukan oleh kemampuan elite barunya dalam menjaga keseimbangan antara idealisme dan realisme politik. Bila berhasil, PKS bisa menjadi model partai modern berideologi Islam yang tidak hanya survive, tetapi juga menjadi aktor penting dalam transformasi politik nasional.