Balik Modal Anggota Dewan dan Para Pejabat

Oleh: M Yunus Hanis Syam, Pengamat politik dan sosial

Di negeri yang katanya subur makmur, demokrasi tak hanya melahirkan pemimpin, tetapi juga para akuntan dadakan. Mereka bukan sembarang akuntan—mereka adalah para “pejuang balik modal”.

Biaya politik yang selangit bak kurs dolar di masa krisis, menuntut strategi keuangan setara film perampokan Hollywood. Saat pemilu tiba, lembar rupiah beterbangan seperti daun kering di musim kemarau. Dari baliho sebesar dinding stadion, kaos kampanye, hingga logistik tim sukses yang tak pernah tidur, setiap rupiah seolah menjerit, “Aku harus kembali, dan lebih gemuk!”

Begitu terpilih, para wakil rakyat—yang konon “wakil kita”—tiba-tiba fasih menyebut istilah return on investment. Tak heran bila rapat-rapat penting kadang lebih mirip presentasi bisnis ketimbang forum rakyat. APBD dan APBN berubah jadi spreadsheet raksasa: kolom pendapatan, kolom belanja, dan tentu saja kolom “inovasi tak kasatmata” yang tak pernah tertera di laporan publik.

Baca juga:  Anggota Dewan dari Fraksi Golkar Tewas Setelah dikejar Massa

Di ruang rapat ber-AC, bisik-bisik transaksi terdengar lebih nyaring daripada mikrofon. Di meja eksekutif, proposal “program kreatif” meluncur lebih cepat dari rencana pembangunan jangka panjang. Semua demi satu mantra sakti: balik modal plus margin.

Tak jarang petualangan ini berakhir di panggung yang sama glamornya: konferensi pers aparat. Kamera televisi menyorot wajah-wajah kaget bak aktor sinetron, lengkap dengan rompi oranye edisi terbatas. Namun, jangan khawatir: serialnya jarang tamat. Episode berikutnya segera tayang dengan pemain baru, alur mirip, dan rating yang tetap tinggi.

Masyarakat pun menonton dengan campuran jengkel dan tawa. Meme bertebaran, tapi suara protes kerap padam sebelum sempat jadi gerakan. Seolah semua paham bahwa ini hanya putaran musim: hari ini A, besok B, lusa entah siapa.

Di balik layar, politik kita kadang seperti pasar malam. Ada lampu warna-warni, musik riang, dan wahana yang menggetarkan jantung. Tiket masuknya mahal, tapi hadiahnya jarang sesuai janji. Rakyat menjadi pengunjung setia yang terus membeli tiket, meski tahu boneka besar di etalase mungkin hanya pajangan.

Baca juga:  Pejabat Negara Bermental Jongos

Para politisi seolah berkata, “Kami rela rugi di awal, asal bisa panen di akhir.” Dan kita, entah karena lelah atau pasrah, terus bertepuk tangan sambil menunggu giliran menikmati kembang api.

Balik modal pejabat adalah komedi gelap yang tak pernah usang. Ia hidup di rapat anggaran, di proyek infrastruktur, di tender pengadaan, bahkan di acara seremonial yang penuh jargon. Namun, selama biaya politik masih dibiarkan melambung tanpa kendali, panggungnya akan selalu ada.

Mungkin suatu hari, rakyat benar-benar akan berhenti membeli tiket sirkus ini. Mungkin. Tapi hingga saat itu tiba, pertunjukan “balik modal” akan terus berputar, lengkap dengan efek asap dan sorak sorai penonton.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News