MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Pengamat: Keputusan Bias dan Menabrak UUD 1945

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil menuai kritik tajam. Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai putusan tersebut bias, keliru membaca konstitusi, dan berpotensi mengganggu stabilitas tata kelola pemerintahan dan keamanan nasional.

Putusan MK tersebut menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat mengisi jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun, sehingga mengakhiri praktik penugasan lintas instansi yang selama ini menjadi dasar pengisian berbagai posisi strategis oleh perwira Polri.

Amir menegaskan bahwa UUD 1945 tidak pernah melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil. Ia menyebut MK masuk ke wilayah tafsir yang tidak didasarkan pada teks dasar konstitusi.

“Konstitusi hanya mengatur fungsi Polri, bukan membatasi posisi administratif anggotanya. Tidak ada satu pun pasal UUD 1945 yang melarang polisi menduduki jabatan sipil,” tegas Amir, Sabtu (15/11/2025)

Ia merinci Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur fungsi dasar Polri: menjaga keamanan, ketertiban, melindungi, mengayomi, dan menegakkan hukum.

Tidak ada larangan konstitusional bagi anggota Polri untuk menjalankan jabatan administratif di pemerintahan.

Menurutnya, MK telah menafsirkan konstitusi secara melebar dan tidak proporsional.

Amir menjelaskan bahwa pembedaan tegas antara TNI dan Polri sudah diatur dalam UUD dan undang-undang sektoral.

Baca juga:  Indonesia Berduka: Majelis Kehormatan MK Menjadi Penjaga Kehormatan Anwar Usman

1. TNI dilarang berpolitik praktis serta menduduki jabatan sipil.

2. Polri tidak memiliki larangan serupa, karena secara fungsi dipisahkan dari militer sejak reformasi.

“Ketika MK menyamakan Polri dengan TNI dalam konteks larangan jabatan sipil, itu bertentangan dengan desain reformasi sektor keamanan,” ujar Amir.

Dalam analisis hukumnya, Amir menekankan bahwa UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri jelas memberikan ruang bagi anggotanya untuk bertugas di luar kepolisian.

Pasal 28 ayat (3) memang mensyaratkan pengunduran diri, namun aturan turunannya—PP, Perkap, dan regulasi ASN—mengatur dua mekanisme legal:

1. Penugasan negara (tugas khusus)

2. Alih status menjadi ASN

Kedua mekanisme ini digunakan selama bertahun-tahun dan diterima negara tanpa masalah konstitusional.

Karena itu, Amir menyebut putusan MK memutus kesinambungan hukum positif yang sudah berjalan lama.

“Jika praktik ini melanggar UUD, tentu sudah dibatalkan sejak lama. Faktanya, negara justru menguatkannya melalui regulasi dan kebijakan lintas instansi,” kata Amir.

Putusan MK akan berdampak pada banyak lembaga yang selama ini mengandalkan penugasan anggota Polri aktif: KPK (penyidik Polri), BNN
imigrasi dan pemasyarakatan, Basarnas, BSSN, Pemerintah daerah (staf ahli)

Jika seluruh perwira aktif harus kembali ke Mabes Polri atau mundur total, maka: rantai koordinasi terputus, kecepatan penanganan kasus menurun, dan keamanan nasional terganggu, khususnya terkait narkotika, terorisme, dan kejahatan terorganisir.

Amir menilai putusan MK tidak mempertimbangkan aspek intelijen dan keamanan nasional.

Baca juga:  Berikan Abolisi ke Tom Lembong dan Amnesti untuk Hasto, Pengamat: Prabowo Jalankan Politik Tiki-Taka Kunci Jokowi

Beberapa konsekuensi strategis yang ia sebutkan:

1. Hilangnya Kapasitas Operasional Lintas Lembaga

Posisi yang selama ini diisi oleh perwira berpengalaman akan kosong mendadak.

“Jejaring intelijen, koordinasi cepat, dan alur informasi yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam semalam.”

2. Mengganggu Penanganan Kejahatan Strategis

Kasus narkotika, human trafficking, dan cybercrime sangat bergantung pada integrasi data dan SDM Polri.

3. Potensi Kekosongan Kepemimpinan di Lembaga Teknis

Beberapa lembaga mengandalkan SDM Polri karena kompetensi teknis keamanan mereka tidak dimiliki ASN biasa.

Amir juga mengkritik MK karena dianggap masuk terlalu jauh ke ranah pengaturan administrasi negara, yang seharusnya menjadi kewenangan:

-legislatif (DPR), dan

-eksekutif (pemerintah).

“Ini bukan hanya soal tafsir hukum, melainkan soal desain kelembagaan negara. MK mestinya lebih berhati-hati,” ujar Amir.

Menurut Amir, pemerintah tidak boleh gegabah menerapkan putusan tanpa regulasi transisi yang jelas.

Putusan MK telah membuka babak baru dalam hubungan Polri dengan institusi sipil. Namun bagi Amir Hamzah, keputusan tersebut bukan hanya problem hukum, tetapi juga ancaman terhadap konsistensi konstitusi dan stabilitas keamanan nasional.

Ia mendesak pemerintah dan DPR segera mengambil langkah korektif agar negara tidak memasuki fase ketidakpastian administrasi dan melemahnya kapasitas keamanan publik.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News