Makan Gudeg Cabe Merah, DPR budeg Rakyat Marah

Penulis: Nanda Abraham

Diskusi sudah, seminar sudah, lokakarya sudah, debat publik sudah, dan bila dikumpulkan bisa jadi lebih 100 kontainer naskah akademik telah diproduksi, gudang konsep visionerpun sudah penuh karena banyaknya intelektual negeri ini. Semua itu mengacu pada tantangan, hambatan, kelemahan, potensi, harapan dan bgaimana seharusnya mengelola negeri ini.

Capres cawapres terpilih 2024 yang kontrovesial jelang satu tahun ini sudah melakukan eksekusi dari janji-janji kampanyenya seperti makan bergizi gratis. Dan juga sudah mengeksekusi program integrasi keuangan BUMN melalui Pt. Danantara yang juga masih jadi perdebatan publik yang kontroversi. Namun harapan perbaikan hanya ibarat bunyi-bunyian jangkrik di ladang yang bersahut-sahutan dan menghilang saat matahari terang benderang. Janji rezim dan wakil rakyat di DPR tidak memiliki resonansi praksis untuk membenahi negeri. Yang terasa dan kasat mata justru anomali, dimana para elit berkuasa berpesta menikmati kekuasaan yang didapatnya.

Dari waktu kewaktu sejak era awal reformasi sampai saat ini, tidak ada perubahan kualitatif yang mengangkat derajat hidup rakyat miskin. Rakyat miskin tetap menikmati kemiskinannya dan bergembira saat bansos dan dana subsidi lainnya dibagikan.  Yang pasti, jurang si kaya dan si miskin semakin jauh melebar. Jikalau hakim MK  sebagai “Tuhan” (dalam dua tanda petik) sudah berbuat salah, bagaimana hambanya? Kalau menteri agama saja terjerat kasus korupsi (nilep dana haji), menteri pendidikan mark up beli laptop, lalu banyak pejabat berkolusi dengan pengusaha buat oplosan bbm, laut  bisa dipagari, mau kemana negeri ini berlabuh?

Kejengkelan rakyat melahirkan “stunami” kecil yang terjadi di minggu ketiga bulan agustus 2025, disaat indonesia memasuki usia 80 tahun kemerdekaan yang memakan korban 10 jiwa melayang, akibat demonstrasi yang berbuntuk amuk karena aparat meresponnya dengan tindakan represif.

_Pulau Pandan Jauh di seberang_
_Harum mewangi resapi pandang_
_Kalau tuan dan puan ingin berjuang_
_Jangan takut bahaya menghadang_

Hari ini energi kita umumnya tersita dengan masalah korupsi akut, mental birokrasi yang bobrok, para pengusaha konglomerat yang berkolusi dengan elit politik di ekskutif, legislatif dan yudikatif yang merampok sumber daya alam, hutan lindung, dan  tanah rakyat, yang mana semuanya disebabkan lemahnya penegakan hukum di negeri ini.

Baca juga:  DPR Jangan Gegabah, Kayu Bakar Revolusi Sudah Terserak di Pinggir Jalan Keadilan

Inti pokok masalah yang bisa didiskusikan, apakah stelsel multi partai dapat melahirkan partai pemenang pemilu yang dominan di parlemen? Jawabannya: sudah gaharu cendana pula, sudah pun tahu bertanya pula.

Bukankah pemerintahan koalisi alias rezim patungan – akibat miskin suara, hanya akan menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif?. Apalagi sistem pemerintahan kita pasca amandemen UUD 1945, kedudukan presiden berbagi dengan parlemen secara tidak seimbang. Sehingga presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan lebih banyak meminta persetujuan parlemen dalam banyak hal.

Setan alas kadal buntet, aji gile….Perkara pokok ini, tidak pernah kita temui dalam visi dan misi capres cawapres dalam setiap pilpres sejak 2004 sampai 2024.

