Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan sosial
Lebih dari satu abad lalu, Saijah berjalan dengan penuh harapan pulang ke kampung halamannya, Badur, setelah tiga tahun bekerja di Batavia. Di tangannya ada tiga puluh mata uang Spanyol, keris bergagang kemuning, dan ikat pinggang perak berhias emas yang ia niatkan untuk melamar kekasihnya, Adinda. Tapi yang ia temui bukan senyuman dan pelukan, melainkan sunyi dan luka.
Adinda tak ada. Ibunya meninggal karena duka setelah kerbau satu-satunya dirampas kepala distrik karena tak mampu bayar pajak. Adiknya mati karena kelaparan. Ayahnya menghilang ke hutan, melarikan diri dari ketakutan akan hukuman kolonial. Semua karena satu hal: pungutan yang disebut pajak.
Kisah tragis Saijah dan Adinda dalam novel Max Havelaar (1860) adalah fiksi yang ditulis Eduard Douwes Dekker, atau yang dikenal sebagai Multatuli. Tapi fiksi itu berakar kuat pada realitas. Ia merupakan bentuk protes terhadap sistem kolonial yang membebani rakyat kecil melalui pajak yang tidak adil, dan sekaligus menjadi kritik tajam terhadap para pejabat pribumi yang menindas rakyatnya demi kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Wacana pajak dalam sejarah Indonesia selalu memiliki dua sisi: sebagai alat pembangunan, dan sebagai alat kekuasaan. Di era kolonial, pajak tanah menjadi senjata politik dan ekonomi untuk menjinakkan rakyat sambil mengeruk kekayaan mereka. Di masa feodalisme pribumi, para bangsawan dan pejabat lokal justru menjadi perpanjangan tangan penindasan, dengan mengenakan pajak lebih dari yang seharusnya, lalu menyimpannya untuk diri mereka sendiri.
Kini, di era negara merdeka, pajak tentu bukan lagi alat penjajahan. Ia merupakan tulang punggung utama pembiayaan negara. Sekitar 80% dari pendapatan negara berasal dari sektor pajak. Dari sanalah dibayar gaji guru, pembangunan jalan, subsidi kesehatan, dan program perlindungan sosial lainnya.
Namun pergeseran fungsi itu tidak serta-merta menjadikan sistem perpajakan kita bebas dari problem. Justru dalam beberapa tahun terakhir, pertanyaan-pertanyaan lama tentang keadilan fiskal, efisiensi sistem, dan keberpihakan pada rakyat kembali mengemuka.
Per 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Ini adalah bagian dari strategi jangka panjang konsolidasi fiskal pascapandemi COVID-19. Pemerintah menilai kenaikan ini perlu untuk menambal defisit anggaran dan membiayai program-program strategis nasional.
Namun di lapangan, rakyat kecil merasakan beban langsungnya. Harga kebutuhan pokok naik perlahan tapi pasti. Barang konsumsi sehari-hari—sembako, perlengkapan sekolah, transportasi—semuanya ikut terdampak. Pedagang pasar, buruh harian, pekerja informal dan UMKM—semuanya terdorong ke tepi krisis.
“Modal saya makin kecil. Barang lebih mahal, tapi pelanggan menawar lebih keras,” kata Sarmi, penjual sayur keliling di daerah Subang. “Yang susah itu bukan cuma kami, tapi juga pembeli. Semua serba mahal.”
Kondisi ini diperparah oleh lesunya daya beli masyarakat. Data dari BPS pada kuartal pertama 2025 menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 3,1%, lebih rendah dari target pemerintah yang di atas 4,5%. Artinya, masyarakat menahan belanja—karena tekanan ekonomi, dan juga karena ketidakpastian.
