Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan anggaran yang cukup besar yaitu Rp146 miliar untuk ikut serta dalam pameran buku Frankfurt di Jerman.
Pemilik akun Wilson Sitoris @wilsonsitorus mempertanyakan penggunaan anggaran termasuk tender. “Saya tabayyun, jangan dimarah. Anggaran Frankfut itu ditender gak? Saya cari di LPSE gak nemu, mungkin saya yg kurang telaten mencari,” kicau Wilson.
Sastrawan Indonesia Goenawan Mohamad sebagai selaku ketua Panitai mengatakan, Pameran buku Frankfut dari Indonesia ada pameran naskah kuno, arsitektur, fotografi, festival film, pertunjukan seni tradisi dan kontemporer, serta acara seminar tentang perkembangan peradaban Indonesia.
“Kami juga akan memamerkan karya instalasi bambu dari Joko Dwi Avianto, fotografi oleh Oscar Matuloh, tarian oleh Eko Supriyanto, serta karya mural,” ucap Goenawan.
Sastrawan AS Laksana mengkritik acara tersebut. Kata AS Laksana di akun Facebook-nya, tema yang diusung Indonesia sebagai tamu kehormatan adalah “17.000 Islands of Imagination”.
“Alih-alih memperkenalkan keberagaman tema karya sastra Indonesia atau mempromosikan imajinasi dari “17.000 pulau”, panitia Indonesia justru menyempitkan imajinasi dan menyelewengkannya ke peristiwa 1965 sebagai tema utama bayangan,” ungkap AS Laksana.
Kata AS Laksana, katakanlah kita tidak berkeberatan karya bertema 1965 itu diselundupkan ke panggung utama dan dijadikan salah satu tema penting, tetapi kita juga bisa menyikapinya secara lebih kritis.
“Ada sejumlah penulis lain yang menulis novel dengan tema tersebut, dan beberapa dari mereka adalah korban atau keluarga korban, kenapa mereka tidak mendapatkan tempat dan tidak diperkenalkan kepada publik di Jerman? Saya tahu Ahmad Tohari dihadirkan juga, karena Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mengangkat tema 1965, Leila S. Chudori juga menulis novel dengan tema itu dan dibicarakan, tetapi tetap Laksmi Pamuntjak yang diarak sebagai bintang utama. Leila S. Chudori hanya figuran, di samping figuran-figuran lainnya termasuk Ahmad Tohari,” jelas AS Laksana.
Dalam hal ini, menurut AS Laksana, Laksmi menjadi bintang utama hanya karena ia menulis novel bertema 1965—tanpa mempertimbangkan mutu karyanya.