Kerusuhan di Berbagai Daerah, Intelijen Kebobolan ataukah Ada Penyusup?

Oleh: Muhammad Yunus Hanis Syam, Pemerhati Sosial dan Budaya

Gelombang kerusuhan yang merebak di berbagai daerah sejak akhir Agustus 2025 membuat banyak pihak terhenyak. Kota-kota besar maupun daerah yang selama ini dianggap relatif tenang, mendadak berubah menjadi arena bentrokan, baku hantam, hingga jatuhnya korban jiwa. Pertanyaannya kini menggema: apakah intelijen negara benar-benar kecolongan, ataukah ada kekuatan yang dengan sengaja menyusup untuk memperkeruh keadaan?

Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ia menyentuh jantung persoalan relasi antara negara, aparat keamanan, dan rakyat. Tanpa jawaban jujur dan langkah nyata, krisis ini bisa menjelma menjadi erosi kepercayaan yang lebih berbahaya dibanding kerusuhan itu sendiri.

Intelijen sejatinya adalah “mata” dan “telinga” negara. Fungsinya bukan hanya mengumpulkan data, tetapi juga menganalisis, membaca arah angin, dan mengantisipasi potensi ancaman. Kerusuhan yang meletup di banyak titik dengan pola hampir seragam menunjukkan bahwa ada yang tidak beres.

Apakah benar tidak ada tanda-tanda awal? Rasanya sulit dipercaya. Dengan perangkat digital, media sosial yang penuh percakapan, serta jaringan informan di lapangan, mestinya potensi gesekan bisa dideteksi lebih dini. Namun yang tampak justru reaksi terlambat, seolah-olah intelijen hanya menjadi “pemadam kebakaran” setelah api telanjur membesar.

Di sini muncul dua kemungkinan. Pertama, intelijen memang kebobolan, entah karena kinerja melemah atau lebih sibuk melayani kepentingan politik tertentu daripada membaca keresahan rakyat. Kedua, sebenarnya intelijen tahu, tetapi laporan mereka tidak pernah sampai ke meja pengambil keputusan, atau bahkan diabaikan karena dianggap mengganggu citra kekuasaan.

Sejarah Indonesia penuh dengan cerita tentang penyusup dalam aksi massa. Dari demonstrasi mahasiswa 1966, kerusuhan Mei 1998, hingga berbagai unjuk rasa kontemporer, selalu ada figur “tak dikenal” yang tiba-tiba memantik keributan, lalu menghilang.

Baca juga:  Ngeri, Politikus NasDem Dapat Informasi Intelijen Anies Harus Tumbang

Fenomena ini kembali muncul dalam kerusuhan belakangan. Banyak saksi menyebut ada kelompok kecil yang bertindak brutal—melempar batu, membakar ban, menyerang aparat—sementara mayoritas massa sebenarnya datang dengan tujuan damai. Ketika suasana sudah rusuh, aparat lantas melakukan tindakan represif, dan stigma “perusuh” pun dilekatkan kepada semua peserta aksi.

Pola ini menunjukkan bahwa penyusup bukan sekadar kemungkinan, melainkan realitas. Motivasinya bisa beragam: ada yang berasal dari kelompok radikal dengan agenda politik sendiri, ada pula yang sengaja dibiayai pihak tertentu untuk menciptakan instabilitas, bahkan tidak menutup kemungkinan adanya operasi terselubung dari elemen dalam negara sendiri.

Kerusuhan tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan sosial, kesenjangan ekonomi, dan ketidakpercayaan terhadap elite politik. Dalam kondisi masyarakat yang merasa termarjinalkan, provokasi sekecil apapun bisa memantik ledakan besar.

Di sinilah kita melihat kelemahan pendekatan keamanan yang semata-mata represif. Negara bisa saja menambah pasukan, membangun pagar kawat berduri, atau menangkapi aktivis. Tetapi jika akar persoalan—yaitu rasa ketidakadilan—tidak diselesaikan, kerusuhan akan terus berulang. Penyusup memang mempercepat ledakan, tetapi “bahan bakar” sejatinya sudah lama menumpuk dalam dada rakyat.

Budaya politik kita yang semakin oligarkis, di mana rakyat hanya menjadi obyek kebijakan tanpa ruang partisipasi sejati, memperparah situasi ini. Rakyat merasa diperlakukan sebagai penonton, bukan subjek. Maka tak heran, ketika ada momentum, ledakan sosial tak bisa dielakkan.

Persoalan intelijen tidak bisa dilepaskan dari persoalan legitimasi. Ketika kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun, intelijen kehilangan salah satu sumber informasi terpentingnya: rakyat itu sendiri. Informan di lapangan sulit bekerja jika masyarakat sudah sinis terhadap negara.

Kebocoran informasi, salah membaca situasi, bahkan manipulasi laporan bisa terjadi karena orientasi intelijen bergeser dari menjaga negara menjadi menjaga kursi kekuasaan. Inilah titik paling rawan: ketika intelijen tidak lagi bekerja untuk bangsa, melainkan untuk kepentingan segelintir elite.

Baca juga:  Presiden Obral Info Intelijen

Kerusuhan ini harus dibaca sebagai alarm keras. Negara tidak bisa lagi memandang intelijen hanya sebagai alat pengendali politik. Diperlukan langkah-langkah menyeluruh yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh dimensi kepercayaan publik.

Pertama, reformasi intelijen mutlak dilakukan. Intelijen harus dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai lembaga yang bekerja profesional, obyektif, dan independen, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan. Laporan yang jujur, meski pahit, jauh lebih berguna bagi negara daripada analisis yang dipoles untuk menyenangkan telinga penguasa.

Kedua, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. Transparansi bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Dengan memberikan akses informasi yang lebih terbuka, masyarakat akan merasa dilibatkan, bukan hanya dijadikan obyek. Dari situ, intelijen juga akan lebih mudah mendapat masukan otentik dari masyarakat.

Ketiga, rekonsiliasi sosial harus menjadi strategi jangka panjang. Tindakan represif mungkin bisa meredakan gejolak sesaat, tetapi dialog dan kesediaan mendengar keluhan rakyatlah yang akan menciptakan stabilitas sejati. Negara tidak boleh hanya tampil sebagai penegak disiplin, tetapi juga sebagai pendengar yang adil.

Kerusuhan di berbagai daerah tidak boleh sekadar dipahami sebagai masalah keamanan. Ia adalah tanda retaknya kepercayaan antara rakyat dan negara. Jika intelijen benar-benar kebobolan, itu berarti ada kelemahan struktural yang serius. Namun jika ternyata ada penyusup yang sengaja dibiarkan atau bahkan ditunggangi, maka yang kita hadapi bukan hanya krisis keamanan, melainkan krisis moral kekuasaan.

Sejatinya, kekuatan sebuah bangsa terletak pada hubungan saling percaya antara rakyat dan pemerintahnya. Tanpa itu, intelijen sekuat apapun akan selalu kalah oleh satu provokasi kecil yang bisa menyalakan api besar.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News