Terkait dengan kondisi carut marutnya dunia pendidikan di Indonesia, Forum Peduli Pendidikan Indonesia (FPPI) menggelar Focus Group Diskusi, bertempat di Gumati Resto, Kamis, 9/10/2025, dengan tema” Pendidikan Ugal-ugalan”
Pada acara ini menghadirkan dua narasumber yakni Pengamat Pendidikan Ki Darmaningtyas dan Handoko Agung Komisioner Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang hadir mewakili Dony Yugiantoro Ketua Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia.
R. Wahyu Handoko Ketua Forum Peduli Pendidikan Indonesia, mengawali acara ini ia menyampaikan sambutan, dengan mengatakan bahwa saat ini kondisi pendidikan di Indonesia, nampak di selimuti oleh berbagai kebijakan yang berlangsung Ugal-ugalan sehingga menghasilkan produk pendidikan yang jauh dari harapan tercantum dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
” Semoga acara ini dapat memberikan kontribusi solusi untuk mencegah terjadinya pendidikan yang Ugal-ugalan ini” ucap R. Wahyu Handoko.
Dalam penyampaian materinya, Ki Darmaningtyas mengungkapkan bahwa
Indonesia saat ini memiliki sedikitnya 4.539 perguruan tinggi (PT) yang terdiri dari 372 Perguruan Tinggi Nasional ( PTN) dan 4.167 Perguruan Tinggi Swasta ( PTS) . Ini artinya 92% PT di Indonesia Adalah PTS (Perguruan Tinggi Swasta), namun realitanya dari sekian banyak PTS ternyata tidak Produktif, di karenakan banyak PTS dihadapkan pada tata kelola yang buruk, ditandai dengan banyaknya PTS yang menghadapi konflik internal berkepanjangan, sehingga mengganggu kinerja PTS itu sendiri.
“Dengan tata Kelola yang lebih kompleks tersebut PTS memiliki peluang konflik lebih besar, konflik itu di perparah dengan adanya intervensi pemerintah dalam tata kelola internal PTS, Pemerintah yang sesungguhnya berperan sebagai regulator atau pembina atau wasit dalam permasalahan yang terjadi di PTS, malahan ada oknum Pemerintah yang memposisikan diri sebagai wasit ” ungkap Ki Darmaningtyas.
Lebih lanjut Ki Darmaningtyas mengatakan salah satu contoh persoalan yang di alami PTS, adalah apa yg di alami Universitas Trisakti yakni terjadinya konflik antar para pemangku kepentingan. Banyak sekali PTS-PTS di Indonesia yang hancur karena konflik antara para pemangku kepentingan, dan sampai hari ini konflik tersebut masih tetap berlangsung. Bedanya adalah, di PTS-PTS lain, konflik itu hanya terjadi antar pemangku kepentingan atau antar pemangku kepentingan dengan organnya.
“Sedangkan Di Universitas Trisakti, konflik itu makin berkepanjangan konfliknya bukan hanya antar pemangku kepentingan atau antar pemangku kepentingan dengan organ Yayasan atau Organ Pimpinan PTS atau Organ Pimpinan Senat PTS,” tukasnya
Adanya, lanjut Ki Darmaningtyas, keterlibatan oknum-oknum Pemerintahan yang seharusnya menjadi wasit, tapi malah turut menjadi pemain. Celakanya, bukan hanya menjadi pemain belaka, tapi menjadi pemain yang memaksakan untuk menjadi pemenang.
” Dengan kondisi tersebut, saya berharap siapapun utamanya pemerintah dengan alasan apapun jangan merampok PTS , berikan otonomi ke PTS, kembalikan ke masyarakat, sedangkan pemerintah kembali berfungsi sebagai regulator ” tandas Ki Darmaningtyas.
Sementara itu, dalam paparannya, Handoko Agung Komisioner Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, mengatakan bahwa dalam konteks keterbukaan informasi publik, baik PTN maupun PTS adalah Badan Publik yang juga mesti menyampaikan informasi tentang berbagai aktivitas penyelenggaraan pendidikan hingga anggaran pendidikan yang di kelola nya kepada masyarakat.
“Berdasarkan UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, maka yang terkait dengan kepentingan publik, sudah semestinya PTN maupun PTS harus terbuka menyampaikan ke publik ” ucap Handoko Agung.
Bukan hanya itu saja, lanjut Handoko Agung, masyarakat juga dapat meminta informasi kepada pihak PTN maupun PTS terkait dengan kepentingan publik, misalnya berkaitan dengan berbagai aktivitas penyelenggaraan pendidikan maupun pengelolaan beserta penyerapan anggaran yang di peroleh dari masyarakat. Adapun yang terjadi saat ini, karena tidak adanya transparansi pengelolaan PTN maupun PTS, berakibat memicu terjadinya berbagai konflik kepentingan antar pengurus pengelola PTN maupun PTS.
” Untuk mencegah itu sudah saatnya masyarakat sebagai subjek pendidikan juga turut mengawasi penyelenggaraan pendidikan oleh PTN maupun PTS dengan meminta informasi mengenai hal tersebut, masyarakat punya hak untuk mempertanyakan nya, ” tukas Handoko Agung.
Handoko Agung juga menjelaskan bahwa pengelola PTN atau PTS harus menanggapi permintaan informasi tersebut dalam waktu 10 hari, bisa di tambah 7 hari jika pengelola PTN atau PTS belum siap menyampaikan informasi tersebut ke pemohon, jika pemohon belum puas dengan informasi yang di sampaikan pihak PTN atau PTS, maka pemohon bisa melaporkan ke komisi informasi.
Kegiatan yang di hadiri 50 orang terdiri dari perwakilan alumni lintas Perguruan Tinggi, dosen dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, aktivis mahasiswa, pers, kalangan genZ,
dan bahkan dari respon yang di sampaikan Dr. Rowlan Takaya, MM ketum Asosiasi Reformasi Dosen Indonesia ( ARDI) dan Saut Sinaga, ST, M. Arch wakil ketua umum Ikatan Alumni Kampus Seluruh Indonesia, telah mengungkapkan sikap keprihatinan terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang nampaknya terjadi fenomena darurat Pendidikan, yang harus segera di respon secara cepat dengan menginisiasi terbentuk nya Komite Reformasi Pendidikan sebagai solusi darurat Pendidikan.