Negeri Para Pendatang dan Prajurit Badut Temenggung

Oleh: Firman Tendry Masengi

Di sebuah negeri yang mengaku merdeka namun hidup sebagai tanah jajahan dalam bentuk baru, para pendatang dan para adipati berdiri di puncak kekuasaan seperti dewa-dewa palsu yang mengatur nasib manusia dengan gulungan kertas, angka investasi, dan peta-peta tanah yang mereka beli dengan harga yang bahkan tidak cukup untuk membeli kehormatan seekor kucing kampung. Mereka datang bukan dengan kapal perang atau meriam, tetapi dengan kontrak dan senyuman yang licik. Mereka tidak lagi membutuhkan invasi; mereka hanya membutuhkan presentasi bisnis untuk menaklukkan negeri. Dan negeri itu, sialnya, tunduk begitu saja.

Tanah-tanah pribumi yang dulu dijaga dengan doa dan darah dijual paksa dengan ancaman yang dibungkus bahasa manis: pembangunan, progres, national interest. Pribumi dipaksa menandatangani surat penyerahan tanah sambil berhadapan dengan prajurit dan temenggung yang berdiri tegak membawa wajah tanpa emosi—wajah yang tidak mengenal rasa malu karena tugas mereka adalah mengamankan kekuasaan, bukan kebenaran. Tanah warisan leluhur dilepas bukan karena rela, tetapi karena takut. Dan tanah yang dilepas bukan sekadar petak bumi, tetapi bagian tubuh mereka sendiri yang dicabut paksa oleh tangan asing yang terlalu yakin bahwa mereka lebih layak memiliki dunia ini.

Hutan-hutan yang dulu menjadi nadi kehidupan pribumi kini dibuka seperti luka purba yang disayat berulang-ulang. Pohon-pohon yang hidup dua abad tumbang dalam dua menit. Sungai-sungai yang menjadi rahim kehidupan berubah menjadi air berwarna logam. Rahasia bumi dicuri, diangkut, dijual; dan negeri itu bangga menyebutnya ekspor. Para pendatang tertawa sambil menyeka keringat sukses, sementara pribumi menangis sambil mengumpulkan serpihan kehidupan yang tidak bisa utuh kembali.

Dan setelah tanah hilang, hutan hilang, air hilang, takdir pun ikut hilang. Pribumi terlempar menjadi buruh di tanah yang dulu mereka sebut rumah. Mereka bekerja di toko-toko kelontong milik pendatang, berdiri seperti patung, digaji secuil, dimarahi sesekali, dipuji hanya jika diperlukan sebagai bumbu propaganda hidup rukun. Di ladang, mereka bekerja bukan sebagai petani tetapi sebagai buruh tani tak bertanah, menggarap lahan yang dulu merupakan nadi keluarga mereka sementara upahnya hanya cukup untuk makan layak sekali untuk tiga hari. Mereka seperti manusia yang dijadikan mesin, yang makanannya semakin hari semakin dihemat, seakan tubuh mereka tidak lagi memiliki hak untuk hidup.

Baca juga:  Drama Manipulasi Purbaya: Persekongkolan Jokowi & Luhut

Pendidikan, yang seharusnya menjadi tangga pembebasan, berubah menjadi penjara biaya. Orang tua bekerja seperti budak zaman modern, menjual apa saja, menggadaikan apa saja, bahkan menggadaikan harga diri mereka sendiri, hanya agar anaknya bisa duduk di bangku sekolah. Ironisnya, setelah bertahun-tahun berutang demi pendidikan, anak-anak itu kembali menjadi buruh toko, buruh sawah, buruh pabrik, atau pengangguran bergelar. Pendidikan dijadikan mesin pembuat penurut, bukan pembuat merdeka. Negeri itu mencetak generasi yang patuh, bukan generasi yang bertanya.

Di saat pribumi terus dihimpit sampai kehilangan suara, kehidupan para pendatang dan adipati berlangsung seperti dongeng: pesta cahaya di rumah mewah, makan malam dengan anggur yang harganya sama dengan sebulan upah buruh, perbincangan santai tentang sustainability sambil menghitung keuntungan dari hutan yang baru saja mereka habisi. Para prajurit berjaga mengelilingi istana mereka, bukan untuk melindungi negeri, tetapi untuk memastikan pribumi tidak mendekat atau bertanya terlalu keras.

Sementara itu, di sudut-sudut kampung, pribumi makan nasi keras dengan garam, tidur di tikar tipis, dan bangun dengan ketakutan yang sama setiap pagi: ketakutan bahwa besok mungkin rumah mereka digusur, atau tanah mereka diambil, atau anak mereka putus sekolah. Mereka hidup dalam dunia yang semakin menyempit, sementara dunia para pendatang semakin luas, semakin terang, semakin tak tersentuh.

Baca juga:  Mengapa Rakyat Bisa Marah Pada Penguasa

Dan negeri itu, dengan wajah tanpa malu, masih berani menyebut dirinya merdeka. Merdeka dari siapa? Dari penjajah fisik, mungkin. Tapi kini mereka diperintah oleh penjajahan yang jauh lebih canggih: penjajahan ideologi, penjajahan ekonomi, penjajahan bahasa, penjajahan cara berpikir. Penjajahan yang tidak membutuhkan peluru karena sudah menemukan senjata yang lebih efektif: kemiskinan, utang, hukum yang bias, aparat yang buta, pendidikan yang mahal, informasi yang dikendalikan.

Namun ketahuilah: dalam dada pribumi terdapat satu-satunya hal yang belum bisa dijarah—kemarahan. Kemarahan yang panasnya melebihi hutan yang terbakar. Kemarahan yang tidak padam meskipun mereka lapar. Kemarahan yang tumbuh seperti api kecil di dalam perut bumi yang menunggu saat untuk meledak. Para adipati tidak peduli, pendatang menertawakan, prajurit merasa aman, temenggung merasa kuat—tapi sejarah selalu membuktikan bahwa tidak ada kekuasaan yang kokoh di atas tanah yang dirampas dan perut yang kosong.

Karena suatu hari, ketika ketidakadilan terlalu pekat, ketika udara sudah berbau busuk oleh kebohongan dan keserakahan, ketika pribumi sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan selain keberanian, maka yang lahir bukan lagi keluhan… tetapi perlawanan. Bukan lagi tangisan… tetapi tuntutan. Bukan lagi pasrah… tetapi keputusan. Dan negeri itu akhirnya akan dihadapkan pada pertanyaan yang tidak bisa ditunda lagi: berapa lama ia bisa berdiri dengan pondasi yang terbuat dari tubuh rakyatnya sendiri?

Jika negeri ini tidak berubah, maka negeri ini akan diubah—oleh tangan mereka yang selama ini digilas oleh mesin-mesin kekuasaan.

Dan saat hari itu tiba, pendatang dan adipati mungkin baru sadar bahwa sebuah bangsa bisa bersabar sangat lama, tetapi tidak selamanya tunduk. Karena bahkan tanah yang dirampas pun akan membalas ketika darah ketidakadilan menetes terlalu lama di atasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News