Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Suatu hari di tengah panasnya kontestasi cagub-cawagub dalam pilgub DKI Jakarta 2017, saya berdebat dengan sepupu-sepupu saya yang semuanya berpendidikan tinggi.
Saya pendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, mereka pendukung fanatik gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yg berpasangan dgn Djarot Saiful Hidayat.
Dulu, dalam pilpres 2014, saya juga berselisih dengan mereka. Saya pendukung Prabowo-Hatta Rajasa, mereka mendukung kubu Jokowi-JK di mana Anies adalah juru bicara tim pemenangannya.
Salah satu puteri dari sepupu saya tergabung dlm Gerakan Indonesia Mengajar — LSM yg didirikan Anies untuk memajukan bangsanya — yang dikirim ke Desa Serui di pelosok Papua untuk mengajar di sana selama setahun. Anies jadi pujaan mereka waktu itu.
Bukan main terkejutnya saya ketika mereka mengatakan tak lagi bersimpati pada Anies krn faktor kinerja dan inovasinya. “Anies tak bisa kerja!” Kata mereka tanpa perasaan bersalah. Ini terkait dengan pemecatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dari kabinet Indonesia Maju (2014-2019).
Saya sulit menangkis serangan mereka karena informasi yang beredar luas menyatakan seperti itu: “Anies tak bisa kerja!”. Anies sendiri bersikap pasif dengan situasi menyakitkan yang dihadapinya saat itu, sehingga seolah mengkonfirmasi berita tersebut, yang seluruhnya berasal dari pemerintah.
Sampai pada waktu itu, Jokowi adalah media-darling. Dus, pemecatan Anies dianggap wajar karena Jokowi juga mengatakan Anies tak cukup cekatan dan lamban dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya.
Rasa penasaran saya terkait kasus Anies ini baru terjawab belakangan setelah saya babak belur dihajar empat sepupu saya itu. Ternyata, pemecatan itu berhubungan dengan upaya Anies menyelamatkan uang rakyat sebesar Rp 23 triliun yang akan dijadikan bancakan rezim korup Jokowi.
Kebetulan Jokowi juga ingin mendapat dukungan Muhammadiyah sehingga portfolio itu diberikan kepada Muhadjir Effendy, salah satu tokoh ormas itu. Tapi saya hanya bisa berdoa semoga sepupu-sepupu saya itu berkesempatan membaca berita ini.
Kini kami sudah berdamai. Pada 4 Februari lalu, kami pergi bersama menonton Konser Dewa 19 bertajuk “Konser Pesta Rakyat 30 Tahun Berkarya Dewa 19” di Jakarta International Stadium (JIS), stadion terbesar kelima di Asia dengan sejumlah fasilitas modern hasil karya Anies.
Kendati sudah sangat lama direncanakan oleh empat gubernur sebelumnya, baru pd era Anies (gubernur ke-5) mimpi Jakarta punya stadion megah karya anak bangsa terealisasikan.
JIS bukan objek mati. Ia bernarasi tentang kemajuan, teknologi tinggi yang digunakan, tingkat peradaban, cita rasa seni yang tinggi, dan hasrat bersaing Indonesia dengan kemajuan yang telah diraih bangsa lain. Artinya, JIS bercerita tentang keseluruhan Indonesia masa kini.
Kapasitas JIS mampu menampung 82.000 penonton. Dengan kapasitas sebanyak itu, JIS menjadi salah satu stadion termegah di dunia. Berdasarkan laporan Daily Mail, 20 Februari 2021, stadion ini masuk dalam 10 stadion termegah di dunia.
Pada minggu ke-100 sejak pembangunannya dimulai, Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) menganugerahkan tiga kategori rekor kepada JIS: Lifting Struktur Atap dengan Bobot Terberat, Stadion Pertama yg menggunakan Sistem Atap Buka-Tutup, dan Stadion Green Building dengan sertifikasi Platinum Pertama.
Luas JIS 300 ribu meter, tinggi 70 meter. Ini termasuk stadion pertama di Indonesia yg dibangun dengan konsep keberkelanjutan (sustainability). Karena itu, pantas kalau mendapat sertifikasi “Green Building Grade Platinum”.
Rumput stadion utama dan lapangan latihnya menggunakan “hybrid turf” sesuai standar FIFA, yang bisa menyerap air lebig banyak. Karena itu, JIS bisa digunakan hingga 1.000 jam pertandingan. Kelebihan lainnya, JIS memfasilitasi tempat duduk khusus bagi penyandang disabilitas. Sementara UMKM diberi ruang untuk tumbuh-kembang di sekitar stadion ini. Artinya, JIS jugq merepresentasikan pandangan Anies tentang perwujudan keadilan sosial di semua aspek kehidupan masyarakat.
Dalam perjalanan pulang menonton, saya melihat raut wajah sepupu-sepupu saya tersenyum simpul ketika menatap saya. “Anies tak bisa kerja?” tanya saya. Serempak mereka menjawab, “tak usah bahas itu” sambil menyembunyikan wajah mereka.
Sesungguhnya mereka telah berubah sejak beberapa waktu terakhir. “Ternyata Anies bisa kerja kan!?” tanya saya menggoda. “Tolong jangan tanya yang seperti ini lagi. Kami sangat tertekan.” Lalu, mereka menanyakan saya apa yang bisa mereka lakukan untuk memenangkan Anies dalam pilpres mendatang. “Memperlakukan Anies secara proporsional saja sudah cukup. Biar kita bisa menjadi lilin kecil dalam kegelapan bangsa hari ini.”
Tangsel, 2 April 2023