Harga Mahal Demokrasi yang Tak Pernah Murah

Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik

Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya menjadi cermin kehendak rakyat. Dari sanalah suara masyarakat dikristalkan menjadi kebijakan yang adil, undang-undang yang bermanfaat, serta pengawasan yang kuat terhadap jalannya pemerintahan. Namun, kenyataan yang tampak di hadapan publik sering jauh berbeda. Alih-alih menjadi tumpuan harapan, DPR justru lebih sering menjadi sumber kekecewaan. Ironi ini semakin kentara ketika kita melihat betapa besarnya gaji, tunjangan, dan fasilitas yang dinikmati para wakil rakyat, sementara kinerjanya sering dianggap minim. Situasi ini menimbulkan satu pertanyaan besar: mengapa rakyat harus membayar mahal untuk demokrasi yang hasilnya tidak sepadan?

Setiap tahun, DPR rajin mengumumkan capaian legislasi mereka. Misalnya, dalam satu tahun masa sidang, DPR menyebut berhasil menyelesaikan 14 rancangan undang-undang. Secara angka, pencapaian itu bisa dipandang lumayan. Namun ketika dilihat dari substansinya, publik segera menyadari ada yang janggal. Sebagian besar dari RUU yang disahkan ternyata bukanlah produk strategis yang menjadi prioritas program legislasi nasional, melainkan berasal dari jalur kumulatif terbuka. RUU jenis ini umumnya berupa pengesahan perjanjian internasional, pembentukan daerah otonomi baru, atau hal-hal teknis yang relatif mudah dibahas. Tidak banyak perdebatan, tidak kompleks, dan jarang mengundang kontroversi. Padahal, ada daftar panjang RUU prioritas yang sejak lama ditunggu masyarakat—seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat, atau revisi UU Penyiaran—tetapi justru tak kunjung dibahas tuntas.

Kecenderungan DPR memilih jalan pintas ini memperlihatkan satu pola: mereka lebih suka menumpuk kuantitas daripada memperjuangkan kualitas. Rakyat disuguhi angka capaian yang tampak tinggi, tetapi di baliknya, kebutuhan substansial rakyat dikesampingkan. Inilah wajah demokrasi prosedural: sibuk dengan administrasi dan pencitraan, tetapi miskin keberpihakan.

Lebih buruk lagi, DPR kerap abai terhadap partisipasi publik. Seharusnya, setiap proses legislasi melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Mekanisme dengar pendapat memang ada, tetapi sering kali sekadar formalitas. Banyak organisasi masyarakat sipil, akademisi, maupun komunitas yang mengkritik minimnya ruang partisipasi. Bahkan ada RUU yang disahkan dalam waktu sangat singkat tanpa melibatkan diskusi luas, seperti UU Cipta Kerja yang sejak awal menuai kontroversi. Akibatnya, undang-undang yang lahir tidak jarang menimbulkan masalah baru, rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi, dan pada akhirnya justru memperburuk kualitas hukum di negeri ini.

Kritik terhadap DPR semakin keras ketika publik melihat angka gaji dan tunjangan yang mereka nikmati. Jika dihitung secara keseluruhan, seorang anggota DPR bisa menerima puluhan juta rupiah per bulan. Gaji pokok mereka berkisar belasan juta rupiah, tetapi yang membuat jumlahnya membengkak adalah berbagai tunjangan: tunjangan komunikasi, transportasi, perumahan, hingga uang perjalanan dinas. Belum lagi fasilitas berupa rumah dinas, mobil dinas, jaminan kesehatan premium, staf ahli, dan dana reses yang bisa mencapai miliaran rupiah untuk satu daerah pemilihan dalam setahun. Dengan semua itu, seorang anggota DPR bisa hidup dengan nyaman, jauh di atas standar kehidupan rakyat rata-rata.

Baca juga:  Beathor: Demokrasi Pancasila Model Prabowo Berikan Partisipasi Besar kepada Masyarakat

Sejarah kenaikan gaji DPR juga tidak lepas dari kontroversi. Sejak era reformasi, angka gaji dan tunjangan mereka terus meningkat dengan alasan menyesuaikan biaya hidup dan kebutuhan kerja. Namun, kenaikan itu sering kali terjadi diam-diam, tanpa transparansi, dan minim perdebatan publik. Dalam banyak kasus, masyarakat baru tahu setelah kebijakan kenaikan gaji sudah berlaku. Kontras dengan itu, setiap kali rakyat menuntut kenaikan upah minimum, prosesnya selalu penuh tarik-menarik, dihiasi demo besar, bahkan sering berujung pada kompromi yang mengecewakan buruh. Perbandingan ini menunjukkan betapa timpangnya mekanisme kebijakan ketika menyangkut kepentingan elit dibanding kepentingan rakyat.

