Oleh: Firman Tendry Masengi, SH, Advokat / Aktivis 98Hari ini tanggal 1 Oktober, berpuluh tahun rakyat Indonesia “dipaksa” untuk mengulang sebuah ritus yang disebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Negara menancapkan ingatan kolektif melalui upacara penuh simbol, pidato-pidato yang berulang, serta mitos tentang “penumpasan pengkhianatan” seakan-akan Pancasila menjadi jimat keramat yang harus kebal dari segala ancaman. Namun, di balik parade simbolik itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar: benarkah Pancasila sakti, ataukah hanya dijadikan topeng ideologis oleh kekuasaan untuk menutupi pengkhianatan negara terhadap rakyatnya sendiri?
Kesaktian Pancasila hari ini tidak lebih dari mitos politik yang terus dijaga oleh rezim demi melanggengkan dominasi. Sakti bagi penguasa, tapi lumpuh bagi rakyat. Pancasila dipuja di bibir, tapi dihina dalam praktik.
Pancasila sebagai Philosophische
Grondslag yang Dipalsukan
Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai _philosophische grondslag,_ dasar filosofis kehidupan berbangsa. Ia lahir dari rahim sejarah panjang anti-kolonialisme, dari penderitaan rakyat yang diperas keringatnya oleh kapitalisme kolonial. Pancasila dimaksudkan sebagai bintang penuntun (leitstar), bukan sekadar mantra kosong.
Namun, sejak Orde Baru, Pancasila mengalami reduksi brutal. Ia dijadikan alat indoktrinasi lewat Penataran P4, dan dipersempit menjadi sekadar instrumen legitimasi kekuasaan. Pancasila dipaksa menjadi senjata ideologis negara untuk membungkam rakyat. Ironi terbesar: nama Pancasila dipakai untuk menjustifikasi pelanggaran nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Kesaktian yang Membunuh Kemanusiaan
Sila kedua berbicara tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tapi apakah negara beradab ketika puluhan ribu orang ditahan tanpa pengadilan pasca 1965, disiksa, dibuang ke Pulau Buru, dicap tanpa hak pembelaan? Apakah negara adil ketika petani diusir dari tanahnya demi proyek mercusuar? Apakah negara manusiawi ketika aparat menembaki mahasiswa yang menuntut keadilan, dari 1966, 1974, 1998, hingga sekarang?
Pancasila yang “sakral” tidak mencegah darah rakyat tumpah. Bahkan, nama Pancasila justru dipakai untuk menjustifikasi darah yang ditumpahkan. Inilah paradoks tragis: Pancasila dijadikan tameng ideologi, sementara kemanusiaan yang terkandung di dalamnya dihancurkan oleh negara.
Keadilan Sosial yang Dikhianati
Sila kelima berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tetapi lihatlah kenyataan: jurang kaya-miskin semakin menganga. Segelintir oligarki menguasai tanah, tambang, air, dan udara. Rakyat kecil harus membayar mahal untuk hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi.
Negara berdiri di pihak pemodal, bukan rakyat. Ketika petani Kendeng menolak pabrik semen, kaki mereka disemen pula oleh kekuasaan. Ketika nelayan menolak reklamasi, suara mereka ditenggelamkan. Inikah keadilan sosial? Atau sekadar fatamorgana yang dikhianati oleh aparatus negara yang tunduk pada kepentingan kapitalisme global?
Pancasila yang Dibajak, Rakyat yang Dijajah
Sejak Orde Baru hingga kini, Pancasila telah dibajak. Ia dijadikan ideologi resmi yang membius rakyat, tetapi dipelintir demi kepentingan elite. Pancasila “sakral” bagi penguasa karena dengannya mereka bisa menuding siapa saja sebagai musuh negara, sementara mereka sendiri menjadi pengkhianat sejati.
Kesaktian Pancasila hari ini lebih mirip kesaktian pedang Damocles: menggantung di atas kepala rakyat, siap ditebaskan kapan saja. Aparat negara dengan mudah menuduh rakyat anti-Pancasila hanya karena berteriak soal keadilan. Padahal, justru negara itulah yang paling jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Dari Peringatan ke Perlawanan
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya bukan sekadar hari peringatan yang penuh ritual kosong. Ia harus menjadi hari perlawanan rakyat terhadap penyalahgunaan Pancasila. Karena yang sakti bukanlah Pancasila sebagai mantra, melainkan rakyat yang menghidupi nilai-nilainya: gotong royong, keadilan, persamaan, kemanusiaan.
Rakyatlah yang sejatinya menjaga Pancasila, bukan negara. Negara telah terbukti berkali-kali mengkhianatinya. Dari tragedi 1965, Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Trisakti, Semanggi, hingga perampasan tanah hari ini. Semua menjadi bukti betapa negara tidak lagi berakar pada Pancasila, melainkan pada kekerasan dan kepatuhan pada oligarki.
Pancasila atau Kepalsuan?
Hari ini, setiap kali kita mendengar slogan “Kesaktian Pancasila,” kita harus bertanya: sakti untuk siapa? Apakah sakti untuk rakyat yang lapar, atau untuk oligarki yang menghisapnya? Apakah sakti untuk buruh yang digilas UU Omnibus Law, atau untuk korporasi yang mendapat karpet merah?
Pancasila bukan sekadar hafalan di mulut pejabat. Ia adalah janji sejarah yang dikhianati. Maka, pertanyaan provokatif ini harus terus didengungkan:
Apakah kita masih punya Pancasila, atau hanya punya penguasa yang fasih dalam kepalsuan?