Ketua Umum Generasi Cinta Negeri (Gentari), Habib Umar Alhamid, menegaskan bahwa Presiden Indonesia ke-2 Soeharto sangat layak diberikan gelar Pahlawan Nasional atas jasa dan kiprahnya dalam membangun bangsa Indonesia. Menurutnya, penolakan terhadap pemberian gelar tersebut tidak didasarkan pada objektivitas sejarah, melainkan lebih pada sentimen pribadi dan luka politik masa lalu.
“Saya berani katakan dasar orang menolak Soeharto menjadi pahlawan itu adakah sakit hati dan dendam. Saya tahu betul apa yang dilakukan pak Harto untuk bangsa ini. Ia membangun Indonesia dengan penuh pengabdian dan pengorbanan,” ujar Habib Umar Alhamid Kepada wartawan, Sabtu (8/11/2025).
Menurutnya, Hari Pahlawan bukan hanya momentum untuk mengenang para pejuang yang gugur di medan perang, tetapi juga untuk menghargai tokoh-tokoh legendaris yang berjuang dalam berbagai bidang — dari politik, pembangunan, hingga perjuangan sosial dan pendidikan. Ia mencontohkan, RA Kartini yang dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan, dihargai sebagai pahlawan karena perjuangannya memajukan kesetaraan wanita.
“RA Kartini tidak berperang, tapi perjuangannya melampaui zamannya. Maka Soeharto yang membangun bangsa ini dari keterpurukan ekonomi, menjadikan Indonesia dihormati di dunia internasional, juga pantas disebut pahlawan,” tegasnya.
Habib Umar menilai bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, hanya dua presiden yang benar-benar berkiprah besar untuk kemajuan bangsa, yakni Soekarno dan Soeharto.
“Soekarno adalah Bapak Proklamator, sedangkan Soeharto adalah Bapak Pembangunan. Dua-duanya meletakkan fondasi besar untuk Indonesia: Soekarno dengan semangat kemerdekaan dan nasionalismenya, Soeharto dengan pembangunan nyata di segala bidang,” katanya.
Ia menambahkan, di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami kemajuan signifikan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Program swasembada pangan yang diraih pada era Orde Baru menjadi bukti nyata keberhasilan manajemen nasional. Bahkan, Indonesia kala itu diakui dunia sebagai negara yang stabil dan berdaulat di tengah tekanan geopolitik global.
“Soeharto bukan hanya membangun gedung dan jalan, tapi membangun manusia Indonesia. Dari infrastruktur, industri, hingga kesejahteraan rakyat, semua tumbuh pesat di masanya,” tutur Habib Umar.
Habib Umar juga menyinggung persoalan sejarah nasional terkait pemberantasan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dilakukan Soeharto setelah tragedi 1965. Menurutnya, tindakan tegas terhadap ancaman ideologi komunis adalah bagian dari pembelaan terhadap bangsa dan Pancasila.
“PKI pernah berkhianat. Dan Soeharto-lah yang menyelamatkan bangsa ini dari ancaman ideologi komunis. Maka yang tidak menghendaki Soeharto jadi pahlawan, ya hanya PKI dan simpatisannya,” ujarnya tegas.
Ia menilai, narasi-narasi yang mencoba menodai peran Soeharto justru berpotensi mengaburkan sejarah bangsa. Karena itu, generasi muda perlu diluruskan pandangannya agar tidak terjebak dalam bias politik masa lalu.
“Kita tidak bisa membangun masa depan dengan dendam sejarah. Harus objektif. Siapa yang berbuat untuk bangsa, itulah pahlawan,” katanya.
Melalui Gentari, Habib Umar menegaskan pentingnya menghargai jasa para tokoh nasional secara adil dan proporsional. Ia menilai, semangat kepahlawanan tidak boleh dipersempit hanya pada masa perjuangan kemerdekaan, tetapi juga pada masa pembangunan bangsa.
“Perjuangan tidak berhenti di medan perang. Setelah merdeka, bangsa ini butuh pembangunan, dan di sanalah Soeharto berperan besar. Jadi sudah selayaknya beliau diberi gelar Pahlawan Nasional,” tuturnya.
Ia menambahkan, memberikan penghargaan kepada Soeharto bukan berarti menutup kritik terhadap kekurangannya. Namun, pengakuan terhadap jasa dan sumbangsihnya bagi Indonesia merupakan bentuk kedewasaan bangsa dalam membaca sejarah.
“Tidak ada manusia sempurna, tapi jasa besar tidak boleh dihapus hanya karena kesalahan. Kalau begitu, siapa lagi yang bisa disebut pahlawan?” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Habib Umar mengajak pemerintah dan masyarakat untuk menegakkan keadilan sejarah dan tidak ragu memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Sudah saatnya bangsa ini berdamai dengan sejarahnya sendiri. Jangan karena sentimen politik dan dendam masa lalu, kita kehilangan objektivitas dalam menilai tokoh besar,” katanya.
Ia juga menyerukan agar generasi muda Indonesia terus meneladani semangat para pahlawan dalam berbagai bidang — baik dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan, maupun perjuangan sosial.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Soeharto telah memberikan hidupnya untuk bangsa ini. Maka, menghargainya sebagai pahlawan bukan hanya pantas, tapi wajib,” pungkas Habib Umar Alhamid.