Sementara itu, budaya politik di DPR semakin mempertegas jurang antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri. Banyak anggota DPR yang lebih sibuk mengurus kepentingan partai atau kelompok politiknya daripada kepentingan konstituen. Rapat-rapat penting sering sepi, kursi kosong menjadi pemandangan lumrah, dan absensi jarang berujung sanksi. Belum lagi praktik transaksional dalam pembahasan anggaran dan legislasi, di mana keputusan bisa dipengaruhi oleh lobi-lobi politik dan kepentingan bisnis. Semua ini menciptakan kesan bahwa DPR lebih mirip klub elit daripada lembaga perwakilan.

Contoh konkret kegagalan DPR terlihat pada beberapa RUU yang dibahas belakangan ini. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, misalnya, sudah lebih dari satu dekade masuk daftar prioritas, tetapi tak kunjung disahkan. Padahal, jutaan pekerja rumah tangga di Indonesia bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai, rentan dieksploitasi, dan rawan kekerasan. Kegagalan DPR mengesahkan RUU ini menunjukkan rendahnya komitmen mereka terhadap isu-isu kerakyatan. Sebaliknya, ketika menyangkut RUU yang berkaitan dengan kepentingan politik atau ekonomi elit, pembahasan bisa berjalan kilat, seperti UU Cipta Kerja atau UU IKN.

Kondisi ini menegaskan bahwa demokrasi kita berjalan dengan logika yang terbalik. Alih-alih memihak yang lemah, sistem lebih sering berpihak pada yang kuat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, DPR lebih sibuk mengakomodasi kepentingan modal. Inilah yang membuat publik semakin skeptis.

Baca juga:  Paus Fransiskus, Palestina dan Kemanusiaan

Banyak yang beranggapan bahwa gaji besar diperlukan untuk mencegah korupsi. Namun kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Kasus korupsi di DPR tetap marak, dari skandal suap dalam pembahasan undang-undang hingga penyalahgunaan dana aspirasi. Gaji besar ternyata tidak mampu menjadi benteng moral. Justru, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, gaji besar hanya menjadi beban tambahan bagi negara. Korupsi tetap jalan, privilese tetap terjaga, sementara rakyat semakin terbebani.

Akibat dari semua itu, kepercayaan publik terhadap DPR merosot tajam. Survei-survei tentang kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara kerap menempatkan DPR di urutan bawah. Ini adalah tanda bahaya bagi demokrasi. Jika lembaga perwakilan kehilangan legitimasi, maka rakyat akan semakin apatis terhadap politik. Apatisme ini bisa berbahaya karena membuka jalan bagi lahirnya godaan otoritarianisme. Rakyat yang lelah dengan drama demokrasi bisa saja merindukan pemimpin otoriter yang menjanjikan kepastian, meski mengorbankan kebebasan.

Demokrasi memang tidak pernah murah. Ongkos politik, pemilu, gaji pejabat, hingga biaya penyelenggaraan pemerintahan selalu membutuhkan dana besar. Namun, masalahnya bukan pada mahalnya biaya itu, melainkan pada rendahnya hasil yang diperoleh. Demokrasi akan diterima rakyat jika mereka merasakan manfaat nyata: kebijakan yang berpihak, undang-undang yang melindungi, serta layanan publik yang adil. Jika semua itu tidak hadir, maka biaya besar demokrasi hanya menjadi simbol dari ironi. Rakyat membayar mahal untuk pertunjukan yang tidak pernah memuaskan.

Namun, pesimisme tidak boleh menjadi jalan satu-satunya. Masih ada ruang untuk memperbaiki keadaan. Kuncinya terletak pada partisipasi publik yang konsisten, kritik yang tajam, dan keberanian untuk menuntut transparansi. Rakyat tidak boleh berhenti menekan DPR agar benar-benar bekerja sesuai mandat. Media, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga individu harus terus bersuara. Demokrasi bukan hadiah, melainkan perjuangan yang harus dijaga setiap hari.

Pada akhirnya, gaji besar anggota DPR hanyalah salah satu gejala dari penyakit yang lebih mendalam: lemahnya akuntabilitas politik. Tanpa perbaikan sistem, tanpa budaya politik yang sehat, tanpa kontrol publik yang kuat, maka ironi ini akan terus berulang. Demokrasi akan tetap mahal, tetapi hasilnya tetap murahan. Dan selama itu terjadi, rakyat akan terus bertanya: untuk siapa sebenarnya demokrasi ini dijalankan?

Simak berita dan artikel lainnya di Google News