Isu tuntutan audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap salah satu perusahaan insurtech yang diduga melakukan manipulasi data, dengan modus yang disebut mirip kasus eFishery, harus menjadi perhatian yang sangat serius, Ucok Sky Khadafi dari Centre for Budget Analysis (CBA) mengungkapkan, insurtech tersebut dilaporkan berhasil menarik pendanaan Seri B senilai lebih dari US$50 juta (sekitar Rp800 miliar) pada tahun 2021 dari sejumlah modal ventura terkemuka, termasuk East Ventures (EV) Growth, GGV Capital, eWTP Fund, Saratoga Investama Sedaya, dan Emtek.
”Bekerja sama dengan para broker internalnya, insurtech itu diduga mencuri data premi dari perusahaan asuransi lain untuk dicatatkan sebagai Gross Written Premium (GWP) mereka. Manipulasi data ini agar prospek perusahaan kelihatan kinclong di mata investor,” ungkap Uchok Sky, Sabtu 4 Oktober 2025.
Kalau pemain-pemain FUSE ini terus menghantui masyarakat dengan cara memberi janji-janji manis tanpa ada tindakan yang berarti dari OJK berarti ada dugaan unsur kesengajaan OJK memberi racun kepada masyarakat, kata Uchok Sky
Uchok enggan menyebut nama spesifik, namun memberikan beberapa indikasi: insurtech ini berdiri sejak 2017, pernah dinobatkan sebagai insurtech terbesar di Indonesia, dan salah seorang pendirinya berasal dari Tiongkok. Perusahaan ini sempat mengklaim pendapatan GWP tembus Rp3 triliun pada 2022, tumbuh lebih dari 2.000% dari 2018.
Berdasarkan penelusuran redaksi, insurtech yang sesuai dengan profil tersebut merujuk pada Fuse, yang didirikan oleh PT Fuse Teknologi Indonesia pada 2017 oleh Andy Yeung. Perusahaan ini diketahui mendapat pendanaan dari Saratoga dan eWTP Technology and Investment Fund.
Menurut Uchok, modus operandi yang dilakukan insurtech ini memiliki kemiripan dengan kasus manipulasi data keuangan eFishery, yang sempat ditangani oleh Bareskrim Polri.
Mengingat anjloknya pembiayaan startup Indonesia pada semester I 2025 (total modal susut menjadi hanya US$161,3 juta), Uchok mendesak OJK bertindak cepat dan transparan untuk menjaga kepercayaan investor dan masyarakat terhadap ekosistem startup, khususnya insurtech.
Sedangkan itu ditempat terpisah Adhi Nursetyo selaku praktisi asuransi menekankan bahwa isu integritas data dan tata kelola harus menjadi fokus utama, khususnya dalam kaitannya dengan pendanaan startup.
Ia mengingatkan bahwa proses penarikan investor mensyaratkan transparansi dan uji tuntas (due diligence) yang ketat.
“Investor kan juga ada proslpstartup. Apalagi cara-cara mereka untuk narik investor,” ujar Adhi Nursetyo kepada awak media.
Menurut Adhi, kasus-kasus kontroversial seperti ini semakin menegaskan pentingnya kepatuhan pada regulasi OJK yang mewajibkan industri asuransi beroperasi secara “tertutup”. Artinya, hanya entitas yang memiliki izin resmi dari OJK yang disebut Perusahaan Perasuransian yang memiliki izin
Ancaman Nyata dari Penjual Tak Bersertifikasi
Selain masalah integritas data perusahaan, Adhi juga menyoroti ancaman yang lebih dekat dengan konsumen, yaitu maraknya penjualan produk asuransi oleh individu yang tidak memiliki sertifikasi resmi.
Ia mewajibkan bahwa setiap perorangan yang menjual produk asuransi seharusnya terdaftar sebagai agen di perusahaan asuransi tertentu dan memegang Sertifikasi Agen Asuransi.
“Banyak yang enggak punya sertifikasi agen tapi ikut jualan asuransi dan dapat komisi. Ini yang biasanya bikin kusut karena mereka enggak terlalu ngerti asuransi tapi jago ‘ngerayu’ konsumen,” kata Adhi.
Dampak dari praktik ini adalah minimnya penjelasan detail kepada konsumen mengenai jaminan, batasan, dan syarat-syarat polis. “Akar masalahnya adalah tidak adanya/kurangnya penjelasan atas produk asuransi yang dibeli oleh konsumen. Giliran terjadi klaim pada ribut,” tutup Adhi.
Adhi Nursetyo mengimbau masyarakat untuk membeli asuransi hanya melalui agen resmi atau perusahaan Pialang Asuransi berizin OJK, seperti kantornya, untuk memastikan perlindungan konsumen maksimal.
Sampai berita ini dipublikasikan, pihak PT Fuse Teknologi belum memberikan klarifikasi.