Di tengah semua ini, publik menyaksikan paradoks: rakyat kecil dipaksa patuh, sementara kalangan elit justru kerap bisa lolos dari jeratan pajak. Kita tentu belum lupa kasus penggelapan pajak yang menyeret pejabat di Direktorat Jenderal Pajak tahun lalu. Atau kontroversi gaya hidup mewah keluarga pejabat pajak yang viral di media sosial. Kasus demi kasus ini menambah jarak psikologis antara rakyat dengan institusi perpajakan. “Kalau yang kecil disisir, yang besar kok malah lolos?” begitu suara umum di warung dan media sosial.
Masalah ketimpangan ini juga terjadi secara struktural. Studi dari Lembaga Riset Tax Justice Network menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan “tax gap” terbesar di Asia Tenggara: selisih antara potensi pajak dan realisasi yang dikumpulkan mencapai 30–40%. Salah satu penyebab utamanya adalah penghindaran pajak oleh korporasi besar dan individu kaya, melalui celah hukum dan praktik transfer pricing.
Pemerintah telah meluncurkan kebijakan integrasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), yang secara resmi berlaku sejak 1 Juli 2024. Tujuannya adalah menyederhanakan sistem, meningkatkan basis pajak, dan menekan kebocoran.
Namun langkah ini juga mengundang kekhawatiran. Di satu sisi, digitalisasi pajak dapat meningkatkan efisiensi dan memperluas kepatuhan. Tapi di sisi lain, ia membuka risiko pengawasan yang berlebihan terhadap masyarakat kecil, yang kini tidak bisa lagi “luput” dari sistem, sementara celah besar untuk penghindaran pajak oleh kelompok elit belum sepenuhnya ditutup.
“Masalahnya bukan digitalisasi, tapi ketimpangan dalam penerapannya,” ujar Wahyu Triandika, peneliti kebijakan fiskal dari INDEF. “Kalau rakyat kecil disasar karena datanya rapi, sementara konglomerat bisa sembunyi lewat offshore, maka keadilan pajak jadi ilusi.”
Apa yang terjadi pada Saijah dan Adinda barangkali terasa jauh dari konteks hari ini. Tapi esensi ceritanya tetap hidup: bahwa pungutan atas nama negara bisa menghancurkan jika dijalankan tanpa rasa keadilan. Bahwa rakyat kecil bisa jadi korban pertama dari sistem yang lebih mementingkan angka ketimbang manusia.
Pajak memang mutlak dibutuhkan untuk membangun negara. Tapi ia juga menuntut legitimasi moral. Rakyat akan patuh jika mereka merasa diperlakukan adil, dilibatkan, dan dihargai. Sebaliknya, pemaksaan tanpa empati hanya akan menciptakan ketidakpercayaan, bahkan perlawanan diam-diam.
Sejarah menunjukkan bahwa ketimpangan dalam perpajakan bisa menjadi pemicu ketidakstabilan sosial. Di Prancis, pajak yang membebani petani memicu Revolusi 1789. Di India, kebijakan pajak garam melahirkan Gerakan Salt March Gandhi. Dan di Indonesia, seperti ditulis Multatuli, kerbau yang dirampas bisa menyalakan api pemberontakan.
Kini, tanggung jawab ada di tangan para pembuat kebijakan. Modernisasi pajak harus diiringi dengan reformasi struktural dan pendekatan yang adil. Keteladanan dari atas mutlak diperlukan. Penindakan terhadap pengemplang besar harus dipercepat. Dan penggunaan pajak harus transparan dan terasa langsung oleh rakyat.
Jika tidak, kisah Saijah akan terus hidup—bukan sebagai kenangan sejarah, tapi sebagai cermin masa kini. Ketika pungutan menjadi penindasan, dan ketika suara rakyat kecil kembali tak terdengar di meja-meja kekuasaan.
Multatuli pernah bertanya, “Siapa yang akan menghukum pejabat yang menjual keadilan demi keuntungan pribadi?”
Hari ini, kita harus menjawab: dengan hukum, dengan empati, dan dengan keberanian untuk menata ulang cara kita memungut dan membelanjakan uang rakyat. Sebab luka Saijah belum benar-benar sembuh—ia hanya berubah wujud.