Oleh: Rokhmat Widodo, Pendidik tinggal di Kudus, Kader Muhammadiyah Kudus
Rina, seorang ibu rumah tangga di Kudus, masih ingat betul ketika anaknya lulus dari Taman Kanak-Kanak (TK). Rasa haru dan bangga memang mengalir saat melihat putrinya mengenakan toga kecil berwarna hijau. Namun, di balik itu semua, Rina juga merasa cemas. Biaya wisuda yang mencapai ratusan ribu rupiah cukup memberatkan. “Padahal cuma TK, tapi biayanya seperti mahasiswa,” keluhnya.
Tidak hanya itu, Rina juga masih ingat ketika anak sulungnya lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kali ini, biaya wisuda bahkan lebih besar. Ada uang sewa toga, dokumentasi, dan biaya acara di gedung mewah. Sebagai buruh harian, ia harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar anaknya tidak merasa berbeda dari teman-temannya.
Tradisi wisuda tidak lagi hanya menjadi domain perguruan tinggi. Dari TK hingga SMA (atau SMK), acara wisuda kini menjadi sebuah tren. Anak-anak mengenakan toga, berjalan di atas panggung, menerima ijazah simbolik, dan berfoto bersama guru-guru. Sementara itu, orang tua bersorak bangga, tetapi dalam hati ada perasaan berat akibat biaya yang tidak sedikit.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini melontarkan kritik keras terhadap tradisi wisuda di tingkat TK hingga SMA. Ia menilai bahwa acara ini tidak memberikan manfaat substansial bagi siswa, melainkan hanya menambah beban finansial bagi orang tua. Saya sebagai pendidik mengamini pernyataan ini. Menurutnya, wisuda pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih banyak menampilkan euforia sesaat ketimbang nilai edukasi yang bermakna.
Sayangnya, dalam beberapa kasus, wisuda justru dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mencari keuntungan. Tidak sedikit sekolah yang menggandeng pihak ketiga seperti event organizer untuk menggelar acara besar-besaran. Harga sewa gedung, toga, dan jasa foto yang tinggi menjadi beban tambahan bagi orang tua. Beberapa oknum guru bahkan menjadikan wisuda sebagai proyek tahunan dengan alasan ‘tradisi sekolah’ atau ‘meningkatkan kebanggaan siswa’.
Pendidikan sejatinya adalah proses panjang pembentukan karakter dan peningkatan kompetensi, bukan sekadar seremonial. Wisuda pada jenjang TK hingga SMA cenderung menekankan pencapaian simbolik yang sebenarnya belum relevan. Alih-alih memupuk semangat belajar, anak-anak justru bisa salah memahami makna pendidikan sebagai sekadar mendapatkan penghargaan formal.
Saya berpendapat bahwa lebih baik sekolah merayakan keberhasilan siswa dengan cara yang lebih sederhana namun penuh makna, seperti pementasan karya seni, pentas kreativitas, atau kegiatan bakti sosial. Selain hemat biaya, kegiatan semacam itu justru lebih menanamkan nilai kerja keras dan kontribusi pada masyarakat.
Tentu, keputusan untuk melarang wisuda bukan tanpa tantangan. Budaya yang sudah mengakar sulit diubah dalam waktu singkat. Namun, pendidikan yang efektif seharusnya mampu mengutamakan substansi di atas simbolisasi. Apakah wisuda benar-benar diperlukan di setiap jenjang pendidikan? Ataukah hanya menjadi ajang selebrasi tanpa makna? Gagasan Dedi Mulyadi tentang pelarangan wisuda pada jenjang dasar dan menengah patut mendapat perhatian dan diskusi lebih lanjut.
Pendidikan harus kembali pada esensinya: mengembangkan potensi anak dengan cara yang bijaksana, terjangkau, dan bermakna. Bukan sekadar merayakan kelulusan dengan toga dan foto bersama, tetapi dengan karya nyata dan kontribusi bagi sesama.