Soeharto Pahlawan Nasional, Politikus Gerindra: Negara tak Hargai Nilai Kemanusiaan

Politikus Partai Gerindra, Pius Lustrilanang, menilai penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional merupakan keputusan yang menimbulkan guncangan moral dan membuka kembali luka lama bangsa. Menurutnya, keputusan tersebut bukan sekadar bentuk penghargaan terhadap mantan presiden yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, melainkan juga deklarasi politik tentang bagaimana negara memilih mengingat dirinya sendiri.

“Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan perasaan getir di hati mereka yang pernah hidup di bawah bayang represi. Bagi korban pelanggaran HAM dan keluarga mereka, penghargaan ini terasa seperti penegasan bahwa luka mereka tidak pernah penting,” ujar Pius dalam tulisannya yang beredar Kamis (13/11/2025).

Menurut Pius, tidak dapat dipungkiri bahwa Soeharto memiliki catatan besar dalam pembangunan nasional—mulai dari pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, hingga stabilitas ekonomi. Namun, sejarah tidak bisa diukur hanya dari pembangunan fisik dan angka pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:  Beredar Video Prabowo Bilang Ndasmu Soal Etik

“Di balik stabilitas itu berdiri sistem yang membungkam kritik, menanam ketakutan, dan mengorbankan kebebasan. Orang-orang ditahan tanpa pengadilan, aktivis diculik, wartawan disensor, dan korupsi menjadi bagian dari tata kelola negara,” tulis Pius.

Ia menilai bahwa keputusan pemerintah saat ini mencerminkan kecenderungan bangsa untuk berdamai dengan masa lalu tanpa pernah benar-benar menghadapinya. “Kita ingin melupakan karena mengingat terlalu menyakitkan. Tapi luka yang tidak diakui tidak akan pernah sembuh,” tegasnya.

Pius menyoroti bahwa penghargaan kepada Soeharto seolah-olah mengaburkan penilaian moral bangsa terhadap sejarahnya sendiri.
“Apakah pembangunan ekonomi dapat menebus hilangnya kebebasan? Apakah ketertiban sosial bisa dijadikan alasan untuk meniadakan hak asasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah dijawab oleh negara,” katanya.

Ia menegaskan, gugatan moral terhadap keputusan tersebut sah dan perlu dilakukan, bukan karena dendam masa lalu, tetapi karena adanya tanggung jawab sejarah terhadap korban-korban rezim Orde Baru.
“Kita tidak sedang membicarakan dendam. Kita sedang bicara tentang keadilan yang tertunda, tentang mereka yang tak pernah mendapat kesempatan bersuara,” ujar Pius.

Baca juga:  Prabowo Dukung Ahmad Luthfi-Taj Yasin, Dasco: Kapasitas sebagai Ketum Gerindra

Dalam bagian lain tulisannya, Pius memperingatkan bahwa keputusan ini berpotensi mengirimkan pesan berbahaya bagi masa depan bangsa.
“Penetapan ini memberi kesan bahwa kekuasaan panjang dan hasil pembangunan dapat menebus pelanggaran terhadap kemanusiaan. Jika pesan ini diterima tanpa kritik, bangsa ini akan kehilangan standar moralnya,” tulisnya.

Ia juga menyoroti bahwa Indonesia seharusnya mencontoh negara-negara lain yang berani membuka luka sejarahnya secara jujur, seperti Jerman, Afrika Selatan, dan Argentina.
“Indonesia memilih cara paling nyaman: diam. Kita membiarkan sejarah diselimuti kabut nostalgia,” kata Pius.

Menurutnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling cepat melupakan, melainkan yang paling berani mengingat. “Mengingat berarti menghormati mereka yang pernah menderita agar penderitaan itu tak terulang,” tutupnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News