Wartawan senior Agustinus Edy Kristianto (AEK) menilai langkah tim negosiator dari Danantara yang dikirim ke Tiongkok untuk merestrukturisasi utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh!) terlalu dilebih-lebihkan seolah misi mulia. Padahal, menurutnya, kegiatan itu hanya sebatas negosiasi bunga, tenor, dan denominasi utang semata.
“Tim Danantara digambarkan bak pahlawan, padahal yang mereka lakukan hanyalah negosiasi teknis. Yang lebih penting justru menelisik sebusuk apa proyek ini,” ujar AEK, Senin (27/10/2025).
Mengutip laporan Kontan (20/10/2025), utang Whoosh! yang mencapai Rp81,3 triliun kini masuk dalam daftar investasi prioritas Danantara. Lembaga tersebut yang digadang-gadang sebagai “kekuatan masa depan Nusantara” justru berubah menjadi kendaraan pembayaran tunggakan utang keberlanjutan.
AEK menilai inti persoalan proyek ini bukan pada mekanisme pembiayaan, melainkan pada struktur proyek yang disebutnya busuk, mengutip istilah Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan. Indonesia, katanya, kini terjebak utang kepada bank-bank Tiongkok yang merugikan keuangan BUMN, terutama PT KAI (Persero) sebagai pemimpin konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), pemegang 60% saham Whoosh!.
“Tak salah melakukan restrukturisasi, tapi jangan sampai publik dibutakan oleh glorifikasi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah audit investigatif. KPK sebaiknya membuktikan ucapannya yang sering koar-koar proaktif mencari data,” tegas AEK.
Menurutnya, penundaan audit dan penyelidikan hanya akan memperbesar kerugian negara. Dalam Laporan Keuangan KAI 2024 (audited), nilai investasi KAI di Whoosh! terus merosot dengan rugi bersih mencapai Rp2,24 triliun pada tahun 2024, yang sebagian besar disebabkan oleh beban bunga utang proyek awal senilai US$4,55 miliar.
AEK menyoroti bahwa potensi pidana korupsi justru terlihat jelas saat terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp19,8 triliun. Tagihan tersebut berasal dari kontraktor HSRCC (High Speed Railway Contractor Consortium), gabungan pihak Tiongkok (70%) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) (30%).
Pembengkakan biaya itu memaksa KAI menarik utang baru dari China Development Bank (CDB) senilai Rp5,87 triliun yang dijamin APBN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang diteken Presiden Joko Widodo. Dana utang baru itu, menurut AEK, lebih banyak digunakan untuk menambal kerugian akuntansi ketimbang menambah aset.
“Dengan fakta itu, gugur klaim pejabat yang mengatakan Whoosh! tidak menggunakan dana APBN. Ini alasan kuat agar KPK segera menyelidiki dan menyidik kasus ini demi menyelamatkan potensi kerugian negara,” kata AEK.
Ia menegaskan, keberangkatan tim Danantara ke Tiongkok hanya akan menjadi sia-sia bila akar masalahnya—dugaan tagihan fiktif, mark-up harga, suap, dan praktik korupsi—tidak dibereskan terlebih dahulu.
“Audit keuangan dan penyelidikan hukum harus mendahului negosiasi. Jangan sampai negosiasi justru dijadikan jalan untuk melegalkan biaya dari proyek yang korup,” pungkas Agustinus Edy Kristianto.





