Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Timur Tengah Tinggal di Kudus
Perang Iran-Israel bukan lagi sekadar konflik regional. Ia telah menjelma menjadi arena pertarungan ideologi, geopolitik, dan kepentingan jangka panjang yang rumit. Ketika Iran, negara yang dikenal sebagai “Negara Para Mullah”, melancarkan balasan rudal ke Tel Aviv atas serangan udara Israel di Teheran, dunia terhenyak. Namun yang lebih mengejutkan, reaksi dari negara-negara Muslim justru dingin, bahkan nyaris nihil dukungan terhadap Iran. Sebaliknya, beberapa bahkan tampak menjaga hubungan baik dengan Israel secara diam-diam atau terang-terangan. Mengapa ini terjadi?
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah faktor sektarianisme. Iran adalah negara dengan mayoritas Syiah yang sangat dominan, sementara sebagian besar negara Muslim lainnya, terutama di Timur Tengah, adalah negara-negara Sunni. Permusuhan historis antara Sunni dan Syiah tak pernah benar-benar usai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ketegangan itu terus berlanjut dan dimanfaatkan oleh kekuatan global, baik Barat maupun Timur, untuk memecah belah Dunia Islam.
Ketika Iran menunjukkan perlawanan keras terhadap Israel, sebagian negara Sunni tidak melihatnya sebagai jihad melawan Zionisme, melainkan langkah Syiah untuk menguasai narasi perlawanan atas nama Islam. Narasi inilah yang sering dihembuskan oleh propaganda sektarian dari Teluk dan sekutunya. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan sebagian negara Teluk lainnya cenderung menuduh Iran memanfaatkan isu Palestina untuk memperluas pengaruhnya, dari Lebanon hingga Yaman.
Dukungan negara terhadap suatu pihak dalam konflik tidak hanya ditentukan oleh solidaritas agama, tetapi juga oleh kepentingan nasional dan ekonomi. Banyak negara Muslim kini berada dalam orbit kepentingan Amerika Serikat yang notabene merupakan sekutu utama Israel. Ketergantungan terhadap keamanan, alutsista, dan investasi dari Washington membuat banyak pemimpin Arab berpikir dua kali sebelum memberikan dukungan terbuka terhadap Iran.
Bahkan beberapa negara seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords yang dimediasi AS. Kepentingan ekonomi menjadi alasan utama, dengan janji investasi teknologi, pertanian, dan pertahanan. Dalam logika realpolitik, Iran yang dijatuhi sanksi ekonomi berat, dianggap sebagai beban ketimbang mitra strategis.
Di banyak negara Muslim, terutama di kawasan Teluk dan Asia Selatan, Iran sering kali dipandang sebagai sponsor terorisme. Dukungan Teheran terhadap kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak serta Suriah membuat Iran dicap sebagai pengacau regional. Meski semua kelompok itu berdiri atas dasar perlawanan terhadap dominasi Barat dan Israel, persepsi publik (yang dibentuk oleh media dan propaganda elite) menyamakannya dengan ancaman terhadap stabilitas dalam negeri mereka.
Bahkan ketika Iran benar-benar diserang Israel, banyak narasi muncul di media-media Teluk bahwa serangan tersebut adalah “konsekuensi” dari tindakan provokatif Teheran. Narasi seperti ini tidak hanya menurunkan simpati terhadap Iran, tetapi juga memberi pembenaran diam-diam kepada Israel di mata publik Sunni.
Salah satu tuduhan yang beredar luas adalah bahwa konflik Iran-Israel hanyalah sandiwara politik yang dimainkan untuk mengelabui dunia internasional. Namun teori ini cepat terbantahkan dengan bukti-bukti nyata yang sangat jelas: serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran, pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani oleh AS dengan koordinasi Israel, hingga pembunuhan ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh oleh agen Mossad. Di pihak Israel, serangan rudal Iran baru-baru ini menciptakan kerusakan nyata dan menewaskan beberapa warga. Sulit untuk membayangkan dua negara yang tengah bersandiwara akan saling membunuh perwira tinggi dan menghancurkan infrastruktur satu sama lain.
Alih-alih sandiwara, yang sebenarnya terjadi adalah konflik asimetris panjang antara dua kekuatan regional yang memperebutkan dominasi kawasan dengan ideologi yang sangat kontras: Zionisme vs Revolusi Islam.
Ironisnya, meskipun banyak negara Muslim mengklaim membela Palestina, ketika Iran mengambil posisi konfrontatif terhadap Israel, mereka justru memilih netral atau menjauh. Ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar negara Muslim, isu Palestina kini telah menjadi retorika kosong yang dikendalikan oleh kepentingan domestik dan geopolitik, bukan lagi panggilan hati nurani keagamaan atau kemanusiaan.
Iran, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi satu-satunya negara Muslim besar yang secara militer dan logistik mendukung kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam. Namun, karena afiliasi sektarian atau perbedaan ideologi, dukungan Iran malah dicurigai sebagai upaya “menjual isu Palestina” demi pengaruh regional.
Kebangkitan Umat Masih Jauh
Ketidakhadiran solidaritas Dunia Islam dalam konflik Iran-Israel menjadi cermin buruk bagi masa depan geopolitik Muslim global. Umat Islam tampak lebih terpecah daripada bersatu. Alih-alih menjadikan perlawanan terhadap Zionisme sebagai platform bersama, dunia Islam malah terjebak dalam konflik internal, sektarianisme, dan ketergantungan pada kekuatan besar.
Persatuan umat, yang sering digaungkan dalam khotbah dan seminar, ternyata rapuh ketika dihadapkan pada kalkulasi nyata kekuasaan dan kekayaan.
Iran memang bukan tanpa cela. Politik regionalnya sering agresif, dan pendekatannya terhadap tetangga Sunni kerap dinilai provokatif. Namun dalam konteks melawan penjajahan dan ekspansi Israel, dukungan terhadap Palestina mestinya tidak diukur dari mazhab, melainkan dari sikap politik.
Ketika negara-negara Muslim bungkam melihat serangan Israel ke Iran, dunia harus bertanya: apakah dukungan terhadap Palestina hanya slogan politik? Ataukah benar kita telah kehilangan kompas moral, dan membiarkan “solidaritas Islam” mati di tangan diplomasi minyak dan dolar?
Jika Dunia Islam tak mampu bersatu membela sesamanya dalam menghadapi agresor yang nyata, maka jangan heran bila kelak Palestina hanya menjadi sejarah yang dikenang, bukan negeri yang dibebaskan.