Bukankah setelah mereka tampil memerintah negeri ini, hal itu yang mereka hadapi?. Sama seperti SBY-Budiono atau awal Jokowi berkuasa yang dipreteli DPR. Sehingga siapapun capres harus berkoalisi dalam pilpres, sedangkan  pemenang pilpres, harus berbagi “kue” kekuasaan dengan pimpinan parpol, agar mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.

Yang disampaikan Ichsanuddin Noorsy dalam acara Suara Rakyat di Inews Tv beberapa hari lalu, salah satu poin yang bisa dipahami bahwa, sistem ekonomi indonesia sudah sangat liberal dimana orang asing menguasai sumber daya, produksi, distribusi dan logistik,  yang mengakibatkan orang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin.

Menurut laporan Bank Dunia per Juni 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 194 juta jiwa, yang merupakan sekitar 60,3% dari total populasi. Angka ini jauh berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan jumlah penduduk miskin per Maret 2025 adalah 23,85 juta jiwa atau 8,47% dari total penduduk. Perbedaan ini disebabkan Bank Dunia memperbarui garis kemiskinan global berdasarkan standar paritas daya beli terbaru.

Pikir punya pikir, betapa semrawutnya demokrasi liberal yang menganut  one man one vote di negeri ini. Setempo media massa memberitakan suksesnya Pemilu Presiden dan Legislatif, tapi setempo berikutnya dilansir berita kecurangan – kecurangan dipelbagai saentero negeri, sehingga pemilu harus diulang. Belum lagi tumpukan kasus yang melimpah, layaknya bukit Tidar, untuk disidangkan di MK, menyangkut perkara kursi di parlemen. Bahkan adanya caleg incumbent yang dapat kursi diparlemen berkali-kali, yang pintar mengintimidasi kepapa desa yang mendapatkan dana desa, untuk memenangkan suara didapilnya, karena tahu kepala desanya nyolong alias korupsi dana desa tapi engga ketahuan. Bukankah itu persekongkolan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan?.

Baca juga:  Jika Melawan, Habiburokhman Minta Pencabul Anak di Lampung Ditembak

Tak ayal ada seorang pakar wayang kulit sohor mengatakan, “Lakon wayang itu semrawut, namun mengasyikan”. Demikian pula agaknya percaturan politik liberal di negeri ini, membingungkan, mengesalkan, memuakan, tapi kita menikmati, layaknya menyantap sate kambing di warung sate kambing muda Habib, atau tenda Hj. Markonah yang bahenol. Asyiknya jadi buzzeer yang bisa jadi komisaris BUMN bergengsi, bisa memuakan karena ada menteri yang tidak sejalan dengan visi misi presiden Prabowo,  tapi masih tetap dipertahankan, karena soal balas budi dengan sang “dalang” dari Solo (dengan dua tanda petik, karena sesungguhnya bukan dalang,  tapi cuma kaki tangan oligarki).

indonesia berpotensi menjadi negara gagal karena telah terjadi kebocoran kekayaan negara dalam skala besar. “Suatu kondisi yang disebut net outflow of national wealth”, ujar Presiden Prabowo pada Sidang Tahunan MPR (15/8/2025).

Apakah indonesia akan gagal dan bubar ?.

Semua kembali kepada kesadaran dan tanggap cepat Presiden untuk segera merespon dengan kebijakan out of the box.  Para elit politik negeri, akademisi, aktivis, mahsiswa, cendikiawan, budayawan, harus duduk bersama mencari akar masalah pokok yang harusnya segera diperbaiki dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Mengabaikan nilai-nilai musyawarah untuk mufakad, apalagi Presiden justru melakukan konsolidasi relawan, dikhawatirkan “stunami” besar akan melanda negara yang dalam sejarah pernah menjadi bangsa yang besar di era kejayaan Majapahit dan Sriwijaya.

Daun Talas, Roti Kismis.
Jangan Malas dan Tetap Optimis

Jakarta, 15 September 2024

Simak berita dan artikel lainnya di Google News