Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik
Gelombang pemberitaan mengenai pencekalan Victor Rachmat Hartono sejak 14 November 2025 kembali membuka ingatan kolektif bangsa tentang luka lama: rapuhnya sistem fiskal Indonesia. Ia dicegah bepergian ke luar negeri oleh Kejaksaan Agung sebagai bagian dari penyidikan dugaan manipulasi kewajiban pajak perusahaan pada periode 2016–2020—kasus yang diduga melibatkan pemufakatan antara pihak korporasi dan oknum pegawai pajak untuk memperkecil beban fiskal melalui suap dan gratifikasi.
Penyidikan masih berjalan dan asas praduga tak bersalah tetap berlaku. Namun ironi ini sulit diabaikan: ketika banyak pelaku usaha kecil membayar pajak tanpa ruang tawar, sebagian perusahaan besar justru dituduh menari lincah memanfaatkan celah sistem demi menghindari kewajiban yang harusnya mereka pikul demi keadilan fiskal.
Kasus ini bukanlah anomali. Dua dekade terakhir, Indonesia berulang kali diguncang skandal serupa dengan pola yang nyaris identik: kolaborasi gelap antara pemilik modal dan pejabat birokrasi untuk memanipulasi kewajiban fiskal negara. Kasus Gayus Tambunan menjadi simbol paling kelam, menunjukkan bagaimana seorang pegawai pajak mampu mengatur hasil pemeriksaan, mengalirkan suap, hingga membangun jaringan korporatif demi keuntungan pribadi dan perusahaan tertentu. Skandal itu menegaskan bahwa masalah bukan hanya perilaku oknum, tetapi juga struktur birokrasi dan sistem pengawasan yang memberi ruang bagi praktik rent-seeking merajalela di institusi yang seharusnya menjaga keadilan fiskal.
Polanya selalu sama: hubungan tersembunyi antara pemilik modal dan pejabat, negosiasi angka pajak yang semestinya objektif berubah menjadi transaksi personal, serta sistem audit yang selalu tertinggal selangkah dibanding kelicikan para pelakunya. Ketika transparansi tak dipupuk, pengawasan mandek, dan kekuasaan ekonomi berkelindan dengan kekuasaan administratif, celah hukum berubah menjadi terowongan gelap tempat menguapnya penerimaan negara.
Skandal-skandal besar lain dalam sektor energi dan pertambangan—termasuk penyimpangan fiskal yang menyeret nama PT Pertamina pada periode 2018–2023—menunjukkan bagaimana korporasi raksasa memiliki kekuatan teknis dan politik yang mampu menaklukkan mekanisme pengawasan reguler. Kompleksitas struktur perusahaan, jaringan perantara, konsultan pajak, hingga kerahasiaan transaksi lintas negara menjadikan manipulasi fiskal sebagai praktik canggih yang sulit dibuktikan tanpa investigasi jangka panjang dan kapasitas penegakan hukum yang mumpuni.
Pada titik inilah penyidikan terhadap Victor Hartono menjadi penting. Bukan karena figur atau besarnya nama keluarga, melainkan karena kasus ini bisa menjadi ujian kedewasaan hukum Indonesia. Jika penyidikan berhenti pada individu, tanpa menyentuh jejaring korporasi dan aktor institusional, maka sejarah akan kembali berulang: drama hukum kembali dipertontonkan tanpa perubahan struktural. Namun bila penegakan hukum berani menyentuh keseluruhan mata rantai, dari perusahaan hingga oknum pejabat regulator, kasus ini dapat menjadi preseden reformasi perpajakan yang selama ini hanya menjadi jargon politik.
Korupsi fiskal bukan sekadar tindakan kriminal; ia adalah bentuk ketidakadilan ekonomi dan luka sosial. Negara kehilangan triliunan rupiah setiap tahun akibat tax evasion, rekayasa laporan keuangan, dan kesepakatan ilegal. Sementara itu, rakyat menanggung dampaknya: anggaran pendidikan yang cekak, layanan kesehatan yang timpang, dan pembangunan infrastruktur dasar yang berjalan lambat. Ketimpangan melebar ketika korporasi besar bebas bermain angka, sedangkan pedagang kecil dan pekerja bergaji tetap harus membayar pajak penuh tanpa ruang negosiasi.
Sistem perpajakan yang adil hanya dapat terwujud bila pengawasan independen diperkuat, transparansi diperluas, digitalisasi fiskal dipercepat, serta perlindungan bagi whistleblower dijamin. Penegakan hukum harus bergerak dari simbolisme menuju kerja investigatif berbasis data yang melibatkan masyarakat sipil. Publik berhak tahu ke mana larinya uang yang semestinya menjadi milik negara. Reformasi perpajakan tidak boleh lagi menjadi proyek politis yang hanya hangat di retorika.
Akhirnya, kasus Victor Hartono—seperti kasus Gayus dan skandal korporasi lainnya—mengajarkan satu hal: keadilan fiskal adalah fondasi negara yang sehat. Ketika pajak dikorupsi, masa depan dicuri. Ketika kepercayaan publik runtuh, institusi tumbang sebelum sempat diperbaiki. Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan apakah bangsa ini cukup berani memutus mata rantai panjang antara modal dan kekuasaan.
Di atas meja penyidikan hari ini, berdiri bukan hanya nasib satu orang atau satu perusahaan, tetapi juga kredibilitas hukum, martabat publik, dan keyakinan bahwa negara bukan panggung sandiwara bagi yang paling berkuasa. Jika penyidikan ini berakhir setengah hati, generasi mendatang akan mewarisi siklus yang sama. Namun jika keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, mungkin untuk pertama kalinya, sejarah bisa berubah arah—dan suara sunyi rakyat yang membayar pajak dengan jujur akhirnya terdengar.




